Metacognitive Processes in Elementary Students’ Drawings
Proses Metakognitif dalam Gambar Siswa Sekolah Dasar
DOI:
https://doi.org/10.21070/ijemd.v20i4.949Keywords:
Metacognition, Elementary School, Drawing, Problem-Solving, Self-RegulationAbstract
General background: Metacognition, defined as thinking about thinking, plays an essential role in guiding students to plan, monitor, and evaluate their own learning processes. Specific background: In elementary education, students often struggle to control their learning strategies, particularly when faced with problem-solving tasks. Knowledge gap: Limited research has examined how young learners demonstrate metacognitive processes through creative outputs such as drawings. Aims: This study aimed to analyze how elementary school students apply metacognitive strategies when completing drawing tasks. Results: Two students were given three tasks with different themes—ideals, guided lines, and animals. Both students employed the stages of planning, monitoring, and evaluating, although with variations in depth according to their individual abilities. The drawings revealed how metacognitive processes shaped problem-solving approaches. Novelty: The study highlights the role of drawings as a medium to observe and understand students’ metacognitive processes. Implications: The findings suggest that incorporating metacognitive strategies in elementary education can support self-regulation, creativity, and more effective problem-solving.
Highlights:
-
Drawings reveal students’ metacognitive processes clearly.
-
Planning, monitoring, and evaluating vary across individuals.
-
Drawing tasks serve as effective tools for studying cognition.
Keywords: Metacognition; Elementary School; Drawing; Problem-Solving; Self-Regulation
Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya dalam mengembangkan dan meningkatkan aktivitas guru dan siswa. Hal ini didasarkan dengan pendidikan yang berhasil ialah pendidikan yang indikator capaian belajarnya berhasil dan dapat dituntaskan oleh siswa [1]. Pendidikan dapat dikatakan sebagai salah satu faktor yang penting dan tidak dapat terpisahkan oleh kehidupan manusia. Terutama dalam Pendidikan Sekolah Dasar, yang mana Pendidikan Sekolah Dasar merupakan pendidikan anak yang pada umumnya berusia 7 sampai 12 tahun sebagai langkah untuk mencerdaskan dan mencetak bangsa yang bertaqwa, cinta, serta bangga terhadap negara, terampil, kreatif, berbudi pekerti, santun dan dapat mengatasi permasalahan yang ada dalam lingkungannya [2]. Siswa yang duduk di Sekolah Dasar saat ini lebih menekankan dengan canggihnya teknologi. Sehingga pembelajaran saat ini telah berkembang pesat mengikuti dengan kemajuan zaman serta dengan adanya kemajuan teknologi yang juga ikut andil di dalam dunia pendidikan. Oleh karenanya, peserta didik dibimbing dan diarahkan untuk dapat mengikuti dan mengimbangi ranah berpikir tingkat tinggi dalam suatu pembelajaran. Hal ini dipicu juga dengan berjalannya pergantian dari sistem kurikulum pendidikan yang ada di Indonesia yakni Kurikulum 2013 menjadi Kurikulum Merdeka. Sehingga memang benar adanya, bahwasannya peserta didik harus diarahkan sesuai dengan kemampuannya masing-masing selaras dengan berjalannya sistem kurikulum yang berjalan di Indonesia saat ini. Pada saat ini kurikulum yang diterapkan di indonesia menggunakan Kurikulum Merdeka. Kurikulum merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang bermacam-macam agar peserta didik lebih optimal dan memiliki konsep dan menguatkan kompetensi yang dimilikinya [3]. Pada kurikulum merdeka guru diberikan keleluasaan dalam memilih bahan ajar yang tepat untuk peserta didiknnya.
