Amelia Putri Anggraini (1), Nur Ravita Hanun (2)
Background: Fraud in higher education remains a persistent challenge due to complex organizational structures and weak oversight mechanisms. Specific Background: Previous studies mostly examined technical aspects of internal audit without exploring its practical effectiveness across diverse campus contexts. Gap: Limited qualitative investigations addressing how internal audit functions operate in different institutional settings. Aim: This study explores the effectiveness of internal audit roles in preventing fraud in three higher education institutions. Methods: A qualitative approach was applied using semi-structured interviews, observations, and triangulation supported by secondary literature. Results: Internal audit performance in the three institutions remains suboptimal due to limited management support, inconsistent follow-up of audit recommendations, and oversight structures that emphasize administrative review rather than investigative depth. Novelty: This study provides a multi-institutional qualitative perspective showing how variations in audit structures produce different levels of fraud-prevention readiness. Implications: The findings highlight the need for strengthened governance systems, clearer authority for internal audit units, and systematic follow-up mechanisms to enhance institutional integrity.
Highlights:• Internal audit effectiveness varies across institutions• Fraud prevention requires managerial commitment• Oversight structures shape audit performance
Keyword: Internal Audit, Fraud Prevention, Higher Education, Internal Control, Qualitative Study
Fraud atau kecurangan telah menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di berbagai bidang, termasuk di dalam lingkungan perguruan tinggi. Menurut laporan tahun 2024 dari Association of Certified Fraud Examiners (ACFE), sektor pendidikan berada di posisi keenam dalam hal frekuensi kasus fraud, dengan kerugian median mencapai $50.000 per kasus [1]. Dari data tersebut menunjukkan bahwa perguruan tinggi tidak sepenuhnya terbebas dari praktik kecurangan, melainkan memiliki potensi risiko yang cukup besar, sehingga fraud di perguruan tinggi telah berkembang menjadu isu global yang memerlukan perhatian serius. Fenomena tersebut juga terlihat jelas di Indonesia, salah satunya kasus yang menjadikan fenomena yang paling menonjol adalah skandal korupsi yang melibatkan Rektor Universitas Negeri Lampung (UNILA), dengan dugaan suap senilai Rp. 5 miliar terkait dengan penerimaan mahasiswa melalui jalur seleksi mandiri. Dalam kasus ini melibatkan kolaborasi antara rektor, wakil rektor I bidang akademik, ketua senat dan pihak swasta, yang mengindikasikan adanya kelemahan dalam pengawan internal. Satuan Pengawas Internal (SPI) UNILA dinilai tidak efektif dalam mendeteksi dan mengungkap adanya penyelewengan dari kasus tersebut. Dari kasus ini juga menjadikan bukti adanya kekurangan dalam implementasi Sistem Pengendalian Internal (SPI) di UNILA yang dinilai belum cukup optimal dan efisien. Dengan demikian, baik pada level global maupun nasional, fraud di perguruan tinggi bukan hanya sekedar masalah kecil. Melainkan menjadikan ancaman serius terhadap integritas, kredibilitas, dan keberlanjutan institusi pendidikan tinggi, sehingga penguatan sistem pengawan internal, peningkatan akuntanbilita, serta evaluasi berkala menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan [2].
Mengingat karakteristik institusi pendidikan tinggi yang khusus, permasalahan fraud di perguruan tinggi sangatlah kompleks karena struktur organisasi yang rumit, aliran dana yang besar, serta kemandirian akademik yang dimiliki menciptakan peluang yang dapat disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Selain itu, budaya akademik yang cenderung menekankan kepercayaan dan kebebasan intelektual seringkali menghambat penerapan pengendalian yang ketat, sehingga risiko fraud meningkat. Banyak perguruan tinggi belum memiliki sistem yang efektif untuk mendeteksi dan mencegah fraud, terlihat dari lemahnya peran audit internal dalam pengawasan [3]. Oleh karena itu, diperlukan adanya upaya penguatan sistem pengendalian internal dan peran audit internal agar perguruan tinggi mampu meminimalisasi risiko fraud sekaligus menjaga integritas lembaga. Selain itu, peneliti [4] menyatakan bahwa kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan dan operasional perguruan tinggi menjadi sebuah hambatan utama dalam pencegahan dan deteksi fraud yang kurang efektif. Banyak institusi pendidikan tinggi menghadapi kesulitan dalam menerapkan tata kelola yang baik (good governance), termasuk pelaporan keuangan yang tidak akurat dan tata kelola yang lemah menyulitkan evaluasi internal maupun kontrol eksternal, menciptakan lingkungan yang rawan kecurangan. Keterbatasan sistem pengendalian dan penggunaan teknologi informasi yang belum optimal membuat deteksi dini fraud semakin sulit diartikan. Oleh karena itu, penguatan audit internal, transparansi, akuntabilitas, dan tata kelola yang baik yang penting diperkuat agar perguruan tinggi mampu menciptakan sistem pengawan yang lebih efektif.
