Muhammad Iqbal Wi’an Ekaputra (1), Najih Anwar (2)
Background: The transition toward Society 5.0 demands accessible technology for all, including people with disabilities. Specific Background: Despite technological progress, digital access for individuals with disabilities remains limited due to low digital literacy and inadequate infrastructure. Gap: Few studies integrate theological concepts with technological innovation to support digital inclusion, especially through sign-language digitalization. Aim: This paper aims to reinterpret the Qur’anic term ar-ramz as a foundation for developing a digital sign-language model using AR and audiobooks. Results: The findings highlight the potential of AR for deaf users through visual optimization and audiobooks for blind users through auditory enhancement. The study also identifies major barriers, including social stigma, digital inequality, and infrastructural limitations. Novelty: This research combines theological interpretation with technological design to propose an inclusive digital model grounded in symbolic interaction. Implications: Policymakers and educators should strengthen digital culture, provide training, and promote accessible technologies to support disabled communities in the era of Society 5.0.
Highlights• Digital reinterpretation of ar-ramz• AR and audiobooks for sensory-based inclusion• Inclusive model for Society 5.0
Keywords: Digital Inclusion, AR, Audiobooks, Sign Language, Society 5.0
Bahasa isyarat menjadi kebutuhan fundamental bagi seorang difabel. Bahasa isyarat telah digunakan sebagai cara mencapai aksesibilitas dengan lingkungan sekitarnya.[1] Di era society 5.0 yang menuntut integrasi teknologi dalam seluruh aspek kehidupan, bahasa isyarat seharusnya telah bermetamorfosis dalam bentuk digital. Kenyataanya, gerakan digitalisasi yang diusung oleh society 5.0 belum mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut. Sebuah studi yang dilakukan oleh Accessibility Foundation pada tahun 2020 menemukan bahwa 70% aplikasi mobile populer tidak memenuhi standar aksesibilitas.[2] Selain itu, ketersediaan teknologi penunjang pun masih sangat minim. Dari 50 teknologi bantu difabel yang direkomendasikan oleh World Health Organization (WHO), hanya 7 teknologi yang dijamin oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).[3] Uraian tersebut menggambarkan bahwa gemerlap modernitas belum banyak menyentuh sendi-sendi kehidupan difabel. Oleh karenanya, percepatan digitalisasi inklusif sangat diperlukan dalam menyambut era society 5.0.
Upaya digitalisasi dalam kehidupan difabel sebenarnya telah dilakukan. Riset di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kabupaten Bima menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi seperti aplikasi arloopa dapat meningkatkan minat belajar siswa hingga 87,7%.[4] Studi yang dilakukan oleh Notonagoro juga memperlihatkan sebanyak 85% Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Mataram yang menggunakan tablet dalam keseharian telah mengalami peningkatan kemampuan akademik.[5] Studi lain menemukan fakta bahwa hasil survei SIGAB menyatakan frekuensi penggunaan e-commerce bagi konsumen difabel mencapai 50% setiap minggunya.[6] Studi-studi tersebut menegaskan bahwa digitalisasi telah meningkatkan kualitas hidup difabel. Akan tetapi, penulis melihat bahwa digitalisasi inklusif masih dilakukan secara terbatas dan terpusat di beberapa wilayah. Selain itu, upaya digitalisasi tersebut belum memaksimalkan potensi inderawi difabel. Sebagai gambaran, gerakan digitalisasi yang dilakukan belum mengoptimalkan potensi pendengaran pada tunanetra dan potensi penglihatan pada tunarungu. Oleh karena itu, tulisan ini akan menyajikan digitalisasi yang mampu diterapkan di seluruh aspek kehidupan dan dapat memaksimalkan potensi inderawi tersebut dengan keterjangkauan yang lebih luas.