Melalui adanya peserta didik yang dibimbing dan diarahkan agar dapat berpikir secara tingkat tinggi dalam pembelajaran, hal ini berdasarkan dengan rata-rata sebagian siswa yang masih duduk di Sekolah Dasar belum bisa mengendalikan diri serta belum mengenal cara yang lebih tepat untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada dalam pembelajaran di kelas, lingkungan sekolah, lingkungan keluarga, bahkan di lingkungan masyarakat. Oleh karenanya hal yang dirasa lebih tepat untuk membekali siswa di Sekolah Dasar yakni dengan cara menggunakan pembelajaran metakognitif. Istilah metakognitif bisa ditelusuri kembali sekitar pada awal tahun 1970 yang mana istilah ini dapat didefinisikan berpikir tentang berpikir. Khususnya mengenai pemikiran individu dalam pemikirannya, sehingga dapat dikategorikan sebagai pengetahuan kognitif maupun kontrol metakognitif [4]. Metakognitif yakni suatu strategi belajar atau cara berfikir untuk mengatasi serta menyelesaikan suatu permasalahan [5]. Metakognitif dapat dikatakan sebagai cara mengoptimalkan berpikir peserta didik yang berfokus pada proses pembelajaran supaya mampu mengatasi kesulitan belajar yang dihadapi [6]. Metakognitif juga melibatkan kontrol aktif pada saat kognitif pembelajaran. Sehingga bisa disebut juga berpikir dalam berpikir, yang mana apabila peserta didik memiliki kemampuan metakognitif, maka akan kuat dalam pemahaman secara menyeluruh serta dapat memberikan solusi yang menggunakan argumentasi secara logis [7]. Hal ini juga diperkuat melalui teori dari Slavin, bahwa keterampilan metakognitif merupakan suatu metode untuk belajar, menelaah, maupun menyelesaikan soal [8]. Berpikir metakognitif dapat membantu siswa dalam mempelajari atau menggali informasi secara cepat serta menyimpan informasi sebagai pengembangannya dalam pendidikan. Sehingga melalui metakognitif dapat membuat siswa lebih percaya diri dan mempunyai rasa tanggung jawab dalam pengembangan dirinya [2].
Berdasarkan hal tersebut, bahwasannya setiap peserta didik memiliki kemampuan metakognitif, akan tetapi kemampuan metakognitif tersebut berkembang sesuai dengan pribadi masing-masing. Dimana peserta didik memiliki berbagai macam tingkat dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka sedang hadapi dalam suatu pembelajaran. Sehingga peserta didik perlu adanya dalam pengontrolan diri secara aktif pada saat proses pembelajaran berlangsung. Pengontrolan diri secara aktif bisa dikatakan sebagai pengontrolan yang berbasis dengan pengetahuan metakognitif. Pengetahuan metakognitif dapat berupa pengetahuan diri sendiri sebagai siswa serta faktor yang dapat mempengaruhinya untuk menyelesaikan sebuah masalah dalam pembelajaran. Menurut Slavin dalam penelitian Tri Linggo Wati, bahwasannya metakognitif memiliki tiga tahapan, yaitu: (1) planning, plannning sendiri memiliki sub tahapan metakognitif yaitu merencanakan operasi atau prosedur yang akan dipakai dan mengetahui tentang apa dan bagaimana ; (2) monitoring, monitoring sendiri memiliki sub tahapan metakognitif yaitu memutuskan operasi yang paling sesuai dan mengatasi kesalahan atau hambatan dalam pemecahan masalah, dan yang terakhir (3) evaluating, evaluating sendiri memiliki sub tahapan metakognitif yaitu menganalisis efisiensi dan efektifitas dan mengevaluasi kesesuaian rancangan dengan hasil. Oleh karenanya, pada masing-masing tahapan tersebut, peserta didik hendaknya melakukan kontrol terhadap cara berpikir pribadi masing-masing peserta didik dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang nantinya akan dihadapi [6].
Secara keseluruhan dengan menggunakan tiga aspek tersebut, terdapat planning yakni tahap dalam merencanakan secara keseluruhan guna menyiapkan apa yang akan dibutuhkan dalam proses metakognitif untuk mendapatkan suatu hasil. Kemudian monitoring, dimana nantinya pada tahap ini akan dilakukan pemantauan pada proses metakognitif yang telah dilakukan. Selanjutnya adalah tahapan evaluating, dimana pada tahapan ini merupakan tahapan untuk mengevaluasi hasil yang ada dalam proses metakognitif serta adanya tindak lanjut guna memperoleh hasil yang maksimal.
