Playdough Media to Improve Fine Motor Skills in Early Childhood
Media Playdough untuk Meningkatkan Keterampilan Motorik Halus pada Anak Usia Dini
DOI:
https://doi.org/10.21070/ijemd.v18i4.945Keywords:
Playdough, Fine Motor Skills, Early Childhood, Sensory Play, KindergartenAbstract
General Background: Fine motor development is a crucial foundation for early childhood learning readiness, particularly for writing, drawing, and self-care activities. Specific Background: Children aged 5–6 years require appropriate stimulation to strengthen finger muscles and hand-eye coordination, yet structured motor skill programs remain limited in many kindergartens. Knowledge Gap: Although playdough has been widely used in informal learning, little research has documented its systematic application in formal early childhood education. Aims: This study investigates how structured playdough activities contribute to improving fine motor skills in children aged 5–6 years at TK Pembina Muara Sabak Barat. Results: Findings revealed significant improvements, with 80% of children demonstrating enhanced abilities in rolling, cutting, pinching, and shaping objects after four weeks of intervention. Novelty: The study highlights playdough as a low-cost, engaging, and versatile medium that integrates physical skill development with creativity and thematic learning. Implications: The results underscore the importance of incorporating sensory-based play regularly in early childhood classrooms, offering practical guidance for teachers and parents to support holistic child development.
Highlights:
-
Playdough strengthens hand-eye coordination in early childhood
-
Structured activities improve finger dexterity and creativity
-
Effective low-cost medium for motor and learning development
Keywords: Playdough, Fine Motor Skills, Early Childhood, Sensory Play, Kindergarten
Pendahuluan
Perkembangan motorik halus merupakan salah satu aspek penting dalam tumbuh kembang anak usia dini [1]. Keterampilan ini mencakup kemampuan koordinasi otot-otot kecil seperti jari dan pergelangan tangan yang diperlukan untuk aktivitas seperti menulis, menggambar, atau mengikat tali sepatu [2].
Anak usia 5–6 tahun berada pada fase emas dalam perkembangan fisik dan sensorik sehingga stimulasi yang tepat sangat diperlukan [3]. Playdough atau lilin mainan merupakan salah satu media sensorik yang terbukti efektif dalam melatih koordinasi dan kekuatan jari [4][5].
Studi menunjukkan bahwa anak yang sering bermain dengan playdough mengalami peningkatan signifikan dalam aktivitas motorik halus seperti mencubit, menggulung, memotong, dan mengepal [6][7]. Selain itu, aktivitas bermain ini juga mendukung kreativitas dan eksplorasi sensorik anak [8]. Namun demikian, belum semua lembaga PAUD memanfaatkan playdough sebagai alat bantu pembelajaran yang terstruktur [9]. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana penggunaan media playdough dapat meningkatkan motorik halus anak usia 5–6 tahun di TK Pembina Muara Sabak Barat.
Penelitian ini diawali dengan pengenalan program bermain menggunakan playdough di TK Pembina Muara Sabak Barat. Sebelum kegiatan dimulai, guru menyiapkan berbagai jenis playdough berwarna-warni dalam jumlah yang cukup untuk seluruh anak. Playdough tersebut diletakkan di meja-meja kecil dengan wadah terpisah, sehingga setiap anak memiliki ruang kerja sendiri namun tetap dapat berinteraksi dengan teman di sekitarnya. Selain itu, guru juga menyediakan berbagai alat bantu seperti cetakan berbentuk hewan, alat pemotong plastik, rol kayu kecil, dan tusuk sate kayu yang aman untuk anak. Semua perlengkapan ini dirancang agar mendukung anak dalam melakukan berbagai gerakan jari yang bermanfaat bagi penguatan motorik halus.