Normalisasi bahasa isyarat menjadi langkah awal untuk memulai digitalisasi inklusif. Hal ini telah dicontohkan di dalam Al-Qur’an yang tersurat dalam QS. Al-Imran/3:41. Pada ayat tersebut, terdapat kata ar-ramz yang secara etimologi bermakna isyarat.[7] Mayoritas ulama tafsir menyebutkan bahwa ayat ini menceritakan kondisi Nabi Zakaria yang tidak mampu berbicara sehingga menggunakan bahasa isyarat sebagai media komunikasi dengan sekitarnya.[8] Di era modernisasi seperti sekarang ini, digitalisasi bahasa isyarat menjadi sesuatu yang mendesak sebagai solusi percepatan digitalisasi bagi difabel dalam menyambut era society 5.0.
Secara khusus, tulisan ini akan melakukan pemaknaan ulang terhadap terminologi ar-ramz dalam Al-Qur’an sebagai landasan teologis digitalisasi bahasa isyarat. Pemaknaan tersebut ditindaklanjuti dengan gerakan digitalisasi bahasa isyarat memanfaatkan teknologi Augmented Reality (AR) dan audiobooks. Studi yang dilakukan oleh penulis terbatas pada analisis digitalisasi untuk penyandang tunanetra dan tunarungu. Kajian ini ditujukan kepada pemerintah dan pakar teknologi terkait untuk menyempurnakan konsep yang ditawarkan. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi lintas keilmuan untuk mewujudkan kehidupan society 5.0 bagi difabel.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk menggambarkan proses digitalisasi bahasa isyarat (Ar-Ramz) pada pembelajaran maharah kalam bagi difabel dalam menyambut era Society 5.0. Subjek penelitian meliputi guru bahasa Arab di sekolah inklusif, siswa difabel (tunanetra dan tunarungu), serta pengembang teknologi Augmented Reality (AR) dan Audiobooks. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan dokumentasi materi pembelajaran berbasis teknologi. Analisis data dilakukan dengan cara mereduksi, menyajikan, dan menyimpulkan data secara deskriptif. Peneliti akan mengamati langsung proses penggunaan teknologi dalam pembelajaran bahasa Arab untuk difabel, serta menggali pengalaman dan pandangan para guru dan siswa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang komprehensif mengenai efektivitas digitalisasi dalam meningkatkan aksesibilitas dan pemahaman siswa difabel terhadap pembelajaran bahasa Arab, sekaligus mengidentifikasi tantangan yang dihadapi dalam penerapan teknologi untuk mendukung inklusivitas dalam dunia pendidikan di era Society 5.0. [8]
A. Difabel dan Era Society 5.0
Kehadiran teknologi dipandang mampu memberikan kemudahan bagi manusia dan menyelesaikan berbagai permasalahan sosial. Pandangan tersebut melahirkan konsep society 5.0 yang berusaha mengaplikasikan teknologi dalam kehidupan dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup manusia.[9] Konsep ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Yuko Harayama pada tahun 2019. Menurutnya, society 5.0 adalah visi masa depan yang mengintegrasikan teknologi canggih seperti big data, artificial intelligence, dan Internet of Things pada seluruh aspek kehidupan sosial dengan tujuan utama menyelesaikan berbagai tantangan manusia.[10] Konsep society 5.0 berfokus pada pembentukan masyarakat yang mampu menggunakan teknologi. Pembentukan tersebut diharapkan mampu memecahkan problematika sosial serta menghadirkan masa depan yang lebih adil dan inklusif bagi semua.[11] Dari paparan tersebut, dapat dipahami bahwa era society 5.0 adalah periode yang mengharuskan masyarakat untuk menempatkan teknologi sebagai solusi untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang bermuara pada kemudahan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Dalam era society 5.0, pemerataan akses terhadap teknologi canggih sangatlah penting. Hal ini untuk memastikan setiap orang dapat berpartisipasi penuh dalam aktivitas sosial dan merasakan manfaat dari kemajuan teknologi.