Estetika merupakan ilmu mengenai keindahan yang dipelajari dari karya seni berupa objek, proses kreatif, serta perencana selaku subjek. Kemudian estetika juga tidak hanya mengenai karya seni saja, akan tetapi juga memiliki sebuah nilai estetik secara menyeluruh terhadap kemampuan kreatif manusia [10]. Dari sini dapat diketahui bahwasannya estetika bukan semata mengenai bentuk kesenian saja, namun terdapat nilai yang terkandung serta memiliki suatu makna bagi karya kreatif yang dituangkan melalui ide seseorang. Pandangan secara umum mengenai estetika sebagai objek penciptaan karya seni serta secara pandangan ontologi, yakni sebagai ruh yang ada dalam karya seni dikarenakan keindahan suatu karya dapat muncul dari ide kreatif seseorang. Salah satu kegiatan yang dapat mengetahui dan mempelajari estetika atau keindahan yakni melalui kegiatan menggambar. Menurut Simon, bahwasannya gambar merupakan suatu hal yang erat serta alami yang berkaitan dengan hasrat diri seseorang. Melalui gambar, manusia dapat mengeluarkan bentuk ekspresi, cara berfikir, dan ungkapan emosinya [11]. Media gambar merupakan media yang diwujudkan melalui visual yang bermanfaat sebagai alat pendukung guna tercapainya indikator dalam pembelajaran. Media gambar dapat digunakan untuk membantu siswa dalam mengungkapkan suatu informasi yang berdasarkan adanya permasalahan, yang nantinya terintegrasi antar konteks dalam informasi untuk memberikan suatu kejelasan [12].
Menurut Azhar Arsyad menyatakan bahwasannya media adalah suatu hal yang tidak bisa terlepaskan dari pembelajaran guna untuk mencapai tujuan pendidikan secara umum serta tujan pembelajran di sekolah pada khususnya [1]. Melalui media gambar terdapat kandungan atau makna estetika maupun keindahan yang nantinya dapat diketahui. Berdasarkan hal tersebut, tidak menutup kemungkinan setiap media yang digunakan dalam pembelajaran terdapat kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Adapun kekurangan dari media gambar yaitu: (1) Difokuskan pada indra pengelihatan; (2) Benda yang konkret susah diwujudkan, dan (3) Tampilan dengan ukuran yang terbatas. Sedangkan kelebihannya yakni: (1) Konkret; (2) Mewujudkan hal terbatas oleh ruang dan waktu; (3) Mewujuddkan hal yang bersifat abstrak; (4) Membuat suatu masalah menjadi lebih jelas, dan (5) Murah dan dapat digunakan dengan mudah. Sedangkan Sadirman mengungkapkan bahwa ada kelebihan pada media gambar, diantaranya yakni: (1) Sifatnya konkret dan lebih realistis saat memunculkan masalah, apabila dibandingkan dengan bahasa verbal; (2) Bisa mengatasi batasan waktu dan ruang; (3) Bisa mengatasi keterbatasan kita; (4) Memperjelas masalah apapun di semua bidang tanpa mengenal batasan usia sehingga dapat mencehgah atau embenarkan kesalahpahaman, dan (5) Harganya murah dan serta mudah didapatkan serta efektif dalam pembelajaran yang mana untuk membimbing pengetahuan, sikap, serta keterampilan siswa yang disesuaikan dengan lingkungan sekolah [1].
Terdapat beberapa sifat yang khas dari anak-anak saat berada pada jenjang kelas rendah, diantaranya yakni: (1) Adanya korelasi positif yang tinggi antara kesehatan jasmani dan prestasi sekolah; (2) Sikap yang cenderung untuk mematuhi peraturan-peraturan pada permainan tradisional; (3) Kecenderungan memuji diri sendiri; (4) Suka membandingkan dirinya sendiri dengan anak lain, dan (5) Jika tidak dapat menyelesaikan soal, maka soal tersebut dianggap tidak penting [13]. Dari sini dapat diketahui bahwasannya anak-anak yang masih berada pada jenjang kelas rendah dalam pendidikan dasar, memiliki adanya suatu ciri khas tersendiri mengenai sifatnya. Berdasarkan hal tersebut, maka anak-anak di usia 6 – 8 tahun yang menduduki kelas rendah sangat penting untuk dikenalkan mengenai seni gambar yang mana anak-anak nantinya dapat mengembangkan ide dan kreativitasnya dalam menggambar. Melalui gambar peserta didik, seorang guru ataupun orang tua bisa mengkaji atau mempelajari berbagai hal. Khususnya yang berkaitan dengan fantasi, imajinasi, tingkat kecerdasan, kebebasan dalam berkekspresi, kreativitas, serta berbagai aspek kejiwaan lainnya [14]. Berdasarkan penelitian sebelumnya, bahwasannya media sangat efektif serta berpengaruh membantu proses berpikir secara metakognitif dalam menghasilkan karya seni gambar [6]. Tujuan penelitian untuk mengetahui bagaimana peserta didik sekolah dasar menerapkan pemikiran metakognitif dalam suatu proses menggambar.
