Cindy Astriani (1), Nur Ravita Hanun (2)
Background: Fraud remains a persistent concern in higher education, especially where internal control practices are weak and organizational behavior shapes the control environment. Specific Background: Two accredited private universities—Melati and Mawar—demonstrate varied cultural and behavioral dynamics influencing their control systems. Knowledge Gap: Previous studies emphasize structural and technical controls, while behavioral and cultural dimensions remain underexplored. Aim: This study analyzes how internal control is implemented for fraud prevention by examining organizational culture, individual behavior, and critical supporting and inhibiting factors. Results: Findings show that integrity, coordinated functions, digital systems, segregation of duties, and routine audits strengthen internal control, whereas limited human resources, weak sanction enforcement, resistance to audits, and incomplete system integration hinder effectiveness. Novelty: The study offers a comparative approach emphasizing behavioral and cultural dimensions supported by triangulated qualitative data. Implications: The results provide practical guidance for higher education leaders to strengthen fraud prevention through structural, behavioral, and cultural improvements.
Highlights:• Organizational culture shapes internal control practices• Digital systems support fraud prevention• Audit consistency strengthens governance
Keyword: Internal Control, Fraud, Organizational Culture, Behavior, Higher Education
Sistem pengendalian internal merupakan elemen penting dalam mengembangkan mutu kepada pihak terkait dan menunjang perolehan sasaran kinerja organisasi, termasuk di sektor perguruan tinggi di Indonesia [1]. Dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran akan pentingnya pengendalian internal yang efektif semakin meningkat, khususnya untuk mencegah kecurangan (fraud) di institusi pendidikan tinggi. Sistem pengendalian internal yang kuat tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, tetapi juga menjadi dasar dalam membangun budaya integritas yang mendukung pencapaian tujuan pendidikan dan pengelolaan yang berkelanjutan [2]. Pentingnya pengendalian internal ini diperkuat oleh Laporan Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) tahun 2024 mencatat bahwa sektor pendidikan menempati posisi keenam dalam frekuensi kasus fraud, terdapat 70 kasus dengan kerugian median mencapai $50.000 per kasus [3]. Meski kerugian di sektor ini relatif rendah dibanding sektor lain, angka tersebut menyoroti perlunya fokus yang lebih besar pada penerapan pengendalian internal yang lebih efektif untuk meminimalkan potensi kerugian. Fenomena ini menunjukkan pentingnya memperkuat pengendalian internal di perguruan tinggi untuk mencegah kecurangan, meningkatkan efisiensi, memastikan kepatuhan aturan, dan menjaga keandalan laporan keuangan. Namun, penerapan pengendalian internal di perguruan tinggi masih menghadapi tantangan besar, terutama dalam mencegah praktik fraud yang telah terjadi di berbagai institusi pendidikan tinggi, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Di Indonesia, kasus-kasus fraud di perguruan tinggi juga telah menarik sorotan publik dan pemangku kepentingan. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch menunjukkan bahwa selama periode 2018-2022, terdapat setidaknya 37 kasus dugaan fraud yang melibatkan perguruan tinggi negeri dan swasta di Indonesia, dengan total potensi kerugian negara mencapai lebih dari Rp 400 miliar [4]. Kasus-kasus ini meliputi berbagai bentuk penyimpangan, mulai dari penyalahgunaan anggaran, manipulasi data akademik, hingga korupsi dalam proyek pengadaan dan pembangunan infrastruktur kampus. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun telah ada upaya untuk meningkatkan tata kelola, masih terdapat celah dalam sistem pengendalian internal di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini menegaskan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan sistematis dalam implementasi pengendalian internal untuk mencegah dan mendeteksi fraud secara efektif.
Namun, penerapan pengendalian internal di perguruan tinggi tidaklah mudah karena menghadapi berbagai tantangan. Kompleksitas struktur organisasi dan beragamnya aktivitas di perguruan tinggi menjadi salah satu hambatan utama. Selain itu, otonomi akademik, sumber pendanaan yang beragam, serta banyaknya pemangku kepentingan turut membuat penerapan sistem kontrol yang seragam menjadi sulit dilakukan. Menurut [5] bahwa kompleksitas ini menghambat proses perancangan dan implementasi pengendalian internal yang seragam dan efektif di seluruh unit perguruan tinggi. Selain itu, budaya akademik yang menekankan kebebasan intelektual sering dianggap bertentangan dengan mekanisme kontrol yang ketat, sehingga menimbulkan resistensi. Lebih lanjut, permasalahan lain yaitu keterbatasan sumber daya dan kurangnya tenaga ahli dalam pengelolaan pengendalian internal. Peneliti [6] menyatakan bahwa perguruan tinggi di Indonesia kekurangan personel ahli dalam pengendalian internal. Ditambah minimnya anggaran untuk teknologi dan sistem manajemen risiko terintegrasi membuat pengendalian internal sering parsial, sehingga tidak efektif mengatasi risiko dan membuka peluang fraud.
Dampak dari lemahnya implementasi pengendalian internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi dapat sangat serius dan multidimensi. Secara finansial, kegagalan mencegah fraud dapat menyebabkan kerugian besar, mengancam keberlanjutan keuangan, dan mengurangi sumber daya untuk pengembangan akademik. Dari sisi reputasi, kasus fraud yang terungkap dapat merusak citra institusi, menurunkan kepercayaan publik, serta berisiko terhadap akreditasi dan status perguruan tinggi. Selain itu, pengendalian internal yang lemah dapat menciptakan lingkungan yang mendorong praktik tidak etis, merusak integritas akademik, dan memengaruhi kualitas lulusan. Menurut [7] bahwa perguruan tinggi dengan sistem pengendalian internal yang buruk cenderung mengalami penurunan kinerja, termasuk dalam produktivitas penelitian, kepuasan mahasiswa, dan efisiensi operasional. Penelitian-penelitian sebelumnya telah mengkaji berbagai aspek terkait implementasi pengendalian internal dan pencegahan fraud di perguruan tinggi. Studi yang dilakukan oleh [8] menemukan bahwa efektivitas pengendalian internal berhubungan positif dengan pencegahan fraud, terutama jika komponen seperti lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian, informasi, komunikasi, dan pemantauan diintegrasikan dengan baik. Temuan ini sejalan dengan hasil penelitian [9] juga menunjukkan bahwa penerapan good university governance melalui penguatan pengendalian internal dapat meningkatkan kinerja dan akuntabilitas perguruan tinggi. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh [10] menambahkan bahwa selain aspek teknis seperti teknologi informasi dan prosedur, faktor seperti komitmen pimpinan, budaya organisasi, dan kompetensi SDM sangat menentukan keberhasilan pengendalian internal.
Meskipun banyak penelitian telah membahas pengendalian internal dan pencegahan kecurangan (fraud) di perguruan tinggi, terdapat beberapa kesenjangan penelitian (research gap) yang masih memerlukan perhatian lebih lanjut. Sebagian besar studi cenderung berfokus pada aspek teknis dan struktural, sementara dimensi perilaku dan budaya organisasi dalam pengendalian internal masih belum banyak dieksplorasi. Untuk menjembatani kesenjangan ini, penelitian ini menyoroti penerapan dimensi perilaku dan budaya organisasi dalam pengendalian internal, yang dapat dilakukan melalui pembentukan budaya kepatuhan, edukasi perilaku, serta peningkatan akuntabilitas dan evaluasi perilaku karyawan. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa pengendalian internal tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga didukung oleh kesadaran dan komitmen individu dalam organisasi, sehingga lebih efektif dalam mencegah fraud. Selain itu, terdapat kesenjangan lain, yaitu minimnya studi komparatif yang menganalisis praktik terbaik (best practices) dalam implementasi pengendalian internal di berbagai jenis perguruan tinggi. Untuk mengisi celah tersebut, penelitian ini akan membandingkan implementasi pengendalian internal di dua perguruan tinggi swasta, yaitu Universitas Melati dan Universitas Mawar. Tujuan utama dari studi komparatif ini adalah mengidentifikasi strategi optimal dalam meningkatkan efektivitas pencegahan kecurangan dengan menyesuaikan praktik terbaik dengan konteks lokal masing-masing institusi.