[12] Era ini juga mensyaratkan integrasi teknologi yang lebih luas dan komplek dengan penggunaan data yang lebih efektif untuk meningkatkan mutu kehidupan.[13] Pemerataan dan integrasi teknologi tersebut tampaknya belum terlaksana dengan baik dalam kehidupan sosial difabel. Telah terjadi kesenjangan digital yang cukup jauh antara kelompok difabel dengan nondifabel. Data Susenas tahun 2020 memperlihatkan bahwa persentase kepemilikan gawai ataupun laptop di kalangan difabel hanya menyentuh angka 36,7%. Berbanding terbalik, persentase kepemilikan gawai pada kelompok nondifabel telah menyentuh angka 59,4% (Susenas, 2020). Senada dengan hal tersebut, penelitian Ishak Salim menemumukan bahwa hanya 40% difabel yang memiliki akses digital.[14] Fakta tersebut menggambarkan bahwa kelompok difabel masih menjadi “anak tiri” dalam upaya digitalisasi di Indonesia. Perangkat teknologi yang menjadi modal digitalisasi nyatanya belum mampu dijangkau oleh sebagian besar kelompok difabel. Oleh karenanya, pemerataan keterjangkauan perangkat teknologi sangat diperlukan sebagai modal menyambut society 5.0.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kecilnya angka keterjangkauan teknologi bagi difabel. Beberapa difabel memiliki pengalaman negatif dengan teknologi akibat kurangnya aksesibilitas. Pengalaman ini menjadikan mereka memandang teknologi sebagai sesuatu yang tidak penting.[15] Selain itu, sebagian besar difabel tumbuh di lingkungan dengan kesadaran literasi digital yang buruk.[16] Indeks literasi digital Indonesia menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pada 2021 masih berada pada angka 3,49. Angka tersebut memosisikan Indonesia dalam kategori sedang, dengan skor indeks 0 sampai 5.[17] Sementara itu, ekonom senior Indefaviliani menyebutkan persentase literasi digital di Indonesia baru menyentuh angka 62%. Jumlah ini jauh tertinggal dengan negara ASEAN lainnya yang rata-rata telah menyentuh angka 70%.[18] Sederet temuan tersebut memperlihatkan bahwa difabel berada pada iklim digital yang buruk, di mana kelompok masyarakat di sekitarnya belum memiliki kesiapan digital yang baik untuk menyambut society 5.0. Akibatnya, kemajuan teknologi belum diposisikan sebagai fasiltator yang memudahkan kehidupan. Menanggapi hal tersebut, perlu peningkatan pemahaman literasi digital pada masyarakat agar teknologi dapat dimanfaatkan dan ditempatkan sebagai solusi terhadap sebuah problematika sosial.
Pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang masih terbatas menjadi hambatan serius dalam memperluas digitalisasi inklusif di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), indeks pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Indonesia baru menyentuh angka 5,85 pada skala 1-10.[19] Angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Menurut IMD World Digital Competitiveness Ranking, Indonesia menempati peringkat 51 dari 64 negara berdasarkan indeks pembangunan teknologinya.[20] BPS juga merilis bahwa tingkat kesenjangan internet antar wilayah mengalami kenaikan signifikan, yang sebelumnya berada pada angka 65,87% pada tahun 2021 menjadi 67,88% pada tahun 2022. Sementara itu, laporan Speedtest Global Index memosisikan Indonesia pada peringkat 97 dari 147 negara berdasarkan kecepatan internetnya (Speedtest Global Index, 2024).[21] Tingkat penetrasi internet di tiap pulau di Indonesia pun memiliki perbedaan yang sangat mencolok, di mana Pulau Sulawesi menjadi wilayah dengan tingkat penetrasi internet paling rendah, yaitu 68,35%. Sementara itu, Pulau Jawa menjadi wilayah dengan penetrasi internet tertinggi dengan angka 83,64%.[22] Angka-angka tersebut memperlihatkan jika infrastruktur digital belum mampu menjangkau seluruh wilayah. Realitas tersebut telah memperlambat pemerataan digitalisasi di Indonesia.