Metode
Jenis penelitian ini ialah jenis penelitian fenomenologi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian fenomenologi dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian fenomenologi adalah suatu penelitian ilmiah yang mempelajari dan menyelidiki suatu peristiwa yang menarik yang terjadi pada seorang individu, sekelompok individu, atau sekelompok makhluk yang hidup. Peristiwa ini harus terjadi dan menjadi bagian dari kehidupan subjek penelitian [15]. Tujuan studi fenomenologi adalah untuk meningkatkan pemahaman kita tentang dunia nyata. Penelitian fenomenologi bersifat kualitatif karena pengalaman manusia dievaluasi melalui deskripsi menyeluruh dari subjek yang diselidiki. Pengalaman seseorang dipengaruhi oleh pengetahuan, yang merupakan kumpulan ide, keyakinan, konsep, nilai, dan perspektif yang diperoleh dari lingkungannya. Pengalaman ini digunakan untuk menganalisis peristiwa, mendapatkan pemahaman tentang topik, dan mengatur tindakan.
Populasi pada penelitian ini yaitu SD Negeri Kedondong 2 Kecamatan Tulangan Kabupaten Sidoarjo Tahun Ajaran 2023/2024. Subjek penelitian adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut [16]. Pengambilan subjek penelitian ini yaitu menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah pengambilan sampel menggunakan pertimbangan tertentu sesuai dengan kriteria yang diinginkan untuk menentukan jumlah sampel yang akan diteliti. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan tujuan menghasilkan sampel secara logis. Maka dari itu kelas 1 dipilih sebagai sampel yang dianggap dapat mewakili populasi. Untuk memperkuat penelitian ini, peneliti juga menggunakan teknik pengambilan data secara triangulasi data yang terdiri dari wawancara, observasi dan dokumentasi (gambar siswa) [17].
Hasil dan Pembahasan
Menganalisis suatu gambar melalui aspek metakognitif, peneliti menggunakan suatu penugasan kepada peserta didik kelas 1 Sekolah Dasar. Dimana dalam penugasan tersebut terdapat tiga soal yang mengandung kalimat perintah yang berkaitan dengan gambar. Menurut Schunk dalam Widiana, I Wayan mengatakan bahwasannya suatu pengembangan metakognitif bisa meningkatkan tingkat kepercayaan diri siswa serta tanggung jawab pribadi untuk pengembangan diri mereka. Adanya peningkatan rasa percaya diri serta rasa tanggung jawab pribadi yang meningkat pada siswa dapat memberikan semangat motivasi untuk belajar [2]. Berdasarkan hal tersebut, untuk menganalisis suatu gambar peneliti menggunakan suatu uji keabsahan data melalui teknik triangulasi data yang terdiri dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya melalui metode wawancara, observasi, dan dokumentasi akan peneliti bahas dengan berdasarkan teori metakognitif yang diprakarsai oleh Slavin dalam penelitian Tri Linggo Wati, yakni: (1) Planning; (2) Monitoring, dan (3) Evaluating. Pada tahap pertama ialah planning (merencanakan) yang meliputi tentang memahami soal yang telah diberikan serta menentukan objek gambar yang akan dibuat. Tahap kedua ialah monitoring (memonitor atau memantau) yang meliputi tentang penerapan tahapan dalam mengerjakan atau berkarya. Tahap ketiga ialah evaluating (mengevaluasi) yang meliputi tentang menggambar sesuai dengan tema.