Kasus fraud di perguruan tinggi memiliki dampak yang luas dan signifikan karena menyebabkan hilangnya dana yang seharusnya dialokasikan untuk pengembangan akademik dan peningkatan kualitas pendidikan, sekaligus mengancam reputasi dan kepercayaan publik. Hal tersebut dapat menurunkan minat calon mahasiswa. Kondisi tersebut dapat berpengaruh pada akreditasi perguruan tinggi di Indonesia. Ironisnya, praktik fraud juga dilakukan oleh mahasiswa sendiri. Seharusnya institusi pendidikan menjadi tempat untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan membentuk karakter berintegritas sebagai bekal dunia kerja [5]. Penelitian-penelitian sebelumnya telah mengkaji berbagai aspek terkait fraud di perguruan tinggi dan peran audit internal dalam pencegahannya. Studi yang dilakukan oleh peneliti [6] menyatakan bahwa pengendalian internal perguruan tinggi dapat berhasil apabila mendukung tercapainya efektivitas dan efisiensi operasional, serta dipengaruhi oleh kemandirian dan kompetensi auditor internal. Auditor internal profesional mampu meningkatkan kepercayaan manajemen terhadap proses pengawasan dan akuntabilitas lembaga, sekaligus mendorong kepatuhan terhadap berbagai regulasi yang berlaku di lingkungan perguruan tinggi. Dengan adanya sistem pengendalian yang baik, risiko kerugian akibat fraud dapat diminimalisasi secara lebih efektif. Studi lain yang dilakukan oleh peneliti [7] menemukan bahwa efektivitas audit internal sangat dipengaruhi oleh kualitas pengendalian internal dan kemampuan deteksi fraud. Namun, keterbatasan sumber daya dan kewenangan audit internal sering menjadi hambatan dalam menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. Dengan demikian, meskipun audit internal memiliki peran strategis, efektivitasnya tetap sangat dipengaruhi oleh dukungan sumber daya dan kewenangan yang memadai.
Meskipun penelitian terkait peran audit internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi telah banyak dilakukan, masih terdapat kesenjangan (research gap) yang perlu dieksplorasi. Sebagian besar penelitian sebelumnya cenderung berfokus pada aspek teknis dan operasional dari audit internal tanpa menyoroti efektivitas perannya dalam konteks perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. Selain itu, penelitian sebelumnya juga kebanyakan menggunakan metode literature review atau metode kuantitatif, sehingga kurang menggali wawasan yang mendalam dan juga belum ada penelitian sebelumnya yang secara spesifik mengkaji efektivitas peran audit internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi dengan menggunakan metode kualitatif. Dengan ini, peneliti memilih objek di Perguruan Tinggi A, B dan C karena fenomena di lapangan menunjukkan adanya perbedaan penerapan audit internal pada beberapa perguruan tinggi. Misalnya, di Perguruan Tinggi A audit internal lebih menekankan fungsi evaluatif dan strategis, sementara di Perguruan Tinggi B audit internal berperan dalam pendampingan teknis dan pernah terlibat langsung dalam investigasi kasus fraud. Sementara itu, Perguruan Tinggi C lebih berfokus pada review administratif dengan dukungan penerapan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) dan Penilaian Inern Pengendalian Keuangan (PIPK). Perbedaan fenomena ini menegaskan adanya variasi penerapan audit internal dalam pencegahan fraud, yang hingga kini belum banyak dikaji secara mendalam dalam penelitian sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk memberikan perspektif baru yang lebih kontekstual mengenai dinamika dan tantangan audit internal di perguruan tinggi.
Berdasarkan latar belakang dan kesenjangan penelitian yang telah diuraikan, penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan utama: "Bagaimana efektivitas peran audit internal dapat dioptimalkan dalam upaya pencegahan fraud di perguruan tinggi?". Penelitian ini diharapkan memiliki implikasi signifikan baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil penelitian ini akan berkontribusi pada pengembangan literatur tentang audit internal dan pencegahan fraud dalam konteks perguruan tinggi, khususnya di negara berkembang seperti Indonesia. Secara praktis, temuan penelitian ini dapat menjadi acuan bagi pemangku kebijakan di perguruan tinggi dalam mengembangkan dan memperkuat fungsi audit internal mereka. Lebih lanjut, hasil penelitian ini juga dapat memberikan insight bagi regulator dan pembuat kebijakan di sektor pendidikan tinggi dalam merumuskan regulasi dan standar terkait tata kelola dan pencegahan fraud di perguruan tinggi.
A. Peran Audit Internal
Audit internal memiliki peran penting dalam membantu organisasi untuk mencapai tujuan dengan melakukan pendekatan sistematis dan disiplin untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan proses tata kelola serta menghadapi tantangan system yang rumit dan terus berkembang seiring berjalannya waktu [8]. Menurut The Association of Chartered Certified Accountants (ACCA) telah menggambarkan peran audit internal dalam hal ruang lingkup untuk membantu manajemen mengatasi sistem rumit yang berubah dan berkembang seiring waktu. Peran dan fungsi internal audit mengalami adanya perubahan signifikan dari paradigma lama ke paradigma baru, dimulai dengan berubahnya arah peran sebagai watchdog menjadi konsultan dan katalis .
Menurut penelitian [9] berpendapat peran audit internal dapat dikategorikan menjadi tiga peran utama yang saling melengkapi. Pertama, sebagai pengawas atau watchdog, auditor internal bertanggung jawab mengawasi, menyelidiki, menghitung, dan mengevaluasi untuk memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang ditetapkan yang berfungsi untuk menjaga dan memastikan kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Kedua, berlaku sebagai konsultan, dimana auditor memberikan saran dan rekomendasi kepada pihak manajemen untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas organisasi serta membantu pengelolaan sumber daya secara optimal. Ketiga, sebagai katalisator, auditor berperan dalam mempercepat pencapaian tujuan organisasi dan menyelesaikan masalah melalui kolaborasi aktif dalam ruang lingkup kewenangan mereka. Dalam tiga peran ini menegaskan pentingnya audit internal dalam mendukung tata kelola yang baik dalam keberhasilan organisasi.