Kegiatan dimulai dengan sesi pengenalan. Guru memperlihatkan playdough, menjelaskan tekstur dan warnanya, lalu memberikan contoh cara memainkannya. Anak-anak diajak mencoba memegang, menekan, dan membentuk playdough sesuai instruksi sederhana. Misalnya, guru meminta anak membuat bola kecil dengan cara menggulung playdough di antara kedua telapak tangan. Setelah itu, anak diminta membuat “ular” dengan menggulung adonan di atas meja menggunakan jari-jari mereka. Aktivitas ini mengasah kekuatan genggaman sekaligus koordinasi antara tangan kanan dan kiri.
Pengamatan awal menunjukkan bahwa sebagian anak sudah terbiasa memanipulasi benda dengan jari, sementara sebagian lainnya masih canggung dan memerlukan bimbingan lebih intens. Guru secara aktif berkeliling dari satu meja ke meja lain, memberikan arahan, serta membantu anak yang mengalami kesulitan. Misalnya, ada anak yang kesulitan membuat bentuk bulat, sehingga guru menunjukkan teknik menggulung secara perlahan sambil menekan dengan kekuatan yang tepat. Setelah mencoba beberapa kali, anak tersebut mulai mampu membuat bola kecil sendiri dan terlihat senang dengan hasilnya.
Kegiatan bermain dengan playdough ini tidak hanya fokus pada pembentukan benda, tetapi juga pada variasi gerakan yang dapat melatih berbagai otot jari dan pergelangan tangan. Guru merancang tantangan bertahap, seperti mencubit playdough untuk membentuk kelopak bunga, memotong adonan menjadi potongan kecil, atau mengepal playdough untuk membuat bentuk yang padat. Setiap gerakan ini memiliki tujuan tersendiri, misalnya gerakan mencubit melatih keterampilan yang dibutuhkan untuk memegang pensil, sedangkan gerakan mengepal memperkuat genggaman yang diperlukan dalam aktivitas menulis dan menggambar.
Selain latihan fisik, guru juga mengaitkan permainan ini dengan pembelajaran tematik. Pada tema “Binatang di Sekitar Kita,” anak-anak diajak membuat bentuk hewan seperti ikan, burung, atau kucing menggunakan playdough. Anak dapat menggunakan cetakan yang sudah disediakan atau mencoba membentuknya sendiri. Aktivitas ini mendorong kreativitas sekaligus memperkaya kosakata mereka, karena guru menyelipkan pertanyaan seperti, “Hewan apa yang kamu buat?” atau “Apa warna ikanmu?” Interaksi seperti ini memadukan pengembangan motorik halus dengan stimulasi bahasa secara bersamaan.
Respons anak terhadap kegiatan ini sangat positif. Sebagian besar anak terlihat fokus dan betah duduk cukup lama untuk menyelesaikan bentuk yang mereka inginkan. Bahkan, beberapa anak meminta waktu tambahan untuk membuat bentuk lain setelah kegiatan inti selesai. Suasana kelas menjadi lebih hidup dengan celotehan anak yang saling membandingkan hasil karya mereka, memberikan komentar, atau membantu teman yang kesulitan. Guru memanfaatkan momen ini untuk menanamkan nilai kerja sama dan saling menghargai.
Dari sesi-sesi bermain yang dilakukan secara rutin, mulai terlihat perkembangan kemampuan motorik halus anak. Anak yang awalnya kesulitan memegang gunting plastik kini sudah mampu memotong playdough menjadi potongan kecil dengan presisi. Anak yang semula hanya mampu membuat bentuk sederhana mulai bisa membentuk objek yang lebih kompleks, seperti bunga dengan kelopak dan tangkainya. Peningkatan ini juga tercermin dalam aktivitas harian lainnya, misalnya saat anak menggambar atau mewarnai, gerakan tangan mereka menjadi lebih stabil dan terkontrol.
Guru mencatat setiap perkembangan anak dalam lembar observasi yang telah disiapkan. Catatan ini meliputi kemampuan mencubit, menggulung, memotong, mengepal, dan membentuk. Dengan pencatatan yang konsisten, guru dapat menilai kemajuan setiap anak dan memberikan tantangan yang sesuai. Bagi anak yang sudah mahir, guru memberikan tugas membuat bentuk yang lebih detail. Sementara itu, bagi anak yang masih memerlukan latihan, guru memberikan bimbingan tambahan dalam kelompok kecil.