Perlu diketahui bahwasannya soal pertama berkaitan dengan tema cita-cita, kemudian soal kedua berkaitan dengan garis yang telah disediakan, serta soal ketiga berkaitan dengan tema hewan. Pada data observasi, subjek A dalam soal pertama telah melakukan tahapan perencanaan untuk membuat objek gambar dan memahami akan perintah gambar sesuai dengan tema. Sehingga subjek A telah melakukan planning untuk menggambar sesuai tema. Pada tahapan monitoring subjek A menerapkan tahapan untuk mengerjakan atau berkarya, dimana subjek A mampu menentukan langkah yang diambil untuk selanjutnya serta mampu membuat suatu keputusan jika terjadi kesulitan dalam menggambar. Pada tahapan evaluating subjek A mampu mengevaluasi tentang kesesuaian objek gambar dengan tema yang telah ditentukan. Kemudian pada soal kedua, subjek A juga melakukan planning yang mana merencanakan terlebih dahulu akan ide untuk menggambar yang sebelumnya sudah tersedia garis saja. Pada tahap monitoring, subjek A mengalami sedikit kebingungan dikarenakan soal yang diberikan merupakan hal baru yang ada dalam pikirnya. Sehingga subjek A berpikir akan gambar apa yang dibuat nantinya dengan berbantuan garis yang telah disediakan. Pada tahapan evaluating, subjek A dapat menyelesaikan dan mengukur kemampuan dirinya akan hal baru yang dihadapinya saat berkarya menggambar dengan berbantuan garis saja. Selanjutnya dalam soal ketiga, subjek A tidak merencanakannya (planning) mengenai objek gambar yang berkaitan dengan hewan karena hal tersebut dirasa sudah mudah dan mampu untuk menggambarnya. Setelah itu pada tahapan monitoring, subjek A juga tidak melakukannya dikarenakan dirasa sudah mampu untuk melakukan hal yang segera dilakukan dalam menggambar dengan tema hewan. Pada tahapan yang terakhir yakni evaluating, subjek A mengevaluasi kesesuaian antara objek gambar yang dibuatnya dengan tema yang ditentukan. Oleh karenanya, berdasarkan data yang telah ada melalui observasi secara langsung bahwasannya dari ketiga soal yang diberikan, subjek A telah menerapkan proses berpikir metakognitif melalui tiga tahapan yang sudah dilaksanakan secara keseluruhan, meskipun terdapat satu soal tepatnya di soal ketiga yang dirasa mudah dan bisa menguasainya bagi dirinya sehingga hanya melakukan di tahap evaluasi saja.
Hasil wawancara pada subjek A menunjukkan bahwasannya pada soal pertama, subjek A menyatakan sudah memahami akan perintah yang ada pada soal. Sehingga tidak merasakan kesulitan dalam merencanakan objek gambar yang akan digambarkan sesuai dengan tema yang berkaitan dengan cita-citanya. Terlihat dalam dokumentasi hasil gambar yang sudah dilaksanakannya, bahwa subjek A terlihat sangat bahagia dalam menggambar sesuai dengan tema cita-cita dan tidak merasa kesulitan dalam membuat gambar yang sesuai dengan cita-citanya. Kemudian pada hasil wawancara soal yang kedua, bahwasannya subjek A menyatakan sudah memahami akan perintah soal. Sehingga tidak mengalami kesulitan dalam merencanakan objek yang digambar. Akan tetapi sebelumnya sedikit mengalami kebingungan dalam membuat gambar yang hanya berbantuan adanya garis saja, namun itu semua langsung teratasi ketika ia berpikir untuk membut gambar hewan kambing pada lembar gambar yang berbantuan adanya garis saja. Hal ini menandakan bahwa rasa kebingungan bisa teratasi dengan ide yang sudah direncanakan serta mengevaluasi kesesuaian dengan garis bantu dalam lembar gambar. Selanjutnya hasil wawancara pada soal ketiga yakni subjek A menyatakan mampu dalam memahami perintah dari soal yang telah diberikan. Untuk soal ketiga yakni berkaitan dengan tema hewan. Oleh karenanya, subjek A tidak merasa kesulitan dalam merencanakan objek gambar yang akan ditentukannya. Saat menggambar dengan tema hewan, subjek A dapat menggambar dengan tiga jenis hewan dengan sangat mudah dan terlatih. Hal ini berdasarkan dengan proses serta dokumentasi hasil gambar yang bagus dan sudah terlatih menggambar tema hewan sebelumnya. Oleh karenanya, berdasarkan hasil data observasi, wawancara, dan dokumentasi terdapat kesesuaian yang terkait antar tiga tahapan melalui planning, monitoring, dan evaluating. Sehingga subjek tersebut melakukan cara berpikir secara metakognitif.