Menurut penelitian [10], menambahkan bahwa audit internal berperan dalam membantu organisasi untuk mengatasi hambatan yang ada dengan mendorong manajemen menciptakan budaya organisasi yang menjunjung tinggi etika, kejujuran, dan integritas. Selain itu, audit internal berkontribusi dengan membantu melakukan audit bagi kepentingan manajemen organisasi. Namun demikian, efektivitas audit internal sangat bergantung pada dukungan dari pihak manajemen, akan tetapi apabila pihak manajemen suatu organisasi tidak mengimplementasikan saran yang telah diberikan oleh auditor internal untuk organisasi tersebut maka aktivitas audit internal tersebut akan kehilangan nilai dan tidak dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi organisasi.
Menurut American Institute of Internal Auditor (IIA), audit internal berperan penting dalam meningkatkan pengawasan kinerja organisasi dengan tujuan untuk mengevaluasi dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dan proses pengawasan untuk mencapai tujuan. Dalam peran audit internal mencakup beberapa tanggung jawab utama meliputi evaluasi risiko dan pengendalian, pengujian kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur, memberikan keyakinan kepada manajemen, memberikan rekomendasi perbaik serta konsultasi operasional untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Dengan adanya pendekatan yang sistematis ini, audit internal mendukung tata Kelola yang baik dan keberhasilan organisasi .
B. Efektivitas Peran Audit Internal dalam Pencegahan Fraud
Efektivitas audit internal merujuk pada sejauh mana tujuan, sasaran, dan fungsi audit internal dapat tercapai untuk menciptakan nilai tambah dan meningkatkan nilai tambah kinerja organisasi. Menurut peneliti [11] efektivitas peran audit internal tercapai ketika auditor internal dapat melaksanakan fungsi audit dengan baik yang mencakup dengan perencanaan yang tepat, peningkatan produktivitas organisasi, dan evaluasi serta pelaksanaan rekomendasi untuk perbaikan yang dihasilkan dari audit.
Salah satu aspek penting dari adanya efektivitas adalah perannya dalam pencegahan kecurangan (fraud), yang menjadi hal krusial bagi keberhasilan audit internal. Efektivitas audit internal dalam pencegahan fraud merupakan elemen kunci dalam pengelolaan organisasi yang baik, karena audit internal menerapkan pendekatan yang sistematis dan disiplin dalam mengawasi pengendalian internal. Selain itu audit internal juga berperan dalam memastikan kepatuhan terhadap hukum, manajemen risiko, dan peraturan yang berlaku yang dimana akan membantu menjaga integritas organisasi serta mencegah potensi kerugian yang disebabkan oleh tindakan fraud [12].
Menurut peneliti [13] menyampaikan bahwa efektivitas audit internal yang optimal memiliki peran yang krusial dalam mendeteksi kecurangan dalam suatu organisasi. Peran ini sangat penting untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan pengelolaan sumber daya secara efisien terutama dalam konteks perguruan tinggi. Selain dengan keberadaan auditor internal, perguruan tinggi juga perlu untuk mengevaluasi efektivitas kerjanya, termasuk dalam mendeteksi kecurangan dan memastikan kepatuhan terhadap peraturannya. Dengan hal ini dapat mendukung integritas dan kredibilitas institusi serta tercapainya tujuan organisasi.
C. Pencegahan Fraud
Fraud merupakan sebuah tindakan kecurangan atau penyimpangan yang dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan secara tidak sah yang dilakukan oleh seseorang yang sengaja untuk tujuan tertentu. Tindakan fraud ini dapat berupa manipulasi pelaporan keuangan, tindakan pencurian, dan tindakan. Dalam memahami fenomena terjadinya fraud ini, penelitian berbasis teori menjadi landasan penting untuk mengungkapkan dinamika dan karakteristik yang melatarbelakangi perilaku tersebut. Salah satu teori yang menjadi acuan utama yaitu teori segitiga penipuan (fraud triangle theory). Menurut teori ini, menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menjadi pendorong terjadinya fraud, yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) [1]. Dengan memahami adanya ketiga faktor tersebut, organisasi dapat merancang langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif, contohnya seperti memperkuat sistem pengendalian internal, meningkatkan pengawasan lebih ketat dan menciptakan budaya kerja yang menjunjung tinggi integritas dan transparansi.
Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) mengklasifikasikan fraud menjadi tiga jenis utama berdasarkan perilakunya. Pertama, penyalahgunaan aset yang dilakukan dengan pencurian atau penggunaan aset tanpa izin pemiliknya. Jenis fraud ini mudah terdeteksi karena sifatnya yang nyata. Kedua, pernyataan palsu atau salah pernyataan, dengan tindakan manipulasi laporan keuangan, berupa tindakan yang dilakukan untuk menciptakan citra yang lebih baik dengan menyembunyikan kondisi keuangan sebenarnya. Ketiga, korupsi yang merupakan bentuk fraud yang sulit dideteksi karena melibatkan kolaborasi dengan orang lain dan sering terjadi di negara berkembang dengan akibat lemahnya penegakan hukum serta kurangnya kesadaran terhadap prinsip tata kelola yang baik mengancap integritas dan transparansi organisasi [14].
Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif yang digunakan peneliti untuk menggali secara dalam dan memahami efektivitas peran audit internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi, khususnya di Perguruan Tinggi A, Perguruan Tinggi B dan Perguruan Tinggi C. Pendekatan kualitatif ini dipilih karena mampu memberikan penjelasan secara mendalam dan komprehensif mengenai isu yang diteliti, terutama terkait pengendalian internal dalam mencegah fraud yang menjadi perhatian penting di perguruan tinggi. Dalam penelitian ini terdapat tiga perguruan tinggi yang dipilih sebagai objek penelitian karena ketiga perguruan tinggi tersebut memiliki unit audit internal yang berfungsi untuk memastikan transparansi dan akuntanbilitas keuangan, sehingga memberikan pengetahuan baru untuk diteliti bagaimana efektivitas perannya dalam mencegah fraud. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengidentifikasi apakah terdapat indikasi fraud di ketiga perguruan tinggi tersebut dan bagaimana audit internal berperan dalam mencegahnya [15].
Penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data untuk menjamin keabsahan temuan dan proses ini bertujuan untuk membandingkan dan menguji konsistensi jawaban dari para narasumber melalui wawancara yang dilakukan pada waktu yang berbeda. Selain itu, penelitian ini juga memverifikasikan data dengan mencocokan hasil wawancara dengan dokumen-dokumen pendukung yang relevan. Melalui pendekatan ini, analisis yang dihasilkan diharapkan lebih objektif, mendalam, dan mampu memberikan gambaran yang akurat mengenai efektivitas peran audit internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi [16]
Dalam penelitian ini menggabungkan antara dua pendekatan yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara langsung yang dirancang oleh peneliti secara semi terstruktur yaitu, pertanyaan wawancara kepada informan telah direncanakan sebelumnya dan terkait dengan topik penelitian. Oleh karena itu, wawancara semi terstruktur cocok untuk penelitian ini, karena dirancang sesuai dengan kondisi lapangan dan kebutuhan penelitian. Lokasi penelitian ini bertempat di perguruan tinggi, dengan pengumpulan data yang dilakukan melalui wawancara dan observasi. Informan yang dipilih merupakan pihak yang berhubungan langsung dan paham mengenai pengendalian internal, seperti auditor internal yang ada di Perguruan Tinggi A, Perguruan Tinggi B dan Perguruan Tinggi C [17]. Selain itu, data sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber literatur mendukung, seperti jurnal-jurnal penelitian terdahulu, buku-buku referensi yang memiliki bahasan topik penelitian dan referensi lainnya yang berkaitan dengan topik penelitian.
Data sekunder ini digunakan untuk memberikan konteks tambahan, memperkuat analisis, dan menjalin hubungan keterkaitan antara penelitian saat ini dengan penelitian sebelumnya yang relevan. Dengan mengkombinasikan kedua jenis data ini, diharapkan penelitian ini mampu menghasilkan analisis yang lebih mendalam lagi [18]. Dengan adanya dua pendekatan ini, penelitian bertujuan memberikan gambaran mendalam tentang efektivitas peran audit internal dalam pencegahan fraud di perguruan tinggi. Selain itu, penelitian ini juga berupaya untuk mengidentifikasi praktik terbaik yang dapat dilakukan oleh institusi pendidikan tinggi lainnya sebagai upaya dalam meningkatkan sistem pengendalian internal dan tata kelola yang lebih baik [4].
Penelitian ini dilakukan melalui tahapan yang sistematis dengan mengikuti langkah-langkah yang bersifat ilmiah dan logis yang dimana untuk memastikan pelaksanaan penelitian dapat berjalan sesuai rencana dan menghasilkan data yang akurat serta dapat terselesaikan secara tepat waktu dengan menghasilkan hasil yang sesuai dengan tujuan yang diharapkan [19]. Dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan utama yang dirancang untuk menghasilkan temuan yang mendalam dan relevan. Tahapan pertama yang dilakukan yaitu melakukan tinjauan literatur yang bertujuan untuk memahami konsep dan teori yang mendasari serta merumuskan landasan penelitian. Tahapan kedua yaitu identifikasi masalah yang digunakan untuk menentukan fokus utama penelitian, diikuti dengan penyusunan pertanyaan penelitian sebagai panduan dalam menjalankan proses penelitian secara terarah. Selanjutnya, pengumpulan data yang dilakukan melalui metode primer, seperti wawancara dan observasi dan sekunder dilakukan dengan meninjau dokumen dan referensi terkait. Analisis data dilakukan melalui tiga tahap utama : reduksi data, yaitu penyaringan dan peringkasan informasi menjadi teks naratif dengan bukti pendukung seperti petikan wawancara. Penyajian data, yaitu penyusunan informasi secara terstruktur untuk menyoroti hubungan antara temuan dan tujuan penelitian. Penarikan simpulan, yaitu pengintegrasian hasil analisis untuk menjawab pertanyaan penelitian secara akurat. Untuk menjamin validitas hasil, penelitian ini menggunakan teknik triangulasi data pada setiap analisis. Triangulasi dilakukan dengan membandingkan konsistensi jawaban dari para narasumber yang diwawancarai pada waktu yang berbeda serta memverifikasikan data dengan dokumen pendukung yang relevan. Dengan pendekatan ini, hasil analisis diharapkan bersifat lebih objektif, akurat dan mendalam [20].