Dengan demikian, novelty (ketebaruan) penelitian ini terletak pada beberapa aspek utama, yaitu fokus eksplorasi budaya organisasi dan perilaku dalam penerapan pengendalian internal, dilakukannya studi komparatif antara dua perguruan tinggi untuk menemukan pendekatan terbaik dalam implementasi pengendalian internal, dan pemanfaatan teknik validasi data yaitu triangulasi sumber dan metode sebagai memeriksa keabsahan data dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari berbagai sumber. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih luas dalam penguatan pengendalian internal di perguruan tinggi, dengan mempertimbangkan tidak hanya aspek struktural dan teknis, tetapi juga faktor perilaku dan budaya organisasi yang menjadi elemen penting dalam efektivitas sistem pengendalian dalam pencegahan kecurangan. Berdasarkan latar belakang dan kesenjangan penelitian yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama: "Bagaimana implementasi pengendalian internal dalam pencegahan kecurangan (fraud) pada perguruan tinggi?" Secara lebih spesifik, penelitian ini akan mengeksplorasi:
(1)Bagaimana perilaku dan budaya organisasi dapat meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal dalam mencegah fraud di institusi pendidikan tinggi?
(2)Apa saja faktor-faktor kritis yang mendukung dan menghambat keberhasilan implementasi pengendalian internal untuk pencegahan fraud di berbagai jenis perguruan tinggi di Indonesia?
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengoptimalkan implementasi pengendalian internal di perguruan tinggi dalam konteks pencegahan fraud. Secara lebih rinci, penelitian ini bertujuan untuk:
(1)Mengevaluasi perilaku dan budaya organisasi dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal untuk pencegahan fraud;
(2)Menganalisis faktor-faktor kritis yang mendukung atau menghambat keberhasilan implementasi pengendalian internal untuk pencegahan fraud di berbagai jenis perguruan tinggi di Indonesia.
Penelitian ini diharapkan memiliki implikasi signifikan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini akan berkontribusi pada pengembangan literatur tentang pengendalian internal dan pencegahan fraud dalam konteks pendidikan tinggi, khususnya dalam dimensi perilaku dan budaya organisasi. Secara praktis, temuan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pimpinan perguruan tinggi dan pembuat kebijakan dalam merancang dan mengimplementasikan sistem pengendalian internal yang lebih efektif dan adaptif. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga dapat memberikan insight bagi regulator pendidikan tinggi dalam merumuskan kebijakan dan standar terkait tata kelola dan pencegahan fraud di perguruan tinggi yang mempertimbangkan keragaman karakteristik institusi pendidikan tinggi di Indonesia.
Pengendalian Internal
Pengendalian internal merupakan bagian penting dari rencana organisasi yang bertujuan melindungi aset organisasi, meningkatkan efisiensi operasional, memastikan pencatatan keuangan yang akurat, dan mendorong kepatuhan karyawan terhadap aturan yang berlaku [11]. Framework yang sering digunakan yaitu menurut COSO. Tujuan utama COSO adalah mengidentifikasi penyebab kecurangan dalam laporan keuangan dan memberikan rekomendasi untuk mencegahnya. COSO merumuskan definisi, standar, dan kriteria umum pengendalian internal yang dapat digunakan perusahaan untuk mengevaluasi sistem pengendalian mereka. Menurut [12], pengendalian internal adalah proses yang melibatkan dewan direksi, manajemen, dan karyawan lainnya, dirancang untuk memberikan kepastian yang memadai dalam mencapai tujuan yang berkaitan dengan operasi, pelaporan, dan kepatuhan.
Oleh karena itu, pengendalian internal dapat disimpulkan sebagai sistem yang dirancang untuk melibatkan seluruh elemen organisasi dalam meningkatkan efisiensi operasional, memastikan keakuratan laporan keuangan, dan mendorong kepatuhan terhadap aturan, sebagaimana didefinisikan oleh COSO untuk membantu organisasi mencegah kecurangan dan mencapai tujuan operasional, pelaporan, serta kepatuhan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pengendalian internal yang baik memiliki beberapa ciri utama. Pertama, struktur organisasi yang membagi tanggung jawab dengan jelas, sehingga fungsi-fungsi dalam organisasi dapat berjalan optimal. Kedua, sistem otoritas dan proses akuntansi yang efektif untuk memantau aset, kewajiban, pendapatan, dan pengeluaran secara akurat. Ketiga, pelaksanaan tugas yang sesuai dengan praktik terbaik di setiap bidang organisasi. Terakhir, kualifikasi pegawai yang sesuai dengan tugas yang mereka emban, sehingga setiap pekerjaan dilakukan dengan kompetensi yang memadai [13]. Untuk mendukung implementasi pengendalian internal yang efektif, COSO mengembangkan Model Kubus sebagai kerangka kerja pengendalian internal yang membantu organisasi memahami dan mengimplementasikan pengendalian secara menyeluruh. Model ini diilustrasikan dalam bentuk kubus tiga dimensi yang menggambarkan hubungan antara tiga elemen utama: tujuan pengendalian, komponen pengendalian internal, dan struktur organisasi. Dimensi pertama mencakup tiga tujuan utama pengendalian internal, yaitu operasional (efisiensi dan efektivitas operasi), pelaporan (keandalan dan akurasi informasi keuangan dan non-keuangan), dan kepatuhan (mematuhi hukum dan peraturan). Dimensi kedua adalah lima komponen utama pengendalian internal, yaitu lingkungan pengendalian (Control Environment), penentuan risiko (Risk Assessment), aktivitas pengendalian (Control Activities), informasi dan komunikasi (Information and Communication), serta aktivitas pemantauan (Monitoring Activities). Dimensi ketiga menunjukkan berbagai level dalam organisasi, seperti unit bisnis, departemen, atau seluruh entitas [14].