Kegiatan bermain dengan playdough ini juga melibatkan orang tua secara tidak langsung. Guru menyarankan agar orang tua menyediakan waktu bermain serupa di rumah, baik dengan playdough yang dibeli maupun yang dibuat sendiri dari bahan sederhana seperti tepung dan garam. Beberapa orang tua melaporkan bahwa anak mereka menjadi lebih aktif berkreasi di rumah dan menunjukkan hasil karyanya kepada anggota keluarga. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan yang dimulai di sekolah dapat diperluas ke lingkungan rumah, sehingga stimulasi motorik halus anak berlangsung secara berkesinambungan.
Secara keseluruhan, penggunaan playdough di TK Pembina Muara Sabak Barat terbukti memberikan dampak positif pada perkembangan motorik halus anak usia 5–6 tahun. Melalui aktivitas mencubit, menggulung, memotong, dan mengepal, anak tidak hanya melatih koordinasi otot-otot kecil, tetapi juga mengembangkan kreativitas, konsentrasi, dan kemampuan memecahkan masalah. Suasana bermain yang menyenangkan membuat anak tidak merasa terbebani, melainkan termotivasi untuk terus mencoba hal baru. Penelitian ini memberikan gambaran bahwa media sederhana seperti playdough dapat menjadi alat pembelajaran yang efektif jika digunakan secara terstruktur dan konsisten, serta mendapat dukungan dari guru dan orang tua.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Subjek penelitian terdiri dari 15 anak usia 5–6 tahun dan 2 guru kelas B. Teknik pengumpulan data meliputi:
1. Observasi perkembangan keterampilan motorik halus (menggulung, menjepit, menekan, membentuk)
2. Wawancara dengan guru
3. Dokumentasi hasil karya anak
Data dianalisis dengan langkah reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Validitas data diperoleh melalui triangulasi sumber dan waktu.
Pelaksanaan penelitian dimulai dengan tahap persiapan, di mana peneliti berkoordinasi dengan pihak sekolah untuk menentukan jadwal, metode pengumpulan data, dan teknis pelaksanaan di lapangan. Guru kelas B dilibatkan secara aktif sejak awal, baik dalam penyusunan instrumen observasi maupun dalam memberikan informasi awal mengenai karakteristik anak di kelas. Sebelum kegiatan inti dimulai, peneliti mengadakan pertemuan singkat dengan guru untuk memastikan bahwa seluruh langkah pengumpulan data dapat dilakukan tanpa mengganggu jalannya proses belajar mengajar.
Observasi perkembangan keterampilan motorik halus dilakukan selama beberapa pertemuan yang telah dijadwalkan. Setiap sesi difokuskan pada aktivitas yang menstimulasi gerakan tertentu, seperti menggulung playdough untuk membentuk tali panjang, menjepit potongan kecil menggunakan jari, menekan adonan untuk membentuk pola, hingga membuat objek sederhana seperti bunga atau hewan. Peneliti mencatat secara rinci kemampuan masing-masing anak dalam melakukan setiap gerakan tersebut, termasuk tingkat kemandirian, ketepatan bentuk, dan kekuatan genggaman.
Selama proses observasi, terlihat adanya variasi kemampuan di antara anak-anak. Beberapa anak mampu melakukan gerakan menggulung dengan cepat dan menghasilkan bentuk yang rapi, sementara yang lain masih memerlukan bantuan guru untuk mempertahankan bentuk yang diinginkan. Pada kegiatan menjepit, anak yang memiliki kekuatan jari cukup baik dapat memindahkan potongan kecil playdough dari satu tempat ke tempat lain dengan presisi, sedangkan sebagian anak lainnya perlu diarahkan berulang kali agar dapat menggunakan jari dengan benar. Peneliti dan guru bekerja sama memberikan bimbingan langsung di saat anak mengalami kesulitan.