Society 5.0 menuntut keberadaan iklim digital yang baik dan dapat dijangkau oleh seluruh kalangan. Realitas iklim digital di Indonesia memperlihatkan bahwa faktor pendukung digitalisasi masih belum memiliki kesiapan dalam menyambut era society 5.0. Terlebih untuk difabel, digitalisasi rasanya masih terlalu jauh untuk bisa dinikmati oleh mereka. Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu budaya digital yang baik dengan menormalisasi penggunaan teknologi bagi difabel. Normalisasi ini dimaksudkan untuk mempersiakan difabel dalam menyambut era society 5.0.
B . Reorientasi Terminologi Ar-Ramz sebagai Fondasi Digital Inklusif
Penyandang tunanetra dan tunarungu memiliki keterbatasan dalam melakukan interaksi dengan sekitarnya. Hambatan utama terletak pada pola komunikasi mereka yang tidak diketahui oleh banyak kalangan. Tunanetra dan tunarungu menggunakan isyarat sebagai alat komunikasi dengan dunia sekitarnya.[23] Isyarat sendiri dapat ditransformasikan melalui simbol visual dan simbol suara.[24] Ironinya, tidak semua orang memiliki pengetahuan yang cukup mengenai komunikasi non verbal tersebut. Kondisi ini dilatarbelakangi oleh anggapan bahwa bahasa isyarat merupakan pola komunikasi yang sulit.[25] Untuk merestorasi pandangan tersebut, reorientasi interaksi simbolik menjadi penting sebagai pijakan memulai digitalisasi inklusif.
Interaksi simbolik yang dianggap tabu hari ini telah diilustrasikan dengan baik oleh Al- Qur’an. Hal ini termuat dalam Q.S. Al-Imran/3:41
قَالَ رَبِّ اجْعَلْ لِّيْٓ اٰيَةً ۗ قَالَ اٰيَتُكَ اَلَّا تُكَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَةَ اَيَّامٍ اِلَّا رَمْزًا ۗ وَاذْكُرْ رَّبَّكَ كَثِيْرًا وَّسَبِّحْ بِالْعَشِيِّ وَالْاِبْكَارِ
Terjemahan: “Dia (Zakaria) berkata, “Wahai Tuhanku, berilah aku suatu tanda (kehamilan istriku).” Allah berfirman, “Tandanya bagimu adalah engkau tidak (dapat) berbicara dengan manusia selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak- banyaknya dan bertasbihlah pada waktu petang dan pagi hari.”
Ayat ini menceritakan mengenai keheranan Nabi Zakaria terhadap lahirnya seorang anak bernama Yahya. Keheranan tersebut didasarkan atas kondisi Nabi Zakaria yang telah tua dan istrinya yang mandul sehingga sudah tidak mungkin untuk mempunyai anak.[26] Permohonan Nabi Zakaria berupa permintaan suatu tanda jika istrinya telah mengandung dimaksudkan untuk menghilangkan keraguan di dalam hatinya bahwa kabar tersebut bukan berasal dari Allah.[27] Pendapat lain mengatakan jika permintaan tersebut didasari oleh keterkejutan terhadap kekuasaan Allah sehingga hatinya menjadi tidak tenang. Untuk menenangkan hatinya, Nabi Zakaria memohon kepada Allah agar memberikan suatu tanda kepadanya.
Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai jenis ketidakmampuan Nabi Zakaria dalam berbicara. Mayoritas ulama tafsir menyebutkan jika Nabi Zakaria telah dijadikan bisu dengan kekuasaan Allah. Asy-Syaukani berpendapat jika Allah telah benar-benar menjadikan Nabi Zakaria tidak dapat berbicara dengan manusia selama tiga hari. Hal ini menjadi salah satu mukjizat Allah karena saat itu Nabi Zakaria sedang dalam kondisi normal dan sehat.[28] Akan tetapi, kebisuan Nabi Zakaria tidak berlaku ketika berzikir kepada Allah, di mana beliau masih dapat menggunakan lisannya secara normal. Penafsiran senada juga dikemukakan oleh Sayid Qutub (1992), Wahbah Az- Zuhaili (2005), dan Quraish Shihab (2014). Ali Ash-Shabuni menerangkan jika telah terlihat jelas kesulitan yang bersifat samawi bahwa Allah telah mengunci lisan Nabi Zakaria untuk berbicara selain berzikir kepada-Nya. Hal ini adalah salah satu bentuk i’jaz, serta menjadi cara Allah memperlihatkan kecanggihan otoritas kekuasaan-Nya.[29] Sedangkan Buya Hamka menafsirkan ketidakmampuan Nabi Zakaria tersebut tidak terletak pada ketidakmampuan lisan, melainkan perintah untuk melakukan puasa dari berbicara dengan manusia selama tiga hari.[30]
Quraish Shihab beranggapan bahwa pendapat yang menyebutkan jika ayat ini hanya terbatas pada ketidakmauan untuk berbicara, tentu kondisi ini tidak dapat menjadi tanda yang jelas bagi Nabi Zakaria. Hal ini juga bertentangan dengan maksud ayat ini yang menuntut pembuktian terhadap hal yang berada di luar kebiasaan yang terjadi pada keluarga Nabi Zakaria.[31] Dengan demikian, pendapat yang mengatakan jika Allah telah menjadikan Nabi Zakaria bisu selama tiga hari dapat dibenarkan. Dari pemaparan tersebut, jelaslah bahwa kebisuan yang terjadi pada Nabi Zakaria merupakan salah satu bukti mukjizat Allah yang tidak disebabkan oleh penyakit ataupun keengganan untuk berbicara.
Ayat ini ditutup dengan perintah kepada Nabi Zakaria untuk bersyukur kepada Allah atas karunia yang diberikan kepadanya. Syukur tersebut diwujudkan dengan menyebut nama Allah sebanyak-banyaknya dan bertasbih dengan menyucikan nama-Nya di waktu pagi dan petang. Melalui perintah tersebut, Allah ingin memberi pesan bahwa dibalik kekurangan yang dialami oleh seseorang, bersyukur kepada-Nya tetap harus dilakukan. Hal ini dikarenakan kekurangan yang dialami oleh seseorang tidak lebih banyak apabila dibandingkan dengan seluruh nikmat yang telah Allah berikan. Fokus pembahasan ayat ini terletak pada terminologi ar-ramz yang mencerminkan interaksi simbolik. Interaksi simbolik adalah komunikasi yang menitikberatkan penggunaan simbol sebagai cara utama untuk berkomunikasi dan membentuk makna dalam kehidupan sosial.[32] Konsep ini pertama kali dikembangkan oleh George Herbert Mead pada tahun 1927.[33] Konsep yang dikembangkan oleh Mead tersebut nyatanya telah sejak lama disiratkan oleh Al-Qur’an melalui ayat ini. Ketika tidak dapat berbicara, Nabi Zakaria berkomunikasi melalui isyarat (ar-ramz). Secara umum, kata ar-ramz diartikan sebagai isyarat yang mengarah pada gerakan tubuh.[34] Az-Zuhaili menafsirkan kata ar-ramz sebagai isyarat dengan seluruh anggota badan, seperti tangan dan kepala. Menurut Asy-Syaukani, ar-ramz adalah isyarat bibir, mata, alis, ataupun tangan (asy-Syaukani, 1994). Sedangkan Ath-Thabari berpendapat bahwa isyarat dalam ayat ini dapat diartikan dengan dua hal, yaitu gerakan bibir dan bahasa tubuh. Fakhru Ar-Razi menerangkan jika kata ar-ramz pada ayat ini adalah isyarat dengan tangan, kepala, alis, mata, dan bibir.[35] Dari uraian tersebut, dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa interaksi simbolik merujuk kepada penggunaan anggota tubuh sebagai media berkomunikasi. Pola komunikasi semacam ini telah sejak lama dijadikan solusi interaksi oleh Al-Qur’an bagi mereka yang memiliki kekurangan.