Pencegahan Fraud
Fraud (kecurangan) adalah tindakan penipuan yang disengaja untuk keuntungan pelaku, yang merugikan pihak lain tanpa disadari, biasanya dipicu oleh tekanan, dorongan untuk memanfaatkan peluang, serta adanya pembenaran atas tindakan tersebut [15]. Salah satu teori utama untuk memahami dan mencegah fraud dalam organisasi yaitu teori fraud triangle menjelaskan bahwa fraud terjadi ketika tekanan (pressure), peluang (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) hadir, sehingga upaya pencegahan harus mengurangi salah satu atau lebih dari ketiga elemen ini. Pencegahan fraud yang harus dilakukan itu seperti diperkuatnya pengendalian internal dan diciptakannya budaya kerja yang baik antara atasan dengan karyawan [16]. Menurut [17] dalam [18], kecurangan dapat dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan perbuatannya. Pertama, asset misappropriation, yaitu penyalahgunaan aset oleh anggota organisasi untuk kepentingan pribadi, yang biasanya mudah terdeteksi. Kedua, fraudulent financial reporting, yaitu manipulasi laporan keuangan dengan cara memalsukan dokumen atau informasi dalam laporan organisasi. Ketiga, corruption atau korupsi yaitu tindakan yang sering terjadi di negara-negara berkembang dengan tingkat penegakan hukum yang lemah dan integritas yang diragukan. Tindakan korupsi sering kali sulit diungkap karena keuntungan dari kecurangan tersebut dinikmati bersama oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kerja sama, menciptakan hubungan simbiosis mutualisme.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk mengeksplorasi dan memahami fenomena secara mendalam dalam konteks kehidupan nyata, dengan mengembangkan konsep berdasarkan data yang tersedia untuk memahami implementasi pengendalian internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi. Penelitian ini menggunakan berbagai sumber data, seperti wawancara, observasi langsung, dokumen, atau catatan lainnya, untuk memberikan pemahaman yang menyeluruh. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang sistematis, akurat, dan menyeluruh mengenai fenomena yang diteliti, serta hubungan antar aspek yang relevan dengan penerapan pengendalian internal dalam pencegahan fraud di lingkungan perguruan tinggi [19].
Dalam penelitian ini, populasi merujuk pada objek atau subjek yang memiliki karakteristik tertentu yang menjadi fokus penelitian. Objek penelitian adalah aspek yang diteliti, sedangkan subjek penelitian adalah pihak-pihak yang relevan dengan aspek tersebut [20]. Objek penelitian ini dilakukan di dua perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Melati dan Universitas Mawar, alasan dipilihnya kedua situs penelitian ini dikarenakan kedua perguruan tinggi ini telah terakreditasi “Unggul” menurut BAN-PT tahun 2024, dengan terakreditasi unggul tentunya keduanya telah melakukan pengendalian internal yang sudah lebih baik. Dalam penelitian ini, subjek disebut sebagai informan, seperti kepala SPI, audit internal, dan pihak-pihak lain yang bertanggung jawab dalam pengendalian internal. Informan akan diambil dari beberapa pihak yang relevan di dua universitas swasta, yaitu Universitas Mawar dan Universitas Melati. Beberapa informan yang akan diwawancarai bisa dilihat dari tabel berikut.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung melalui wawancara mendalam dengan pihak-pihak penting di Universitas Mawar dan Universitas Melati. Sementara itu, data sekunder dikumpulkan dari berbagai sumber, seperti jurnal ilmiah, artikel, buku, dan dokumen lain yang diterbitkan antara tahun 2020-2024, yang membahas pengendalian internal dan pencegahan fraud di perguruan tinggi. Data sekunder ini membantu memberikan gambaran teori dan praktik terbaik untuk mendukung analisis [21]. Untuk memastikan keabsahan data dalam penelitian ini, dilakukan proses validasi guna membuktikan bahwa data yang diperoleh sesuai dengan kondisi nyata di lapangan. Teknik validasi yang digunakan adalah triangulasi, yaitu metode untuk memeriksa keabsahan data dengan cara membandingkan data yang diperoleh dari berbagai sumber. Dalam penelitian ini digunakan triangulasi metode dan triangulasi sumber secara bersamaan. Triangulasi sumber dilakukan dengan mengumpulkan data dari berbagai narasumber menggunakan teknik yang sama, sehingga memungkinkan diperolehnya sudut pandang yang lebih beragam dan mendukung validitas data [22].
Sementara itu, triangulasi metode dilakukan melalui kombinasi teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi, yang bertujuan untuk meningkatkan tingkat kepercayaan terhadap data yang dikumpulkan dan memastikan bahwa hasil penelitian benar-benar mencerminkan kondisi di lapangan [23]. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah mengacu pada konsep Milles dan Huberman yaitu metode analisis data model interaktif (interactive model) dan mempunyai 3 komponen yaitu: Data reduction (Reduksi Data), Data display (Penyajian Data), Conclusion drawing/verification (Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi). Metode ini memungkinkan peneliti untuk menganalisis data secara sistematis dan mendalam, sehingga mendukung pengungkapan temuan yang relevan dengan tujuan penelitian [24]. Tahapan awal penelitian dimulai dengan melakukan tinjauan literatur untuk memahami teori dan studi sebelumnya yang relevan dengan topik. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi masalah guna menentukan isu atau fenomena yang akan diteliti. Berdasarkan identifikasi tersebut, dirumuskan pertanyaan penelitian yang sesuai dengan topik yang diangkat. Lalu, untuk pengumpulan data dilakukan melalui sumber primer, seperti wawancara dan observasi, serta sumber sekunder, termasuk jurnal ilmiah, buku, dan dokumen lainnya. Lalu digunakannya validitas data sumber dan metode. Selanjutnya, proses analisis data melibatkan tiga langkah utama: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Tahapan akhir penelitian diakhiri dengan menyusun kesimpulan yang merangkum temuan utama serta memberikan rekomendasi untuk pengembangan atau implementasi lebih lanjut [25].
Figure 1. Gambar 1.1 Tahapan Penelitian
a. Perilaku Budaya Organisasi dalam Implementasi Pengendalian Internal
Pencegahan kecurangan sangat dipengaruhi oleh perilaku individu dan budaya organisasi, di mana etika, integritas, dan tanggung jawab menjadi dasar pengendalian internal yang efektif. Budaya sehat yang ditandai transparansi, akuntabilitas, komunikasi terbuka, dan nilai etis dapat menekan peluang fraud [26], serta bila diterapkan konsisten akan meningkatkan kinerja, integritas, dan kepuasan kerja pegawai. Semakin kuat budaya organisasi dibangun, semakin tinggi pula kualitas kerja dan keberhasilan dalam pencapaian tujuan organisasi [9]. Analisis di Universitas Melati dan Universitas Mawar menunjukkan kesamaan nilai dasar, namun berbeda dalam penerapan pengendalian internal.
1.Resistensi terhadap Audit sebagai Tantangan Budaya Kerja
Di Universitas Melati, resistensi audit masih menjadi kendala karena ada beberapa unit enggan diaudit. Narasumber Y (Auditor Internal) menegaskan:
“Jika ada unit yang keberatan diaudit ('kok diaudit terus'), itu menunjukkan lingkungan kerja yang belum mendukung pengendalian. Budaya seperti itu harus diubah.”
Sementara di Universitas Mawar, resistensi diatasi dengan pendekatan lunak agar audit dipandang sebagai pembinaan. Narasumber B menyebut:
“Kami menggunakan istilah 'verifikasi' atau 'pembinaan'... karena kalau dibilang 'audit', staf langsung membayangkan BPK.”
2. Respons terhadap Pelanggaran dan Fraud
Universitas Melati menunjukkan respons yang tegas memberikan sanksi terhadap tindakan kecurangan. Hal ini disampaikan oleh narasumber Z selaku Ketua BAK :
“Pelaku kecurangan akan diberikan Surat Peringatan... dan dikeluarkan dari status karyawan.”
Sebaliknya, Universitas Mawar cenderung menyelesaikan kasus secara internal tanpa sanksi tegas.
Narasumber B mencontohkan:
“Contoh nyata kasus fraud: mark-up harga karangan bunga... Namun, pimpinan
cenderung menyelesaikan secara internal tanpa sanksi tegas.”