Sebagai dasar analisis, penelitian ini menetapkan kriteria efektivitas peran audit internal dalam pencegahan fraud. Audit internal dinilai efektif apabila mampu menjalankan fungsi pengawasan, evaluasi, dan pencegahan secara menyeluruh, seperti melakukan pendampingan, investigasi, monitoring dan memberikan rekomendasi yang ditindaklanjuti oleh manajemen. Sebaliknya, peran audit internal dianggap tidak efektif apabila pelaksaannya hanya bersifat administrative, tidak ada tindak lanjut dari temuan audit, kurangnya evaluasi berkelanjutan atau terbatas pada fungsi formalitas tanpa memberikan kontribusi nyata dalam mencegah fraud. Dengan adanya kriteria ini, penelitian ini memiliki pedoman yang jelas untuk menilai sejauh mana audit internal berfungsi sesuai dengan tujuan pencegahan fraud di perguruan tinggi.
Dengan adanya rangkaian metode tersebut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran menyeluruh, akurat, dan mendalam mengenai efektivitas peran audit internal dalam mencegah fraud di perguruan tinggi dan menghasilkan temuan yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi institusi Pendidikan tinggi lainnya dalam memperkuat pengendalian internal dan tata kelola yang baik.
Figure 1. Tahapan Penelitian
1. Efektivitas Peran Audit Internal di Perguruan Tinggi
Audit internal memiliki peran penting dalam meningkatkan efektivitas sistem pengendalian internal melalui evaluasi yang independen dan objektif. Tanggung jawab utamanya adalah mengkaji, menguji, dan memantau sistem pengendalian untuk mengidentifikasi kelemahan serta memberikan rekomendasi perbaikan yang relevan. Dengan demikian, audit internal membantu memastikan bahwa risiko dan proses pengendalian telah ditangani dengan baik, serta mendukung efektivitas manajemen risiko, pengendalian, dan tata kelola perusahaan. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan nilai dan kinerja operasional organisasi secara keseluruhan [21].
Efektivitas peran audit internal dalam perguruan tinggi sangat dipengaruhi oleh sistem pengawasan, struktur organisasi, dan dukungan manajerial. Dari hasil wawancara dengan narasumber auditor internal di Perguruan Tinggi A, disampaikan bahwa efektivitas audit internal dapat dicapai apabila terdapat keselarasan antara auditor internal, manajemen, dan unit kerja. Audit akan berjalan optimal jika memiliki kesamaan tujuan, yaitu sebagai upaya untuk perbaikan organisasi, bukan untuk mencari kesalahan. Narasumber (A) menyatakan,
"Peran auditor internal bisa berjalan secara efektif dan optimal jika ada keselarasan antara auditor internal, manajemen, dan unit yang diaudit. Semua pihak perlu memiliki tujuan yang sama, yaitu bahwa audit dilakukan untuk memperbaiki organisasi, bukan untuk mencari kesalahan atau menjatuhkan pihak tertentu. Dengan kesamaan tujuan tersebut, proses audit internal akan lebih mudah dijalankan dan hasilnya bisa lebih bermanfaat bagi organisasi."
Hal serupa juga diungkapkan oleh auditor internal dari Perguruan Tinggi B, bahwa efektivitas audit internal dapat ditingkatkan melalui pendampingan langsung kepada unit kerja, khususnya dalam penyusunan laporan keuangan. Pendekatan yang dilakukan adalah memastikan bahwa laporan keuangan disusun sesuai pedoman yang berlaku agar lebih transparan dan kecil kemungkinan terjadinya fraud. Narasumber (B) menyatakan,
"Saat ini, peran audit internal masih sebatas mendampingi dalam proses penyusunan laporan keuangan. Namun, peran ini bisa diarahkan untuk membantu mencegah terjadinya fraud, karena dengan laporan keuangan yang disusun secara transparan, peluang terjadinya kecurangan akan semakin kecil. Bukan berarti fraud tidak mungkin terjadi sama sekali, tapi risikonya bisa dikurangi. Jadi, cara paling efektif adalah dengan memastikan bahwa laporan keuangan disusun sesuai pedoman yang berlaku. Karena pedoman itu dibuat memang untuk memastikan proses yang berjalan menjadi lebih efektif dan akuntabel."
Berbeda dengan Perguruan Tinggi A dan Perguruan Tinggi B, narasumber dari Perguruan Tinggi C menyampaikan bahwa audit internal masih dijalankan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) dan belum mencapai tahap audit menyeluruh. SPI di Perguruan Tinggi C lebih berfungsi sebagai unit review, bukan sebagai auditor internal yang mendalam. Peran mereka terbatas pada pengawasan dokumen dan pelaporan, serta pembagian tugas yang disesuaikan dengan bidang seperti keuangan, IT, SDM, dan pengadaan. Narasumber (C) menjelaskan,
“Di Perguruan Tinggi C, peran audit internal dilaksanakan oleh SPI (Satuan Pengawas Internal), yang fungsinya lebih pada pengawasan, bukan audit secara menyeluruh. Struktur SPI terbagi dalam beberapa koordinator, seperti koordinator bidang keuangan, IT, SDM, dan pengadaan barang/jasa (PerJas). Saya sendiri membawahi bidang keuangan dan IT, termasuk juga pengawasan kinerja SDM. Pembagian tugas ini bertujuan agar pekerjaan lebih fokus, karena sebelumnya hanya ada dua koordinator, termasuk koordinator hukum yang menangani aspek legal seperti keabsahan SK. SPI juga menyusun timeline kinerja per semester dan tetap berusaha menyelesaikan tugas sesuai tahun buku berjalan, meskipun ada kendala karena sebagian personel juga merupakan dosen. Pada dasarnya, SPI di Perguruan Tinggi C hanya melakukan review, seperti meninjau laporan keuangan, bukan sampai tahap audit kinerja keuangan. Proses pengawasan ini juga mengacu pada temuan dari auditor eksternal seperti KAP atau BPK.”