Pada hasil observasi subjek B dalam soal pertama, sudah melakukan tahapan perencanaan untuk membuat objek gambar serta dapat memahami dari perintah gambar sesuai dengan tema. Sehingga subjek B melakukan planning untuk menggambar sesuai tema. Pada tahap monitoring subjek B kurang menerapkan tahapan untuk mengerjakan atau berkarya, dimana subjek B menentukan langkah dalam menggambar sesuai dengan keinginan atau ide yang ada dalam pikirannya. Sehingga kurang terstruktur dalam menggambar cita-cita. Pada tahap evaluating subjek B dapat mengevaluasi mengenai kesesuaian objek gambar dengan tema yang telah ditentukan. Kemudian dalam soal kedua, subjek B sebelumnya telah merencanakan (planning) mengenai ide untuk menggambar yang hanya tersedia garis saja. Pada tahap monitoring, subjek B sangat leluasa dalam menggambarkan objek gambar yang hanya berbantuan dengan garis saja. Hal ini dikarenakan sebelumnya subjek B sudah ada ide untuk menentukan objek gambar yang akan dibuatnya. Pada tahap evaluating, subjek B mampu menyelesaikan serta mengetahui akan kemampuan yang ada dalam dirinya tentang berkarya dalam menggambar dengan berbantuan garis saja. Selanjutnya dalam soal ketiga, subjek B tidak melakukan perencanaan (planning) tentang objek gambar yang berkaitan dengan hewan. Setelah itu pada tahap monitoring, subjek B juga tidak melakukannya. Namun pada tahap evaluating, subjek B mengevaluasi kesesuaian antara objek gambar yang dibuatnya dengan tema hewan yang telah ditentukan. Oleh karenanya, berdasarkan data yang telah ada melalui data observasi secara langsung, bahwasannya dari ketiga soal yang diberikan, subjek B telah menerapkan berpikir metakognitif melalui tiga tahapan yang sudah dilaksanakan secara keseluruhan, meskipun di soal ketiga yang dirasa mudah dan bisa dikuasainya, sehingga hanya melakukan di tahap evaluasi saja
Hasil wawancara pada subjek B diperoleh berdasarkan data wawancara yang telah dilakukan, bahwasannya pada soal pertama yang berkaitan dengan tema cita-cita subjek B menyatakan telah memahami dari perintah soal yang telah disediakan. Sehingga mudah baginya dalam merencanakan objek gambar yang akan dibuatnya. Maka dari itu, subjek B melakukan evaluasi terhadap kesesuaian antara objek gambar yang dibuat dengan tema yang telah ditentukan. Kemudian untuk soal kedua mengenai objek gambar yang berbantuan dengan garis saja, subjek B menyatakan bahwa telah memahami apa yang diperintahkan dalam soal serta mudah dalam merencanakan objek gambar yang nantinya digambar dengan berbantuan garis saja. Sehingga melihat dari hasil dokumentasi gambar yang telah dibuatnya dengan berbantuan garis saja, subjek B berhasil membuat pohon yang mana dilengkapi dengan pegunungan yang bernuansa secara alami. Setelah itu melanjutkan dengan mengevaluasi kesesuaian objek gambar dengan tema yang berkaitan. Kemudian pada soal ketiga, subjek B mengutarakan bahwa ia memahami tentang perintah dalam soal yang mana berkaitan tentang hewan. Setelah itu subjek B sedikit mengalami kebingungan pada langkah-langkah yang dilakukan, akan tetapi hal ini dapat teratasi melalui apa yang dipikirkaannya tentang objek gambar ikan dalam aquarium. Sehingga saat mengevaluasi objek gambar dengan tema yang ditentukan telah sesuai. Oleh karenanya, berdasarkan hasil data observasi, wawancara, dan dokumentasi terdapat kesesuaian yang terkait antar tiga tahapan melalui planning, monitoring, dan evaluating. Maka dari itu, subjek tersebut telah melakukan cara berpikir secara metakognitif meskipun kurang sempurna di bagian soal yang berkaitan tentang hewan.