3. Pendekatan dalam Audit dan Pengawasan
Universitas Melati menerapkan audit sebagai sarana formal yang bertujuan untuk memberikan masukan dan perbaikan terhadap sistem yang ada. Narasumber Y menegaskan:
“Audit internal diharapkan menjadi pengawas yang bisa memberikan rekomendasi...”
Berbeda dengan itu, Universitas Mawar lebih menekankan audit sebagai kegiatan pendampingan yang sifatnya edukatif. Hal ini ditegaskan oleh narasumber B selaku Auditor Internal:
“Jadi kami lebih kepada pendampingan dan pembinaan di awal. Kami melakukan audit sambil memberikan pembinaan... menunjukkan bagaimana seharusnya laporan disusun...”
4. Penekanan pada Nilai Integritas dan Etika
Di Universitas Melati, nilai integritas menjadi pondasi utama dengan dituntut untuk bersikap objektif dan menyampaikan laporan sesuai fakta yang ada. Hal ini ditegaskan oleh narasumber X selaku Kabid LSPI:
“LSPI tetap harus menjadi teladan dengan terus bekerja secara profesional dan
objektif. Semua laporan disampaikan apa adanya, tanpa ditambah atau dikurangi.”
Sementara itu, Universitas Mawar juga menjunjung tinggi prinsip integritas dan etika. Namun pendekatannya cenderung lebih humanis dan bersifat internalisasi nilai-nilai moral. Narasumber A selaku Ketua LSPI menyampaikan:
“LSPI menekankan pentingnya integritas, independensi, dan profesionalisme auditor.”
5. Penerapan Sistem Digital
Kedua universitas telah menerapkan pelaporan digital. Di Universitas Melati, pelaporan digital telah menjadi standar dan diaudit secara eksternal, sebagaimana disampaikan oleh narasumber Z:
“Pelaporan sudah dilakukan secara digital dan setiap tahun diaudit oleh KAP.”
Sedangkan di Universitas Mawar, digitalisasi sistem dilakukan melalui pemanfaatan platform berbasis teknologi yang telah disesuaikan dengan kebutuhan lembaga. Narasumber C selaku Ketua BAK menjelaskan:
“Pelaporan keuangan sudah mengikuti standar akuntansi... semua proses pengajuan dana dilakukan melalui platform digital Cyber Campus.”
Sebagai ringkasan, berikut adalah tabel yang memperlihatkan perbandingan aspek-aspek utama perilaku budaya organisasi di Universitas Mawar dan Universitas Melati.
b.Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan Implementasi Pengendalian Internal
Pengendalian internal berbasis perilaku individu dan budaya organisasi menjadi strategi penting dalam mencegah fraud di perguruan tinggi. Individu yang menjunjung etika, integritas, dan tanggung jawab serta budaya organisasi yang transparan, akuntabel, dan terbuka mampu menciptakan lingkungan kerja antikecurangan. Penelitian [26] menegaskan bahwa penguatan moral, budaya, dan sistem pengendalian internal secara bersama menurunkan potensi fraud. Namun, keberhasilan implementasinya bergantung pada komitmen pimpinan, integritas SDM, dan konsistensi kebijakan; tanpa itu, pengendalian hanya sebatas formalitas administratif.
Faktor Pendukung
1.Pemisahan Fungsi dan Otorisasi Berjenjang
Universitas Melati telah membangun sistem kontrol internal yang kuat melalui pemisahan fungsi dan otorisasi yang bertingkat. Hal ini disampaikan oleh narasumber Z selaku Ketua BAK:
“Jadi terkait dengan pengelolaan keuangan itu kalau di Universitas Melati itu tersentralisasi... tidak semua bagian bisa melakukan pengelolaan keuangan, jadi ada pembagian fungsi tersebut. Ada otorisasi dari yang berwenang yaitu dari bertingkat dari kepala unit, kemudian naik ke Warek 2, kemudian ke direktorat keuangan...”
Sementara itu, Universitas Mawar juga melalui LSPI yang menyusun SOP audit serta memberikan pendampingan. Hal ini dijelaskan oleh narasumber A selaku Ketua LSPI:
“SPI telah menyusun SOP pengendalian internal dan audit...strateginya adalah
pendampingan intensif dan sosialisasi.” Lanjutnya..
2. Sistem Digital dan Cashless
Universitas Melati sepenuhnya semua proses pengajuan, pencairan, hingga pertanggungjawaban dilakukan secara cashless. Narasumber Z selaku Ketua BAK:
“Semuanya dilakukan secara transfer... Kita semua by sistem... tidak ada yang manual
lagi.”
Di Universitas Mawar, sistem pelaporan keuangan juga telah menggunakan platform digital, yaitu Cyber Campus, sebagaimana disampaikan oleh narasumber C selaku Ketua BAK:
3. Nilai Budaya dan Integritas
Universitas Melati menekankan pentingnya integritas dalam pelaksanaan audit dengan objektivitas dan profesionalisme. Hal ini ditegaskan oleh narasumber X selaku Ketua LSPI:
objektif...Semua laporan disampaikan apa adanya, tanpa ditambah atau dikurangi.”
Sedangkan di Universitas Mawar, integritas dan profesionalisme. Hal ini disampaikan oleh narasumber A selaku Ketua LSPI:
4. Koordinasi Internal
Di Universitas Melati, LSPI telah menjalin kerja sama lintas unit melalui sistem informasi terintegrasi.
Narasumber X selaku Ketua LSPI menyatakan:
“LSPI menjalin koordinasi dengan SDM, aset, dan keuangan melalui sistem informasi
seperti SINTA, e-Budgeting, dan Simpek.”
Sementara di Universitas Mawar, koordinasi dilakukan melalui struktur LSPI yang melibatkan auditor fakultas. Hal ini dijelaskan oleh narasumber A selaku Ketua LSPI:
“LSPI terdiri dari kepala dan sekretaris serta mengoordinasi auditor fakultas.”
5. Evaluasi dan Audit Rutin
Universitas Melati menjalankan audit secara tahunan serta evaluasi real-time untuk pengajuan anggaran.
Hal ini diungkapkan oleh narasumber Z selaku Ketua BAK :
“Audit dilakukan secara berkala satu tahun sekali...Evaluasi dilakukan setiap saat... “
Sementara itu, Universitas Mawar juga melakukan audit rutin yang hasilnya dibahas dalam forum manajemen. Narasumber A menjelaskan:
“Audit dilakukan setahun sekali, hasilnya dipresentasikan dalam rapat tinjauan manajemen (RTM).”
Tabel berikut memperlihatkan perbandingan lima aspek faktor pendukung perilaku budaya organisasi antara Universitas Melati dan Universitas Mawar dalam implementasi pengendalian internal.
Faktor Penghambat
1. Keterbatasan SDM dan Kompetensi
Universitas Melati menghadapi kendala karena sebagian besar staf unit kerja tidak memiliki latar belakang pendidikan di bidang ekonomi atau akuntansi. Hal ini disampaikan secara jelas oleh narasumber Y auditor internal:
“Fungsi audit internal kami memang belum bisa dilakukan secara penuh... stafnya belum tentu berlatar belakang ekonomi atau akuntansi.”
Sementara itu, Universitas Mawar menghadapi permasalahan yang serupa, tetapi lebih spesifik pada rendahnya pemahaman prosedur pertanggungjawaban laporan keuangan (LPJ) oleh unit-unit kerja, sebagaimana disampaikan oleh narasumber B selaku Auditor Internal:
“...terkadang mereka tuh kadang lupa... ternyata bukti itu penting...”