Dari ketiga perspektif, dapat disimpulkan bahwa efektivitas audit internal dalam mencegah fraud di perguruan tinggi sangat bergantung pada struktur pengawasan, kemampuan auditor, dan dukungan pimpinan. Perguruan Tinggi A dan Perguruan Tinggi B telah menjalankan peran audit internal secara lebih sistematis, Perguruan Tinggi A dengan evaluasi serta koordinasi kebijakan, dan Perguruan Tinggi B dengan pendekatan pendampingan teknis. Sementara itu, Perguruan Tinggi C masih dalam tahap penguatan fungsi pengawasan melalui review administratif dan sosialisasi. Ketiganya sepakat bahwa dukungan manajemen, kepatuhan terhadap SOP, dan sistem pengawasan yang terintegrasi menjadi kunci optimalisasi peran audit internal.
2. Pencegahan Fraud di Perguruan Tinggi
Salah satu faktor utama penyebab terjadinya fraud di perguruan tinggi adalah lemahnya Sistem Pengendalian Internal (SPI) atau peran auditor internal. Untuk mencegah praktik kecurangan, institusi perlu memperkuat sistem pengendalian internal sebagai bentuk proteksi dan deteksi dini terhadap penyimpangan. Integritas auditor internal juga berperan penting dalam pencegahan fraud. Selain itu, kualitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengadaan barang dan jasa sangat menentukan keberhasilan proses pengadaan, karena keputusan dan aktivitas yang dilakukan oleh SDM tersebut berpengaruh langsung terhadap tercapainya tujuan sistem pengadaan [22].
Peran audit internal dalam mencegah fraud juga dipengaruhi oleh mekanisme evaluasi, partisipasi dalam sosialisasi, serta tindakan atas temuan audit. Di Perguruan Tinggi A, auditor menjelaskan bahwa salah satu tantangan utama adalah ketika rekomendasi audit tidak dijalankan oleh manajemen. Hal ini menghambat pencegahan fraud secara sistemik. Narasumber (A) menyebutkan,
“…Salah satukendala yang seringdihadapiadalahtemuan audit yang berulang. Jika temuan yang samaterusmuncultanpaadaperbaikan, makastatusnyaakanmeningkat, mulaidariobservasi, menjadi minor, dan bisasajamenjadi mayor jikaberdampakbesarterhadap universitas secarakeseluruhan. Sayangnya, ketika status temuan dinaikkan, beberapa unit merasa keberatan, seolah-olah tidak ingin temuan itu dicatat. Padahal, jika tidak ingin disebut sebagai temuan, seharusnya rekomendasi dari auditor internal segera ditindaklanjuti. Di sini, sering kali rekomendasi tidak dijalankan. Dalam laporan audit internal, biasanya rekomendasi ditujukan kepada dua pihak: unit yang diaudit dan manajemen. Terkadang unit sudah bersedia memperbaiki, tetapi manajemen belum mendukung kebijakan perbaikannya. Hal ini wajar terjadi di berbagai organisasi, karena pelaksanaan suatu tindakan seringkali bergantung pada regulasi atau kebijakan dari atasan. Tanpa kebijakan yang jelas, tindakan tersebut bisa dianggap menyalahi aturan. Jadi, dukungan manajemen sangat penting agar perbaikan berjalan lancar dan berkesinambungan. Dalam hal ini, SPI berada di posisi tengah sebagai penghubung antara unit pelaksana dan manajemen”.
Hal ini menunjukkan bahwa pencegahan fraud tidak hanya bergantung pada audit itu sendiri, tetapi juga pada keseriusan manajemen dalam menindaklanjuti hasil audit. Sementara di Perguruan Tinggi B, pencegahan fraud dilakukan melalui praktik pendampingan dan pengecekan laporan keuangan. SPI aktif memberi bimbingan teknis, termasuk memberikan contoh laporan sesuai pedoman dan melakukan pengecekan bertahap. Bahkan ditemukan kasus fraud saat pandemi COVID-19 yang melibatkan manipulasi harga dan vendor fiktif. Narasumber (B) menyatakan,
“Ya pernah ditemukan indikasi fraud dalam proses pengadaan karangan bunga saat pandemi COVID-19. Bentuk penyimpangannya berupa manipulasi harga dan penggunaan vendor fiktif. Auditor internal kemudian menindaklanjuti dengan melakukan investigasi langsung ke vendor yang sebenarnya, membandingkan bukti fisik dengan invoice, dan melaporkan hasilnya kepada pimpinan. Namun, tindak lanjut dari pimpinan tidak berupa pemberian sanksi, melainkan hanya berupa arahan agar pengadaan di bagian tersebut tidak dilanjutkan lagi”.