Wawancara dengan guru dilakukan untuk memperoleh gambaran yang lebih luas mengenai perkembangan anak di luar kegiatan yang diamati langsung. Guru menjelaskan bahwa kegiatan yang melibatkan playdough bukan hanya dilakukan saat penelitian, tetapi juga sering diterapkan sebelumnya dalam pembelajaran tematik. Menurut guru, kegiatan ini membantu anak menjadi lebih percaya diri saat melakukan aktivitas yang membutuhkan keterampilan motorik halus lainnya, seperti menggunting, mewarnai, atau merangkai manik-manik. Guru juga memberikan informasi mengenai kebiasaan anak di rumah, yang diperoleh dari komunikasi dengan orang tua. Data ini menjadi pelengkap bagi hasil observasi karena memberikan konteks latar belakang yang memengaruhi keterampilan anak.
Dokumentasi hasil karya anak menjadi bagian penting dalam pengumpulan data. Setiap karya yang dihasilkan anak difoto dan diberi label nama serta tanggal pembuatannya. Dengan cara ini, peneliti dapat membandingkan perkembangan keterampilan anak dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Beberapa anak menunjukkan kemajuan yang pesat, seperti kemampuan membentuk objek yang lebih detail dan proporsional. Ada juga anak yang awalnya hanya mampu membuat bentuk sederhana, namun pada pertemuan terakhir sudah mampu mengombinasikan beberapa bentuk menjadi satu karya yang utuh, misalnya membuat bunga dengan tangkai dan daun yang terpisah namun tersusun rapi.
Proses analisis data dilakukan melalui tiga tahap. Pertama, reduksi data dilakukan dengan memilih dan menyederhanakan informasi yang relevan dengan fokus penelitian, yaitu perkembangan keterampilan motorik halus anak. Catatan observasi yang terlalu umum atau tidak berkaitan langsung dengan keterampilan target disaring, sehingga hanya data yang relevan yang digunakan untuk tahap berikutnya. Kedua, penyajian data dilakukan dalam bentuk narasi deskriptif yang menggambarkan kemampuan anak secara rinci, dilengkapi dengan dokumentasi foto hasil karya mereka. Hal ini memudahkan peneliti dan guru untuk melihat pola perkembangan dan perbedaan antar individu. Ketiga, verifikasi data dilakukan dengan membandingkan hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi, sehingga diperoleh kesimpulan yang akurat.
Validitas data dijaga melalui triangulasi sumber dan waktu. Triangulasi sumber dilakukan dengan memeriksa kesesuaian data antara hasil observasi, informasi dari guru, dan bukti karya anak. Jika terdapat perbedaan, peneliti mendiskusikannya lebih lanjut dengan guru untuk mendapatkan klarifikasi. Triangulasi waktu dilakukan dengan melakukan pengamatan pada beberapa kesempatan yang berbeda, sehingga data yang diperoleh tidak hanya menggambarkan kondisi sesaat, tetapi menunjukkan perkembangan yang konsisten.
Hasil dari keseluruhan proses ini memberikan gambaran yang jelas mengenai bagaimana keterampilan motorik halus anak berkembang ketika mereka terlibat dalam aktivitas yang terstruktur dan menyenangkan. Observasi yang berulang, wawancara yang mendalam, serta dokumentasi yang terjaga dengan baik memberikan dasar yang kuat untuk menyimpulkan bahwa kegiatan seperti menggulung, menjepit, menekan, dan membentuk playdough dapat menjadi media efektif dalam meningkatkan koordinasi dan kekuatan otot-otot kecil anak. Lebih jauh lagi, pendekatan ini tidak hanya bermanfaat secara fisik, tetapi juga memberikan pengalaman belajar yang positif, memotivasi anak untuk terus mencoba, dan membangun rasa percaya diri mereka dalam berkarya.