Berdasarkan data yang telah diambil dalam penelitian, subjek A dan subjek B terdapat persamaan dan perbedaan dalam penelitian kali ini. Hal ini dikarenakan setiap siswa memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Sesuai data yang ada, bahwa perbedaannya yakni pada tingkat kesabarannya dalam berkreasi dengan langkah-langkah yang dilakukan. Sehingga melihat dari hasil gambar Subjek A memiliki tingkat ketekunan dalam merencanakan, memonitor sampai pada tahap evaluasi. Sedangkan pada subjek B, terkadang masih kebingungan dalam menentukan objek gambar, akan tetapi langsung terpikirkan akan pembuatan gambar yang sesuai dengan tema. Sedangkan persamaan dari subjek A dan subjek B, melalui proses pemikiran metakognitif dalam membuat gambar sesuai dengan temanya. Sehingga siswa yang ikut menggambar merasa mudah dan tidak terbebani apabila sedang melakukan suatu pekerjaan. Dikarenakan sama-sama memiliki suatu pemikiran dengan menggunakan berpikir metakognitif.
Simpulan
Berdasarkan hasil data penelitian yang ada ialah proses berpikir metakognitif terdiri atas tiga tahapan yakni mengenai planning, monitoring, dan evaluasi. Sehingga melalui tiga tahapan dalam berpikir secara metakognitif. Subjek A dan B saling mirip dan berbeda dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan fakta bahwa setiap siswa memiliki perspektif yang berbeda-beda. Data yang ada menunjukkan bahwa perbedaannya terletak pada tingkat kesabarannya dalam mengembangkan tindakan. Jadi, seperti yang ditunjukkan oleh hasil gambar, Subjek A memiliki tingkat ketekunan dalam merencanakan dan mengawasi hingga tahap evaluasi. Subjek A dan Subjek B sama-sama menggunakan proses pemikiran metakognitif untuk membuat gambar yang sesuai dengan temanya. Sebaliknya, subjek B kadang-kadang masih bingung menentukan objek gambar, tetapi langsung berpikir tentang membuat gambar yang sesuai dengan temanya. untuk siswa yang menggambar merasa nyaman dan tidak terbebani saat mengerjakan tugas. karena keduanya menggunakan berpikir metakognitif untuk berpikir.
Ucapan Terimakasih
Saya mengucapkan terimakasih kepada kedua orangtua, suami dan anakku tercinta yang selalu memberikan semangat dan doa tulus disetiap proses penelitian ini, serta dosen pembimbing dan teman teman yang membantu penyelesaian penelitian ini. Terimakasih juga kepada kepala sekolah, guru dan siswa sdn kedondong 2 yang telah memberikan izin dan mendukung penelitian ini
References
[1] K. S. Adnyana and G. N. A. Yudaparmita, “Peningkatan Minat Belajar IPAS Berbantuan Media Gambar pada Siswa Sekolah Dasar,” Edukasi: Jurnal Pendidikan Dasar, vol. 4, no. 1, p. 61, 2023, doi: 10.55115/edukasi.v4i1.3023.
[2] W. Widiana, “Mengembangkan Kemampuan Berpikir Metakognitif di Sekolah Dasar: Kajian Berpikir tentang Berpikir,” Jurnal Ilmiah Sekolah Dasar, vol. 8, pp. 1–68, 2022.
[3] P. F. A. Z. Faridahtul Jannah and T. I. Fathuddin, “Problematika Penerapan Kurikulum Merdeka Belajar 2022,” Al Yazidiy: Ilmu Sosial, Humaniora, dan Pendidikan, vol. 4, no. 2, pp. 55–65, 2022.