Namun, tindak lanjutnya tidak sampai pada sanksi, hanya berupa anjuran dari pimpinan agar kasus tidak berulang. Ini mengindikasikan bahwa pencegahan fraud telah dilakukan, namun masih lemah dari sisi penegakan. Sedangkan di Perguruan Tinggi C, fraud dalam bentuk kerugian negara belum ditemukan. Sebagian besar temuan bersifat administratif, seperti kesalahan pemotongan pajak atau kelebihan pembayaran. SPI menangani hal ini secara edukatif dan solutif, tanpa tindakan hukum. Narasumber (C) menyatakan,
"Selama saya bekerja di SPI selama hampir 4 tahun, belum ditemukan kasus fraud yang mengakibatkan kerugian negara. Kalaupun ada kesalahan, sifatnya lebih ke administratif dan belum masuk kategori merugikan negara. Misalnya, dalam penggunaan dana hibah penelitian, ada kegiatan seperti seminar yang mengundang narasumber dengan honor per jam. Honor tersebut seharusnya dipotong pajak karena termasuk objek pajak, tetapi kadang-kadang terlupa dan sudah terlanjur dibayarkan. Dalam kasus seperti ini, pajak yang seharusnya dipotong harus tetap dibayarkan oleh penerima dana ke negara. Jadi, lebih kepada koreksi administratif. Kadang juga ada kasus kelebihan pembayaran, dan dana tersebut dikembalikan. Kami juga tidak bersikap terlalu keras, karena keputusan tetap ada di tangan pimpinan. Misalnya, dalam pengembalian kelebihan pembayaran, bisa saja dicicil agar tidak memberatkan pegawai. Tapi tetap harus dikembalikan karena itu bukan hak, melainkan kewajiban.".
Meski bukan fraud berat, langkah-langkah pengawasan tetap dijalankan agar tidak terjadi kesalahan berulang. SPI di Perguruan Tinggi C juga menggunakan sistem SPIP (Sistem Pengendalian Intern Pemerintah) dan PIPK (Pengendalian Internal atas Pelaporan Keuangan) dari Kementerian Agama untuk mendukung pengawasan berbasis teknologi. Hal ini berkontribusi dalam membangun sistem pelaporan yang lebih tertib dan terdokumentasi secara digital.
Berdasarkan temuan di tiga perguruan tinggi tersebut upaya pencegahan fraud telah dilakukan dengan pendekatan yang beragam sesuai dengan struktur dan kondisi masing-masing perguruan tinggi. Di Perguruan Tinggi A, lebih menekankan pada evaluasi menyeluruh dan penyampaian rekomendasi kepada pihak terkait, namun penerapan pencegahan menjadi kurang maksimal ketika rekomendasi tersebut tidak direspons. Perguruan Tinggi B, pencegahan dilakukan melalui pendampingan intensif dalam pelaporan keuangan serta tindakan investigatif terhadap indikasi kecurangan, meskipun penyelesaiannya tetap bergantung pada keputusan pimpinan. Sementara itu, Perguruan Tinggi C masih mengutamakan pengawasan bersifat administratif dan edukatif karena peran audit internalnya masih terbatas pada tahap review oleh SPI. Secara umum, ketiga perguruan tinggi sepakat bahwa pencegahan fraud akan berjalan lebih efektif apabila terdapat sinergi antara auditor, unit kerja, dan pimpinan, disertai dengan pedoman kerja yang jelas, sistem pengawasan yang baik, dan keterbukaan terhadap perbaikan berkelanjutan
Berdasarkan dari hasil penelitian, peran audit internal dari ketiga perguruan tinggi tersebut terbukti bahwa peran audit internal dalam pencegahan fraud masih belum sepenuhnya efektif dalam mencegah fraud, meskipun adanya upaya yang dilakukan sesuai kondisi masing-masing perguruan tinggi. Pada Perguruan Tinggi A, audit internal memang telah menjalankan fungsi evaluatif dan strategis dengan memberikan berbagai rekomendasi, tetapi efektivitasnya berkurang karena tidak semua rekomendasi direspons atau ditindaklanjuti oleh manajemen. Di Perguruan Tinggi B, peran audit internal terlihat lebih aktif melalui kegiatan pendampingan, penyusunan laporan, hingga investigasi indikasi kecurangan, meskipun efektivitasnya tetap terbatas sebab tindak lanjut sangat bergantung pada kebijakan pimpinan yang cenderung hanya memberikan arahan tanpa diikuti sanksi konkret. Adapun pada Perguruan Tinggi C, fungsi audit internal masih terbatas pada aspek administratif melalui SPI, yang umumnya berfokus pada telaah dokumen dan koreksi administratif, sehingga belum berperan secara komprehensif dalam upaya pencegahan fraud. Dengan demikian, secara keseluruhan peran audit internal di ketiga perguruan tinggi tersebut masih berada dalam kategori belum efektif, dan efektivitas hanya dapat tercapai apabila terdapat dukungan nyata dari manajemen, penerapan sistem pengendalian internal yang menyeluruh, serta konsistensi dalam menindaklanjuti setiap temuan audit.
Ucapan Terima Kasih
Dengan penuh rasa syukur, saya mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Allah SWT atas segala rahmat, petunjuk, dan kemudahan yang telah diberikan hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Saya juga menyampaikan rasa terimakasih yang mendalam kepada kedua orang tua serta keluarga tercinta atas dukungan, doa, dan kasih sayang yang tak pernah putus. Perhargaan yang setulusnya saya tunjukan kepada Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, khususnya Program Studi Akuntansi dan Fakultas Bisnis, Hukum dan Ilmu Sosial atas segala ilmu, arahan, serta segala fasilitas yang telah diberikan. Tidak lupa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada sahabat dan rekan seperjuangan yang telah menjadi bagian penting dalam perjalanan ini dengan memberikan semangat, bantuan, dan kebersamaan yang telah berarti sepanjang proses penyusunan skripsi ini.