Hasil dan Pembahasan
Hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian menunjukkan adanya perkembangan positif pada keterampilan motorik halus anak usia 5–6 tahun di TK yang menjadi lokasi penelitian. Data yang diperoleh melalui observasi terstruktur, wawancara, dan dokumentasi menunjukkan bahwa sebagian besar anak mengalami peningkatan pada tiga aspek utama yang diamati. Peningkatan ini terlihat konsisten dari sesi awal hingga akhir kegiatan pembelajaran menggunakan media playdough.
Pada aspek pertama, yaitu kemampuan menggulung dan membentuk objek, tercatat 12 anak atau 80% dari total peserta menunjukkan perkembangan yang signifikan. Pada awal kegiatan, sebagian anak hanya mampu menggulung playdough menjadi bentuk yang tidak beraturan, bahkan beberapa di antaranya memerlukan bantuan guru untuk menjaga bentuk tetap utuh. Namun, setelah beberapa kali mengikuti sesi latihan, mereka mulai mampu membuat bentuk yang lebih terkontrol, seperti bola, tali panjang, atau lingkaran pipih. Anak-anak yang sudah lebih terampil bahkan mencoba membuat bentuk-bentuk baru tanpa arahan langsung, seperti bunga sederhana atau bentuk angka. Guru memanfaatkan momen ini untuk memberi apresiasi, sehingga anak merasa bangga dan terdorong untuk mencoba lagi.
Kemampuan menggulung ini tidak hanya melatih kekuatan jari, tetapi juga koordinasi kedua tangan. Selama proses pengamatan, terlihat bahwa anak yang awalnya sering menjatuhkan playdough saat digulung, perlahan mampu mempertahankan gerakan yang stabil. Beberapa anak bahkan mulai menggabungkan teknik menggulung dengan teknik menekan untuk menghasilkan bentuk yang lebih detail. Perkembangan ini menjadi indikator penting bahwa latihan yang berulang dan terstruktur dapat mempercepat kemajuan keterampilan motorik halus anak.
Pada aspek kedua, yaitu kemampuan memegang alat cetak, sebanyak 11 anak atau 73% menunjukkan kemajuan yang jelas. Pada awalnya, ada anak yang kesulitan mengatur tekanan saat menggunakan alat cetak sehingga hasilnya kurang maksimal. Guru memberikan bimbingan cara memegang dan menekan alat dengan kekuatan yang sesuai. Seiring waktu, anak-anak mulai memahami teknik tersebut, bahkan mencoba memanfaatkan berbagai bentuk cetakan untuk menciptakan pola yang unik. Misalnya, ada anak yang menggabungkan cetakan berbentuk bintang dengan cetakan bulat untuk menghasilkan pola seperti bunga matahari.
Keterampilan memegang alat cetak juga terlihat memengaruhi cara anak memegang benda lain dalam kegiatan harian di sekolah. Guru melaporkan bahwa anak yang awalnya kesulitan memegang pensil dengan benar mulai menunjukkan perbaikan dalam posisi genggaman mereka. Hal ini menandakan adanya transfer keterampilan dari kegiatan bermain menuju aktivitas akademik, seperti menulis dan menggambar.
Aspek ketiga, yaitu kemampuan menciptakan bentuk sederhana secara mandiri, menunjukkan persentase tertinggi dengan 13 anak atau 86% mengalami peningkatan. Pada tahap awal, sebagian besar anak hanya mampu membuat bentuk dasar seperti bola atau lingkaran pipih. Namun, setelah beberapa kali berlatih, anak-anak mulai mencoba membuat objek yang memiliki detail lebih banyak, seperti rumah sederhana, pohon, atau hewan kesukaan mereka. Proses ini melibatkan perencanaan sederhana, di mana anak memikirkan bentuk yang ingin dibuat, memilih warna playdough yang sesuai, lalu membentuknya secara bertahap.