2. Struktur Pengawasan Kurang Optimal
Di Universitas Melati, sistem pengawasan belum berjalan optimal karena bergantung pada tim ad hoc dan minimnya auditor internal tetap, diungkapkan oleh narasumber X selaku Ketua LSPI:
“...tapi kami sedang merekrut staf auditor karena memang pekerjaannya tidak rutin. Yang rutin itu mungkin hanya setahun sekali atau dua kali. Kalau ada kebutuhan pengawasan, kami menggunakan tim ad hoc.”
Sementara itu, Universitas Mawar juga menghadapi tantangan dalam hal koordinasi dan keterpaduan sistem pengawasan. Hal ini dijelaskan oleh salah satu narasumber A selaku Ketua LSPI:
“Integrasi berjalan, namun belum optimal. LSPI masih sering turun tangan langsung karena informasi dari BAK belum selalu tersampaikan ke unit kerja.”
3. Teknologi Audit Belum Maksimal
Universitas Melati belum menggunakan sistem khusus yang masih dijalankan secara semi-manual dengan aplikasi dasar seperti Excel. Hal ini diungkapkan oleh narasumber Y selaku Auditor Internal :
“Saat ini masih manual, tapi bukan tulis tangan ya. Sudah menggunakan Excel. Belum ada sistem khusus untuk audit internal.”
Di sisi lain, Universitas Mawar juga menghadapi keterbatasan. Narasumber B selaku Auditor Internal menyampaikan bahwa frekuensi audit yang dilakukan masih belum mencukupi untuk pengawasan yang maksimal:
“Menurut saya itu cukup kurang jadi lebih sering lebih baik karena ada monitoring juga.”
4. Respons terhadap Fraud Kurang Tegas
Di Universitas Melati, keputusan atas hasil audit dan rekomendasi yang disampaikan oleh LSPI masih bergantung sepenuhnya pada kebijakan pimpinan. sebagaimana dijelaskan oleh narasumber X selaku ketua LSPI :
“...LSPI memberikan rekomendasi kepada pimpinan, namun tindakan lebih lanjut menjadi kewenangan pimpinan.”
Kondisi ini dapat mengurangi efektivitas pengawasan karena respons terhadap pelanggaran menjadi lambat atau tidak tegas. Di Universitas Mawar, permasalahan serupa juga terjadi. Salah satu narasumber B selaku Auditor Internal menyampaikan :
“Namun, pimpinan cenderung menyelesaikan secara internal tanpa sanksi tegas.”
5. Budaya Organisasi dan Etika
Dalam aspek budaya organisasi, Universitas Melati menghadapi tantangan berupa resistensi terhadap audit dari beberapa unit kerja. Hal ini disampaikan oleh narasumber X selaku Kepala LSPI:
“Sebagai lembaga pengawasan ,LSPI sering menghadapi resistensi karena mengungkapkan kebenaran...”
Sementara itu, di Universitas Mawar, permasalahan budaya organisasi lebih ditekankan pada tantangan dalam pengendalian perilaku individu. Narasumber A selaku Ketua LSPI menjelaskan:
“Tantangan terbesar... adalah di lingkungan pengendalian... karena humannya... terkadang kita tidak bisa kontrol satu-satu.”
Sebagai ringkasan dari berbagai temuan di atas, berikut disajikan perbandingan faktor-faktor penghambat keberhasilan implementasi pengendalian internal di Universitas Melati dan Universitas Mawar berdasarkan lima aspek utama yang memengaruhi efektivitas sistem pengawasan dan pencegahan fraud:
Perilaku individu dan budaya organisasi merupakan fondasi utama dalam pencegahan fraud. Efektivitas sistem pengendalian internal sangat bergantung pada sikap etis, integritas, dan rasa tanggung jawab pegawai, yang kesemuanya dibentuk oleh budaya organisasi. Budaya organisasi yang sehat ditandai oleh transparansi, akuntabilitas, komunikasi terbuka, dan penegakan nilai-nilai etis, yang menciptakan lingkungan kerja anti- fraud. Berdasarkan hasil analisis, terdapat lima aspek perilaku dan budaya organisasi yang secara signifikan memengaruhi efektivitas pengendalian internal: resistensi terhadap audit, respons terhadap fraud, pendekatan audit, integritas dan etika, serta digitalisasi sistem. Pemilihan lima aspek ini didasarkan pada kerangka teori lingkungan pengendalian (control environment) sebagaimana dijelaskan dalam literatur pengendalian internal [14], serta diperkuat oleh temuan lapangan melalui wawancara mendalam. Kelima aspek ini paling konsisten muncul baik secara eksplisit maupun implisit, sehingga dinilai merepresentasikan nilai, kebiasaan, dan pola pikir organisasi yang berdampak langsung pada efektivitas pengendalian internal.
Pertama, resistensi terhadap audit mencerminkan sikap kolektif unit kerja terhadap proses pengawasan. Universitas Melati menunjukkan resistensi tinggi dengan budaya yang cenderung defensif, sementara Universitas Mawar menekannya melalui pendekatan pembinaan, menunjukkan budaya yang lebih persuasif. Resistensi audit sebagai bagian dari budaya organisasi telah terbukti menjadi penghalang serius dalam pengendalian internal [2]. Kedua, respons terhadap fraud mencerminkan nilai akuntabilitas organisasi. Universitas Melati menegakkan sanksi secara tegas, menampilkan budaya akuntabilitas yang kuat. Sebaliknya, Universitas Mawar menyelesaikan kasus secara internal tanpa sanksi tegas, mencerminkan budaya permisif. Budaya organisasi dan integritas sumber daya manusia terbukti memiliki pengaruh signifikan terhadap pencegahan fraud [26].
Ketiga, pendekatan audit mencerminkan gaya kepemimpinan dan budaya kontrol dalam organisasi. Melati menerapkan audit formal dengan pendekatan pengawasan, sementara Mawar lebih edukatif dengan auditor berperan sebagai pembina. Budaya organisasi yang mendukung whistleblowing dan transparansi memperkuat sistem pengendalian internal [27]. Keempat, integritas dan etika adalah cerminan perilaku individu yang menyatu dengan budaya organisasi. Melati menekankan profesionalisme formal, sedangkan Mawar mengedepankan pendekatan humanis berbasis integritas. Budaya etis organisasi berperan besar dalam memperkuat pencegahan fraud [26]. Kelima, digitalisasi sistem mencerminkan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan pembentukan budaya kerja yang lebih efisien. Melati menggunakan laporan keuangan digital dan audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP), sedangkan Mawar menggunakan sistem Cyber Campus untuk pelaporan. Lingkungan pengendalian berbasis teknologi terbukti meningkatkan efektivitas deteksi fraud [28].