[1] N. Christian, F. Derista, V. Frederica, P. S. Akuntansi, and U. I. Batam, “Analisis Profil Kecurangan terhadap Korban pada Faktor Organisasi,” SEIKO: Journal of Management & Business, vol. 7, no. 2, pp. 1451–1471, 2024.
[2] W. Wahidah and N. Nurhazana, “Evaluasi Penerapan Sistem Pengendalian Internal pada Kinerja Keuangan di Perguruan Tinggi Negeri,” Journal of Revenue, vol. 4, no. 60, pp. 303–311, 2023.
[3] M. Fachruddin and D. Rahajeng, “Analisis Peran Audit Internal dalam Pencegahan Fraud,” ABIS Accounting and Business Information Systems Journal, vol. 10, no. 2, 2023, doi: 10.22146/abis.v10i2.73915.
[4] L. Amsah and M. Hasbullah, “Transparansi dan Akuntabilitas dalam Tata Kelola Kebijakan PTNBH,” ISO: Jurnal Ilmu Sosial, Politik, dan Humaniora, vol. 4, no. 2, p. 9, 2024.
[5] B. Budianto et al., “Pemicu Academic Fraud versus Accounting Fraud,” Jurnal Ekonomi Bisnis, Manajemen dan Akuntansi, vol. 3, no. 2, pp. 364–374, 2023.
[6] I. S. Widia and D. N. Anita, “Meta-Analisis: Pengaruh Audit Internal terhadap Kinerja Perguruan Tinggi,” Journal of Innovation Research and Knowledge, vol. 3, no. 1, pp. 1–7, 2023.
[7] M. Dandriansyah, E. Suryani, and G. T. Murti, “Audit Internal dan Pengendalian Internal terhadap Pencegahan Kecurangan,” Jurnal Indonesia Business Research, vol. 1, no. 1, pp. 25–32, 2023.
[8] S. Safitri, Q. Firdausi, and R. A. Santoso, “Peran Audit Internal terhadap Pencegahan Fraud,” Journal of Revenue, vol. 5, no. 1, pp. 145–157, 2024.
[9] L. P. Sari and S. Maharani, “Audit dan Pengendalian Internal terhadap Pencegahan Fraud,” Jurnal Manajemen dan Akuntansi, vol. 1, no. 4, pp. 169–175, 2024.
[10] A. S. Ramadhanti and A. F. G. Susilo, “Peran Audit Internal dalam Mencegah dan Mendeteksi Fraud,” Jurnal Cakrawala Ilmiah, vol. 1, 2022.
[11] O. Kristanti, C. Kuntadi, and R. Pramukty, “Faktor yang Mempengaruhi Efektivitas SPI,” SENTRI: Jurnal Riset Ilmiah, vol. 2, no. 8, pp. 2899–2911, 2023.
[12] M. Marlina and F. K. Fitriyah, “Dukungan Manajemen Puncak dan Profesionalisme Auditor Internal,” Portofolio: Jurnal Ekonomi, Bisnis, Manajemen dan Akuntansi, vol. 17, no. 2, pp. 48–60, 2022.
[13] M. Sitompul et al., “Efektivitas Peran Audit Internal dalam Pencegahan Fraud,” Jurnal Manajemen, Akuntansi dan Logistik, vol. 1, no. 1, pp. 86–98, 2023.
[14] Y. A. Lestari and Y. Bernawati, “Efektivitas Peran Internal Audit,” Jurnal Akuntansi dan Pajak, vol. 20, no. 2, pp. 189–196, 2020.
[15] N. Putri, “Peran Audit Internal dalam Pencegahan dan Deteksi Fraud,” JIMEA, vol. 6, no. 3, pp. 617–624, 2022.
[16] W. Aprilia et al., “Peran Auditor Internal dalam Pencegahan Kecurangan,” Akuntansi 45, vol. 5, no. 1, pp. 807–814, 2024.
[17] M. G. P. R. Pangesti and O. L. Pramudyastuti, “Kecurangan Dana Organisasi Kemahasiswaan,” Jurnal Riset Mahasiswa Akuntansi, vol. 3, no. 1, pp. 175–187, 2023.
[18] R. S. Ningrum and N. R. Hanun, “Mekanisme Kontrol Internal dalam Pendidikan Tinggi,” EMBA Review, vol. 4, no. 1, p. 15, 2024.
[19] L. N. Hakim and K. P. Suryatimur, “Efektivitas Peran Audit Internal,” Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan, vol. 10, no. 3, pp. 523–532, 2022.
[20] T. S. Saputra and I. Ismandra, “Fungsi Internal Audit dan Manajemen Risiko,” MBIA, vol. 21, no. 3, pp. 334–344, 2023.
[21] H. Pramaisvara and A. N. S. Hapsari, “Kecurangan Dana Kemahasiswaan,” Bongaya Journal of Research in Accounting, vol. 4, no. 2, pp. 1–12, 2021.
[22] L. Sulistyorini and D. Urumsah, “Pencegahan Fraud Pengadaan Barang dan Jasa,” Proceeding of the National Conference on Accounting and Finance, vol. 3, pp. 181–190, 2021.