Kemampuan menciptakan bentuk secara mandiri ini menjadi indikator bahwa anak mulai mengembangkan kreativitas sekaligus percaya diri terhadap hasil karyanya. Guru mendorong proses ini dengan cara memberikan kebebasan bereksperimen, sambil tetap memberikan bimbingan jika diperlukan. Anak-anak yang awalnya ragu untuk mencoba bentuk baru menjadi lebih berani, bahkan sering membagikan karyanya kepada teman atau guru.
Secara keseluruhan, hasil tabel menunjukkan bahwa mayoritas anak mengalami peningkatan pada semua aspek keterampilan motorik halus yang diamati. Meskipun persentase peningkatan bervariasi antar aspek, tren positif terlihat jelas pada seluruh kategori. Hal ini mengindikasikan bahwa kegiatan bermain menggunakan playdough dapat menjadi strategi yang efektif untuk menstimulasi perkembangan motorik halus anak jika dilakukan secara terstruktur dan berkelanjutan.
Dari data ini, guru mendapatkan gambaran yang jelas mengenai kemampuan masing-masing anak, sehingga dapat merancang kegiatan lanjutan yang sesuai dengan tingkat keterampilan mereka. Anak yang sudah mahir dapat diberikan tantangan membuat bentuk yang lebih kompleks, sedangkan anak yang masih memerlukan bimbingan dapat dilatih dengan aktivitas dasar secara berulang. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan perkembangan motorik halus anak dapat terus meningkat dan mendukung keberhasilan mereka dalam berbagai aktivitas belajar di sekolah. Berikut adalah tabel hasil perkembangan motorik halus anak:
No | Aspek Motorik Halus | Jumlah Anak Meningkat | Persentase (%) |
---|---|---|---|
1 | Kemampuan menggulung dan membentuk objek | 12 | 80% |
2 | Kemampuan memegang alat cetak | 11 | 73% |
3 | Menciptakan bentuk sederhana secara mandiri | 13 | 86% |
Figure 1. Gambar 01. Diagram Batang Perkembangan Motorik Halus Anak
3.1 Aktivitas Playdough yang Dilakukan
Kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Membentuk huruf dan angka dengan playdough
2. Membuat binatang dan objek sederhana
3. Menggunakan alat bantu seperti cetakan dan pisau plastik
3.2 Dampak terhadap Motorik Halus Anak
Setelah empat minggu kegiatan, ditemukan bahwa:
1. 12 dari 15 anak (80%) menunjukkan peningkatan kemampuan menggulung dan membentuk objek
2. 11 anak (73%) mampu memegang alat cetak dengan stabil
3. 13 anak (86%) dapat menciptakan bentuk sederhana secara mandiri
3.3 Peran Guru dalam Penggunaan Playdough
Guru memberikan:
1. Instruksi cara menggunakan playdough
2. Contoh visual
3. Pujian dan motivasi
4. Observasi perkembangan anak secara berkala
3.4 Temuan Tambahan
Anak-anak menunjukkan antusiasme tinggi, lebih fokus, dan mampu bekerja dalam kelompok kecil dengan baik.
Kesimpulan
Penggunaan media playdough terbukti mampu meningkatkan kemampuan motorik halus anak usia 5–6 tahun. Aktivitas seperti membentuk, menjepit, dan memotong tidak hanya memperkuat otot jari tetapi juga meningkatkan koordinasi mata dan tangan. Penting bagi guru untuk memanfaatkan playdough secara rutin dan kreatif sebagai bagian dari strategi pembelajaran aktif di PAUD.
Penggunaan media playdough di kelas terbukti memberikan dampak positif terhadap perkembangan motorik halus anak usia 5–6 tahun. Melalui aktivitas membentuk, menjepit, dan memotong, anak-anak berlatih mengendalikan gerakan jari dan pergelangan tangan secara lebih terarah. Kegiatan ini membantu memperkuat otot-otot kecil sekaligus meningkatkan koordinasi antara mata dan tangan, yang menjadi dasar bagi keterampilan menulis, menggambar, dan aktivitas presisi lainnya. Anak-anak juga menunjukkan antusiasme tinggi ketika bermain dengan playdough karena kegiatan ini menghadirkan unsur eksplorasi, kreativitas, dan kebebasan berkreasi sesuai imajinasi masing-masing.