Berdasarkan analisis terhadap lima aspek utama sepertiresistensi terhadap audit, respons terhadap fraud, pendekatan audit, integritas dan etika, serta digitalisasi sistem—dapat disimpulkan bahwa perilaku dan budaya organisasi telah berkontribusi secara signifikan dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal untuk mencegah fraud di institusi pendidikan tinggi. Institusi yang membangun budaya organisasi yang sehat, ditandai dengan transparansi, akuntabilitas, integritas, serta adaptasi terhadap teknologi, cenderung memiliki sistem pengendalian internal yang lebih kuat dan responsif terhadap risiko fraud. Meskipun terdapat perbedaan pendekatan antara institusi yang lebih formal dan represif seperti Universitas Melati dengan yang lebih edukatif dan humanis seperti Universitas Mawar, keduanya menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya organisasi memiliki peran kunci dalam mendorong perilaku pegawai yang etis dan mendukung efektivitas kontrol internal. Dengan demikian, perilaku dan budaya organisasi bukan hanya faktor pendukung, tetapi merupakan elemen strategis yang esensial dalam menciptakan lingkungan pendidikan tinggi yang bebas dari fraud.
b. Faktor Pendukung Keberhasilan Implementasi Pengendalian Internal
Pengendalian internal yang berorientasi pada perilaku individu dan budaya organisasi menjadi strategi krusial dalam mencegah praktik fraud di lingkungan pendidikan tinggi. Nilai-nilai seperti etika, integritas, dan tanggung jawab individu sangat memengaruhi keberhasilan implementasi sistem ini. Namun, efektivitas pengendalian internal tidak bisa dilepaskan dari sejumlah faktor pendukung strategis, termasuk komitmen pimpinan, kualitas sumber daya manusia, serta konsistensi dalam pelaksanaan kebijakan institusional. Dalam penelitian ini, lima aspek ditetapkan sebagai faktor pendukung utama, yaitu: pemisahan fungsi dan otorisasi, pemanfaatan sistem digital, budaya etis dan integritas, koordinasi antarunit, serta audit dan evaluasi berkesinambungan. Pemilihan lima aspek ini memiliki dasar teoritis yang kuat, terutama jika dikaitkan dengan kerangka kerja COSO [14], yang mencakup lima komponen utama pengendalian internal: control environment, risk assessment, control activities, information & communication, serta monitoring. Misalnya, pemisahan fungsi dan otorisasi termasuk dalam control activities, sistem digital dan koordinasi antardepartemen masuk dalam information & communication, budaya etis dan integritas mencerminkan control environment, dan audit berkelanjutan merupakan bagian dari monitoring.
Selain kuat secara teoretis, pemilihan kelima aspek ini juga didukung oleh data empiris. Berdasarkan hasil wawancara di dua universitas studi kasus yaitu Universitas Melati dan Universitas Mawar. Lima aspek ini paling sering dan paling konsisten disebutkan oleh responden, baik secara eksplisit maupun implisit. Oleh karena itu, aspek-aspek terpilih dalam kajian ini tidak hanya mencerminkan teori, tetapi juga mengakar dalam kenyataan empiris di lapangan. Berdasarkan hasil penelitian dan perbandingan antara Universitas Melati dan Universitas Mawar, dapat diidentifikasi lima faktor pendukung utama yang menjadi pilar keberhasilan implementasi pengendalian internal. Meskipun kedua universitas menggunakan pendekatan yang berbeda. Universitas Melati lebih formal dan represif, dan Universitas Mawar lebih humanis dan edukatif. Keduanya telah secara konsisten menerapkan prinsip-prinsip dasar pengendalian internal yang efektif.
Pertama, pemisahan fungsi dan otorisasi memainkan peran penting dalam mencegah konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Di Universitas Melati, sistem digital seperti SINTA dan e-Budgeting digunakan untuk memastikan pemisahan peran, sedangkan di Universitas Mawar, struktur LSPI menjamin pemisahan antara pelaksana dan pengawas. Hal ini selaras dengan temuan [2] yang menekankan pentingnya segregasi fungsi dalam pengendalian internal. Kedua, pemanfaatan sistem digital menjadi faktor kunci dalam mendorong transparansi dan efisiensi. Universitas Melati menggunakan sistem cashless dan audit eksternal dari Kantor Akuntan Publik, sementara Universitas Mawar mengoptimalkan Cyber Campus untuk pencatatan dan pelaporan keuangan. [28] mengonfirmasi bahwa digitalisasi memperkuat efektivitas sistem pengendalian dan mendukung deteksi dini terhadap potensi fraud.
Ketiga, budaya etis dan integritas pegawai adalah pondasi perilaku individu yang memperkuat sistem secara keseluruhan. Di Melati, penekanan diberikan pada kepatuhan formal terhadap standar profesional, sedangkan di Mawar pendekatan humanis digunakan untuk membangun kesadaran etis. Menurut [26], budaya organisasi dan integritas SDM secara signifikan berpengaruh terhadap pencegahan fraud di lingkungan pendidikan tinggi. Keempat, koordinasi antar unit juga sangat penting dalam mencegah sistem bekerja secara terfragmentasi. Universitas Melati secara rutin mengadakan rapat koordinasi lintas unit, sementara Universitas Mawar menyelenggarakan Rapat Tinjauan Manajemen (RTM) untuk memastikan implementasi hasil audit secara kolektif. [27] menekankan bahwa koordinasi yang didukung budaya kerja sama dan sistem whistleblowing sangat efektif dalam memperkuat pengendalian internal. Kelima, audit dan evaluasi berkesinambungan menjadi pilar terakhir dalam penguatan tata kelola. Universitas Melati secara rutin menjalankan audit internal dan eksternal yang ditindaklanjuti dalam sistem digital, sedangkan di Mawar, evaluasi dilakukan melalui forum RTM. [26] menegaskan bahwa audit internal yang konsisten merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penguatan good governance.
Kelima aspek tersebut juga sangat relevan dengan karakteristik unik organisasi perguruan tinggi di Indonesia, seperti struktur birokrasi yang kompleks dan multi-unit, kebutuhan akuntabilitas publik dalam pengelolaan keuangan, serta tekanan terhadap transparansi dan tata kelola yang baik. Pemisahan fungsi menjadi penting karena banyaknya unit kerja yang terlibat, digitalisasi sistem sangat relevan di era kampus modern, budaya etis diperlukan karena komposisi SDM akademik dan non-akademik yang beragam, koordinasi lintas bagian esensial dalam aktivitas akademik dan administratif, dan audit berkelanjutan penting untuk memastikan akuntabilitas dana pendidikan yang terus meningkat. Selain itu, pemilihan aspek ini diperkuat oleh literatur akademis terkini (2020–2025). [2] menunjukkan pentingnya segregasi fungsi dalam tata kelola yang baik. [28] menekankan bahwa digitalisasi mendukung pencegahan fraud. [26] menyoroti peran budaya etis dan integritas SDM. [27] menyatakan bahwa koordinasi dan mekanisme whistleblowing memperkuat efektivitas kontrol internal. Selain itu, [26] juga menegaskan bahwa audit internal yang dilakukan secara berkelanjutan meningkatkan kualitas tata kelola organisasi. Ini membuktikan bahwa temuan lapangan selaras dengan bukti akademik yang kredibel.