Gerakan digitalisasi inklusif perlu dimulai dengan menormalisasi komunikasi non verbal saat berinteraksi dengan difabel. Selama ini, isyarat dipandang sebagai pola komunikasi yang tidak mampu untuk menyampaikan pesan secara jelas.[36] Padahal, interaksi simbolik yang dilakukan oleh Nabi Zakaria kepada kaumnya menjadi cerminan jika komunikasi non verbal mampu memberikan kemudahan, baik pada difabel maupun lawan bicaranya. Sejalan dengan hal tersebut, Nabi Muhammad pun telah banyak melakukan komunikasi non verbal ketika berkomunikasi. Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad pernah bertanya kepada seorang wanita mengenai keberadaan Allah. Wanita tersebut lantas memberikan isyarat ke langit dengan kepalanya. Nabi Muhammad kemudian bersabda “Bebaskanlah dia karena dia adalah seorang mukminah” Hal ini sejalan dengan pendapat para ahli komunikasi bahwa komunikasi non verbal dapat dijadikan media penyampaian informasi serta terbukti mampu memahamkan lawan bicara. Dari paparan tersebut, interaksi simbolik memiliki kedudukan yang sama dengan interaksi lisan. Oleh karenanya, penggunaan pola komunikasi simbolik secara luas menjadi syarat mutlak untuk memulai digitalisasi inklusif.
Dalam era society 5.0, interaksi simbolik yang telah dilakukan oleh Nabi Zakaria menjadi landasan dalam pengembangan bahasa isyarat yang menyesuaikan perkembangan teknologi. Pada era teknologi, penggunaan interaksi simbolik seharusnya tidak lagi berupa gerakan tubuh. Lebih jauh, pola komunikasi tersebut saat ini perlu disandingkan dengan teknologi. Peralihan dari interaksi simbolik berbasis gerak tubuh menuju interaksi simbolik berbasis digital sudah menjadi sebuah keharusan. Terobosan ini sekaligus akan menciptakan budaya digital yang baik bagi difabel.
C . Menguak Potensi Teknologi dalam Mendigitalisasi Bahasa Isyarat
Realitas yang meminggirkan keberadaan bahasa isyarat telah menyulitkan difabel dalam berkomunikasi. Akibatnya, berbagai informasi tidak dapat diterima dengan baik. Kenyataan ini melahirkan ketimpangan sosial yang merata di seluruh aspek kehidupan difabel.[37] Oleh karena itu, society 5.0 menjadi momentum yang tepat untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana yang mempermudah komunikasi simbolik antara difabel dengan lingkungannya.
Spirit mengenai pemanfaatan teknologi untuk memudahkan kehidupan manusia telah termuat di dalam Al-Qur’an. Hal ini bersumber dari QS. Al-Baqarah/2:185
يُرِيْدُ اللّٰهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Terjemahan: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran”
Ayat ini menerangkan bahwa kemudahan menjadi maksud dan kehendak utama Allah dalam semua perkara. Tidak ada satupun ketetapan yang telah Allah tetapkan melainkan memberikan kemudahan kepada manusia. Ayat ini sejalan dengan Q.S. Al-Hajj/22:78 yang artinya Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan Begitupun dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad memerintahkan untuk selalu memberi kemudahan. Perintah tersebut tertuang dalam salah satu hadits yang artinya permudahlah dan jangan mempersulit.[38] Sayyid Qutub menafsirkan bahwa kemudahan pada ayat ini dimaksudkan agar manusia senantiasa merasakan rahmat dan kasih sayang Allah terhadap dirinya. Dengan demikian, Al-Qur’an dan hadits pun menghendaki agar terwujud kemudahan bagi kehidupan manusia. Era society 5.0 merupakan salah satu cara untuk memberikan kemudahan bagi difabel yang ditransformasikan dengan digitalisasi bahasa isyarat melalui pemanfaatan teknologi yang tepat.