[4] A. Albalhareth and A. Alasmari, “Metacognitive Strategies Implemented with d/Dhh Students in Upper Elementary Schools in Saudi Arabia,” Thinking Skills and Creativity, vol. 47, 2023, doi: 10.1016/j.tsc.2022.101222.
[5] S. U. Khasana and Darsinah, “Jurnal Pendidikan Dasar Flobamorata,” Jurnal Pendidikan Dasar Flobamorata, vol. 3, no. 1, pp. 1–11, 2022.
[6] T. L. Wati, “Analisis Metakognitif melalui Media pada Mata Kuliah Seni Rupa Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar,” Pedagogia: Jurnal Pendidikan, vol. 9, no. 1, pp. 35–42, 2020, doi: 10.21070/pedagogia.v9i1.214.
[7] M. F. Amir and M. D. Kusuma W., “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Berbasis Masalah Kontekstual untuk Meningkatkan Kemampuan Metakognisi Siswa Sekolah Dasar,” Jurnal Medives: Journal of Mathematics Education IKIP Veteran Semarang, vol. 2, no. 1, p. 117, 2018, doi: 10.31331/medives.v2i1.538.
[8] A. Patmaningrum, “Pemanfaatan Kemampuan Metakognitif dalam Upaya Peningkatan Proses Berpikir Kreatif Siswa dalam Pembelajaran Matematika,” Jurnal Dharma Pendidikan STKIP PGRI Nganjuk, vol. 14, no. 1, pp. 15–21, 2021.
[9] E. A. Febrianti, “Desain Instrumen Tes untuk Mengukur Metakognisi Peserta Didik pada Materi Asam Basa,” Universitas Negeri Semarang Repository, 2020.
[10] E. Purwaningsih, “Urgensi Kebutuhan Pembelajaran Ekonomi Berkarakter Berbasis Kelas di SMA,” Jurnal Visi Ilmu Pendidikan, vol. 14, no. 1, p. 74, 2022, doi: 10.26418/jvip.v14i1.43383.
[11] T. L. Wati and D. Novita, “Analisis Gambar Siswa Tuna Rungu Ditinjau dari Makna Bahasa Rupa (Bentuk dan Warna) di SLB Dewi Sartika Geluran Sidoarjo,” Proceedings of the International Conference on Education and Cultural Research Studies (ICECRS), vol. 1, no. 3, pp. 1–12, 2018, doi: 10.21070/picecrs.v1i3.1400.
[12] H. Setiyawan, “Pemanfaatan Media Audio Visual dan Media Gambar pada Siswa Kelas V,” Jurnal Prakarsa Paedagogia, vol. 3, no. 2, 2021, doi: 10.24176/jpp.v3i2.5874.
[13] H. Islamuddin, Psikologi Pendidikan. Yogyakarta, Indonesia: Pustaka Pelajar, STAIN Jember Press, 2012.
[14] M. N. Fazria and T. L. Wati, “Analisis Kreativitas Menggambar Imajinasi Peserta Didik Kelas IV Ditinjau dari Aspek (Kemampuan Tinggi, Sedang, Rendah) di SDN,” ELSE (Elementary School Education Journal): Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Sekolah Dasar, vol. 6, no. 2, pp. 331–350, 2022.
[15] A. Nasir, N. Nurjana, K. Shah, R. A. Sirodj, and M. W. Afgani, “Pendekatan Fenomenologi dalam Penelitian Kualitatif,” Innovative: Journal of Social Science Research, vol. 3, no. 5, pp. 4445–4451, 2023.
[16] R. Junaidi and F. Susanti, “Pengaruh Gaya Kepemimpinan dan Budaya Organisasi terhadap Kinerja Pegawai pada UPTD Baltekkomdik Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat,” Jurnal Manajemen dan Informasi, vol. 2, no. 3, p. 13, 2019.
[17] A. Alfansyur and Mariyani, “Seni Mengelola Data: Penerapan Triangulasi Teknik, Sumber, dan Waktu pada Penelitian Pendidikan Sosial,” Historis, vol. 5, no. 2, pp. 146–150, 2020.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
Categories
License
Copyright (c) 2025 Imelda Selly Yuliasanti, TRI LINGGO WATI

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.