Berdasarkan kajian teoretis, temuan lapangan, relevansi kontekstual, serta dukungan literatur terkini, dapat disimpulkan bahwa kelima faktor kritis tersebut telah mendukung secara kuat keberhasilan implementasi pengendalian internal dalam mencegah fraud di berbagai jenis perguruan tinggi di Indonesia. Baik dalam institusi yang bersifat formal dan birokratis maupun yang lebih fleksibel dan humanis, faktor-faktor seperti pemisahan fungsi, integritas, digitalisasi, koordinasi, dan audit berkelanjutan terbukti menjadi elemen strategis yang memungkinkan sistem pengendalian internal berjalan secara efektif. Dengan demikian, implementasi pengendalian internal yang berbasis pada perilaku strategis dan budaya organisasi yang mendukung terbukti relevan dan adaptif dalam konteks perguruan tinggi Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penguatan lima aspek tersebut perlu menjadi prioritas kebijakan dan manajemen risiko di institusi pendidikan tinggi guna membangun tata kelola yang lebih transparan, akuntabel, dan bebas dari fraud.
c. Faktor Penghambat Keberhasilan Implementasi Pengendalian Internal
Pengendalian internal yang kuat membutuhkan dukungan tidak hanya dari sisi sistem dan struktur, tetapi juga dari perilaku individu dan budaya organisasi. Jika elemen-elemen ini tidak berjalan seiring, maka sistem pengendalian internal berisiko menjadi sekadar formalitas yang lemah dan tidak mampu mencegah fraud secara nyata. Perilaku individu yang mengabaikan etika, rendahnya integritas personal, dan budaya organisasi yang permisif terhadap pelanggaran, menciptakan lingkungan kerja yang rawan terhadap penyimpangan. Hal ini diperkuat oleh penelitian [27], yang menegaskan bahwa lemahnya moral individu dan budaya organisasi yang tidak mendukung secara signifikan meningkatkan risiko fraud di perguruan tinggi. Berdasarkan temuan lapangan dari dua universitas situ penelitian, Universitas Melati dan Universitas Mawar, teridentifikasi lima faktor utama yang menjadi hambatan strategis dalam keberhasilan implementasi pengendalian internal: resistensi terhadap audit, lemahnya respons terhadap fraud, pendekatan audit yang permisif, rendahnya integritas individu, serta keterbatasan digitalisasi sistem. Pemilihan lima aspek ini bukan semata-mata berdasarkan opini, melainkan didasarkan pada kemunculan yang konsisten dalam wawancara di kedua universitas, serta dukungan literatur akademik mutakhir (2020–2025). Selain itu, kelima faktor ini juga selaras dengan kerangka COSO [14], yang menjadi acuan utama dalam sistem pengendalian internal global.
Pertama, resistensi terhadap audit masih sering muncul. Di Universitas Melati, beberapa pegawai non- keuangan merasa audit hanya memperlambat pekerjaan administratif, sehingga muncul sikap enggan memberikan data. Hal serupa juga terjadi di Universitas Mawar, di mana auditor fakultas menghadapi penolakan halus dari dosen maupun staf dengan alasan audit dianggap sebagai beban tambahan. Kondisi ini sejalan dengan temuan [2] yang menyebut resistensi audit sebagai hambatan signifikan dalam tata kelola perguruan tinggi. Kedua, lemahnya respons terhadap fraud. Di Universitas Melati, kasus manipulasi kuitansi sering dianggap masalah kecil yang dapat dimaafkan tanpa sanksi tegas. Sementara itu, di Universitas Mawar, fraud yang terdeteksi cenderung diselesaikan secara internal dengan jalan kompromi. Hal ini menunjukkan adanya budaya permisif terhadap kecurangan. Penelitian [26] menegaskan bahwa lemahnya penegakan sanksi memperburuk budaya permisif dan memperbesar potensi fraud.
Ketiga, pendekatan audit yang terlalu permisif. Audit internal di Universitas Melati lebih berfokus pada formalitas dokumen dibanding menilai substansi kegiatan. Sementara itu, auditor fakultas di Universitas Mawar cenderung menekankan pembinaan ketimbang penegakan aturan. Situasi ini membuat kontrol internal kurang tajam. [27] menegaskan bahwa audit tanpa mekanisme whistleblowing cenderung melemahkan efektivitas pencegahan fraud. Keempat, rendahnya integritas individu. Di Universitas Melati, beberapa staf keuangan tidak berani menolak tekanan atasan untuk melakukan rekayasa laporan tertentu. Sementara di Universitas Mawar, integritas pegawai diuji ketika ada peluang melakukan kecurangan dalam transaksi tunai atau perjalanan dinas. [26] menekankan bahwa integritas sumber daya manusia adalah variabel kunci dalam pencegahan fraud. Kelima, keterbatasan digitalisasi sistem. Universitas Melati sebenarnya telah menggunakan sistem digital, namun masih ada proses manual dalam pencatatan dana hibah yang berisiko dimanipulasi. Di Universitas Mawar, sistem Cyber Campus belum sepenuhnya terintegrasi dengan laporan keuangan, sehingga celah manipulasi data masih terbuka. [28] menunjukkan bahwa keterbatasan digitalisasi melemahkan sistem deteksi dini fraud dan mengurangi efektivitas kontrol internal.
Secara keseluruhan, faktor-faktor seperti resistensi terhadap audit, lemahnya penanganan fraud, audit yang permisif, rendahnya integritas individu, dan keterbatasan digitalisasi telah terbukti menjadi hambatan utama dalam penerapan pengendalian internal yang efektif di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Temuan ini diperkuat oleh data lapangan di Universitas Melati dan Universitas Mawar yang menunjukkan bahwa meskipun sistem pengendalian telah dirancang secara formal, pelaksanaannya masih terganjal oleh kelemahan perilaku dan budaya organisasi. Saat audit tidak dihargai sebagai alat pengawasan, integritas tidak menjadi nilai utama, dan sistem teknologi belum dimanfaatkan secara maksimal, maka fungsi pengendalian menjadi lemah dan mudah ditembus. Literatur mutakhir serta kerangka COSO juga menekankan pentingnya faktor-faktor ini dalam menciptakan sistem pengendalian yang sehat. Jika hambatan-hambatan ini tidak segera dibenahi secara sistematis, pengendalian internal hanya akan menjadi prosedur simbolik tanpa kemampuan nyata dalam mencegah fraud.
Berdasarkan hasil penelitian di Universitas Melati dan Universitas Mawar, dapat disimpulkan bahwa perilaku individu dan budaya organisasi memiliki peran signifikan dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal untuk mencegah fraud. Nilai-nilai seperti integritas, akuntabilitas, etika kerja, dan keterbukaan terbukti mendorong terciptanya lingkungan kerja yang lebih transparan dan anti kecurangan. Kedua universitas menunjukkan pendekatan berbeda, di Universitas Melati lebih formal dan struktural, sedangkan di Universitas Mawar lebih humanis dan edukatif, namun keduanya menanamkan nilai budaya organisasi yang mendukung pengendalian internal. Selain itu, lima faktor kritis seperti pemisahan fungsi, sistem digital, budaya integritas, koordinasi lintas unit, serta audit rutin secara konsisten menjadi faktor pendukung utama dalam keberhasilan implementasi sistem pengendalian. Di sisi lain, masih terdapat hambatan strategis berupa keterbatasan SDM, resistensi terhadap audit, lemahnya teknologi, respons terhadap fraud yang kurang tegas, serta budaya permisif yang mengurangi efektivitas sistem secara keseluruhan. Hambatan ini menunjukkan bahwa tanpa penguatan sistemik dan perubahan budaya, pengendalian internal rentan menjadi formalitas. Dengan demikian, perilaku dan budaya organisasi serta faktor-faktor kritis pendukung dan penghambat terbukti menjadi elemen utama dalam menentukan keberhasilan pengendalian internal untuk mencegah fraud di berbagai jenis perguruan tinggi di Indonesia.
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar. Penulis juga menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua dan orang-orang terdekat yang telah memberikan dukungan, semangat, serta doa yang tiada henti selama proses penyusunan tugas akhir ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada dosen serta seluruh staf yang berada di lingkungan Universitas Melati dan Universitas Mawar atas izin, bantuan, serta informasi yang diberikan selama pelaksanaan penelitian, termasuk kesediaannya menjadi narasumber yang sangat berkontribusi dalam kelengkapan data. Penulis menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan secara maksimal.