Agar manfaatnya optimal, guru perlu memanfaatkan playdough secara rutin dan kreatif sebagai bagian dari strategi pembelajaran aktif di PAUD. Variasi aktivitas dapat dilakukan, seperti membuat bentuk sesuai tema pembelajaran, menggabungkan penggunaan playdough dengan alat bantu cetak, atau membuat proyek kelompok untuk melatih kerja sama. Selain mengasah keterampilan motorik halus, kegiatan ini juga mendorong anak untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan belajar memecahkan masalah bersama teman-temannya. Dengan pengelolaan yang tepat, playdough dapat menjadi media sederhana namun efektif untuk mendukung perkembangan fisik, kognitif, dan sosial anak secara terpadu.
References
[1] E. Mayasari, “Motorik Halus Anak Usia Dini,” Jurnal PAUD Nusantara, vol. 4, no. 2, pp. 55–63, 2020.
[2] A. Lestari, “Perkembangan Motorik dan Stimulasi Anak Usia Dini,” Jurnal Ilmiah Pendidikan Anak, vol. 7, no. 1, pp. 33–41, 2021.
[3] D. A. Sari, “Stimulasi Perkembangan Anak Melalui Permainan,” Jurnal Anak Cerdas, vol. 3, no. 1, pp. 11–19, 2020.
[4] M. Arifin, “Efektivitas Media Playdough untuk Keterampilan Motorik Halus,” Jurnal Pendidikan Usia Dini, vol. 8, no. 2, pp. 88–96, 2022.
[5] S. Fitriana, “Media Sensori dan Perkembangan Anak,” Jurnal Obsesi, vol. 5, no. 2, pp. 77–85, 2021.
[6] R. Susanti, “Permainan dan Motorik Halus,” Jurnal PAUD Holistik, vol. 6, no. 1, pp. 44–51, 2020.
[7] R. Marlina, “Pengaruh Aktivitas Playdough terhadap Koordinasi Anak,” Jurnal Pendidikan Anak, vol. 9, no. 2, pp. 70–78, 2021.
[8] Y. Kurniasih, “Perkembangan Kreativitas Anak Usia Dini,” Jurnal Dunia Anak, vol. 4, no. 2, pp. 29–36, 2020.
[9] R. Ningsih, “Media Belajar Anak di PAUD,” Jurnal Ilmu Pendidikan Anak, vol. 6, no. 1, pp. 15–22, 2020.
[10] F. Wulandari, “Pengaruh Bermain terhadap Perkembangan Anak,” Jurnal Inovasi PAUD, vol. 7, no. 2, pp. 65–72, 2021.
[11] N. Aminah, “Penerapan Pembelajaran Aktif di TK,” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, vol. 10, no. 1, pp. 21–28, 2022.
[12] I. Nurhaliza, “Teknik Observasi dalam PAUD,” Jurnal Edukasi Anak, vol. 5, no. 3, pp. 83–91, 2021.
[13] S. Hartati, “Kreativitas dan Motorik Anak,” Jurnal Kreatif Anak, vol. 2, no. 2, pp. 55–63, 2020.
[14] R. Fauziah, “Stimulasi Kognitif dan Motorik Anak,” Jurnal Psikologi Perkembangan, vol. 3, no. 2, pp. 60–68, 2022.
[15] T. Syahrani, “Guru dan Permainan Edukatif,” Jurnal Profesi Guru, vol. 4, no. 1, pp. 45–53, 2021.
Downloads
Published
How to Cite
Issue
Section
License
Copyright (c) 2025 Jamilah Jamilah, Mastika Ika, Rani Astria, Evi Sulistia Wati, Salmia Salmia

This work is licensed under a Creative Commons Attribution 4.0 International License.