[1] L. Fitriani and S. Destia, “Evaluasi Pelaksanaan Sistem Pengendalian Internal (Studi Kasus pada Perguruan Tinggi X),” Jurnal Bisnis, Ekonomi dan Sains, vol. 4, no. 1, pp. 1–12, 2024.
[2] H. Sofyani, H. A. Hasan, and Z. Saleh, “Internal Control Implementation in Higher Education Institutions: Determinants, Obstacles and Contributions Toward Governance Practices and Fraud Mitigation,” Journal of Financial Crime, vol. 29, no. 1, pp. 141–158, 2022.
[3] Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), Occupational Fraud 2024: A Report to the Nations, 13th ed. Austin, TX, USA: ACFE, 2024.
[4] S. J. Rachman and E. Yuntho, “Pola-Pola Korupsi di Perguruan Tinggi,” Indonesia Corruption Watch, pp. 1–35, 2023.
[5] Sugiyanto and R. Safriliana, “Pengaruh Auditor Internal dan Pengendalian Internal terhadap Penerapan Good University Governance di Universitas Negeri Malang,” Manajemen, Akuntansi dan Ekonomi, vol. 1, pp. 228–237, 2022.
[6] H. Sofyani, Z. Saleh, and H. A. Hasan, “Investigation on Key Factors Promoting Internal Control Implementation Effectiveness in Higher Education Institution: The Case of Indonesia,” Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan, vol. 11, no. 3, pp. 483–495, 2021.
[7] Afriliani, A. M. Sandrina, A. K. Ardina, and S. Putri, “Penerapan Pengendalian Internal dalam Meningkatkan Kinerja Perguruan Tinggi melalui Persepsi Mahasiswa Universitas Trilogi,” E-Prosiding Akuntansi, pp. 1–23, 2020.
[8] Irsutami and A. Ryansyah, “Pengaruh Internal Audit dan Efektivitas Pengendalian Internal terhadap Kemampuan Deteksi Kecurangan pada Perguruan Tinggi Indonesia,” Jurnal Akuntansi, Ekonomi dan Manajemen Bisnis, vol. 11, no. 1, pp. 114–121, 2023.
[9] I. Wahyudi, M. N. Alim, E. Malia, and I. O. Dewi, “Budaya Organisasi dan Sistem Pengendalian Manajemen pada Perguruan Tinggi,” Kabilah Journal of Social Community, vol. 6, no. 2, pp. 126–140, 2021.
[10] F. S. Dewi and T. Dewayanto, “Peran Big Data Analytics, Machine Learning, dan Artificial Intelligence dalam Pendeteksian Financial Fraud: A Systematic Literature Review,” Diponegoro Journal of Accounting, vol. 13, no. 3, pp. 1–15, 2024.
[11] K. S. Sanjaya and A. Faisal, “Pengaruh Audit Internal dan Pengendalian Internal terhadap Pencegahan Kecurangan dengan Independensi sebagai Pemoderasi,” Jurnal Ekonomi Trisakti, vol. 20, no. 1, pp. 105–123, 2022.
[12] Hastuti, D. I. Burhany, Y. Rufaedah, M. U. Mai, and H. Rochendi, “Evaluasi Efektivitas Sistem Pengendalian Intern Piutang pada Perguruan Tinggi Negeri: Suatu Studi Kasus,” Jurnal Riset Akuntansi, vol. 13, no. 1, pp. 75–87, 2021.
[13] N. Nurdahlia, Sugianto, and R. D. Harahap, “Analisis Efektivitas Pengendalian Internal Piutang dalam Menghindari Risiko Kerugian Piutang Tak Tertagih PT ABC,” Jurnal Masharif Al-Syariah, vol. 8, no. 30, pp. 159–176, 2023.
[14] Nurasik and S. R. Dewi, Pengauditan Internal, 1st ed. Sidoarjo, Indonesia: UMSIDA Press, 2020.
[15] B. Natasia et al., “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Fraud dalam Pelaporan Keuangan,” Seminar Nasional HUBISINTEK, vol. 2, no. 1, pp. 1–6, 2022.
[16] V. Rahmarta, G. T. Pontoh, and D. Said, “Kekuatan Organisasional dan Sistem dalam Pencegahan Fraud: Suatu Tinjauan System Literature Review,” Substansi Sumber Artikel Akuntansi, Audit dan Keuangan Vokasi, vol. 8, no. 1, pp. 28–43, 2024.
[17] ACFE, Report to the Nations 2020: Global Study on Occupational Fraud and Abuse, 11th ed. Austin, TX, USA: ACFE, 2020.
[18] G. P. Violetta and I. Kristianti, “Pengungkapan Kecurangan di Lembaga Kemahasiswaan,” Reviu Akuntansi dan Bisnis Indonesia, vol. 5, no. 1, pp. 26–37, 2021.
[19] D. Aryanti et al., “Analisis Peranan Audit Internal dalam Pencegahan Fraud: Literature Review,” Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, vol. 2, no. 2, pp. 1–8, 2024.
[20] A. S. Ramadhanti and E. Safrida, “Analisis Implementasi Pengendalian Internal Berbasis COSO pada Yayasan Orangutan Sumatera Lestari,” JAKP: Jurnal Akuntansi, Keuangan dan Perpajakan, vol. 6, no. 2, pp. 1–16, 2023.
[21] I. Aura and Kamilah, “Analisis Penerapan Sistem Informasi Akuntansi Penggajian dalam Meningkatkan Pengendalian Internal pada Dinas Kesehatan Kota Medan,” Jurnal Pengabdian kepada Masyarakat Nusantara, vol. 5, no. 1, pp. 1–7, 2024.
[22] J. Andriani, E. E. Sasanti, and Y. Mariadi, “Analisis Pengelolaan dan Pengendalian Internal Piutang PT Meka Asia Properti,” Jurnal Riset Mahasiswa Akuntansi, vol. 3, no. 1, pp. 163–174, 2023.
[23] M. D. Agustini, S. Sukandani, and M. R. Ardhiani, “Analisis Sistem Informasi Akuntansi Penjualan Kredit untuk Meningkatkan Pengendalian Intern,” Journal of Sustainable Business Research, vol. 3, no. 1, pp. 82–91, 2022.
[24] A. N. Melan, Y. A. Dekrita, and F. De Romario, “Analisis Peranan Internal Audit dalam Pencegahan Kecurangan pada Pusat Koperasi Kredit Swadaya Utama Maumere,” Journal of Accounting UNIPA, vol. 1, no. 2, pp. 1–14, 2022.
[25] I. N. Sari, L. P. Lestari, and D. W. Kusuma, Metode Penelitian Kualitatif, 1st ed. Malang, Indonesia: Unisma Press, 2022.
[26] E. Selfiati et al., “The Effect of Internal Audit, Organizational Culture, and Human Resource Competencies on Fraud Prevention With Good Corporate Governance as an Intervening Variable,” International Journal of Finance, Business and Management, vol. 2, no. 6, pp. 747–760, 2024.
[27] V. Nuraini, F. Fauziyah, and B. H. Agustin, “The Influence of Organizational Culture, Whistleblowing System, and Internal Control System for Prevention Fraud,” Dinasti International Journal of Education, Management and Social Science, vol. 6, no. 5, pp. 3949–3960, 2025.
[28] A. Hanif et al., “Enhancing Fraud Detection and Prevention Through Effective Control Environment,” Indonesian Journal of Law and Economic Review, vol. 18, no. 3, pp. 1–11, 2023.