Gerakan digitalisasi bahasa isyarat perlu diawali dengan kajian mendalam mengenai keadaan fisik difabel. Hal ini dimaksudkan agar penggunaan teknologi dapat tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan. Setiap jenis difabel memiliki potensi inderawi yang berbeda. Seorang tunanetra memiliki kemampuan mendengar yang lebih baik apabila dibandingkan dengan orang normal. Penelitian menunjukkan korteks pendengaran tunanetra mampu menangkap perbedaan kecil pada frekuensi suara. Begitupun dengan penyandang tunarungu, mereka memiliki kemampuan penglihatan yang lebih baik dikarenakan retina mereka yang mampu memberikan citra penglihatan yang lebih tajam.[39] Berdasarkan temuan di atas, gerakan digitalisasi inklusif perlu memanfaatkan teknologi yang mampu mengoptimalkan potensi inderawi tersebut.[40]
Teknologi yang memaksimalkan organ inderawi telah banyak dimanfaatkan dalam kehidupan manusia. Dalam hal ini, Augmented Reality (AR) dan audiobooks menjadi teknologi yang paling banyak digunakan. Tercatat AR telah digunakan oleh 3 miliar orang normal di tahun 2022. Begitupun dengan audiobooks yang telah menyentuh angka 569 juta pendengar di tahun yang sama. Tingginya penggunaan kedua teknologi tersebut sejalan dengan berbagai kemudahan yang disajkan. AR mampu memberikan pengalaman yang lebih interaktif dengan lingkungan sekitar melalui pencitraan gambar. Sedangkan audiobooks dapat membantu pengguna untuk memahami informasi secara fleksibel dalam berbagai situasi melalui fitur suara. Demgan demikian, teknologi tersebut telah banyak digunakan oleh masyarakat luas.
AR dan audiobooks memiliki perbedaan cara kerja yang signifikan. AR bekerja dengan menggabungkan lingkungan yang nyata dan objek virtual memanfatkan indera penglihatan penggunanya. AR akan melakukan pengenalan terhadap lingkungan sekitar oleh perangkat lunak yang kemudian divisualisasikan dengan objek virtual. Sementara itu, audiobooks memanfaatkan suara sebagai fitur utama dalam menghadirkan interaksi dengan penggunanya. Cara kerja audiobooks serupa dengan podcast di aplikasi-aplikasi musik seperti spotify. Bedanya adalah audioboks terfokus pada penceritaan kembali isi dari sebuah buku. Seorang narator akan merekam isi buku secara ekspresif dan jelas agar pengguna dapat memahami secara utuh substansi dari sebuah informasi.[41] Tingginya kebermanfaatan AR dan audiobooks ternyata belum dimanfaatkan untuk memudahkan kehidupan difabel. Padahal, kedua teknologi tersebut potensial untuk dipergunakan untuk meningkatkan aksesibilitas dengan mengoptimalkan potensi inderawi penggunanya. AR akan memberikankemudahanbagipenyandangtunarung melalui pencitraan simbol gambar memanfaatkan kemampuan melihatnya yang baik. Sedangkan audiobook akan memudahkan penyandang tunanetra melalui simbol suara dengan mengoptimalkan indera pendengarannya yang tajam. Akan tetapi, pemanfaatan keduanya belum dikenal luas sebagai fasilitator peningkatan aksesibilitas. Untuk menjawab tantangan tersebut, perlu pembiasaan penggunaan teknologi tersebut secara massal disertai dengan sosialisasi yang baik kepada masyarakat agar keduanya dapat difungsikan secara optimal.
Integrasi teknologi di era society 5.0 sangat mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan. Society 5.0 bertujuan untuk memastikan setiap orang memiliki akses digital yang baik dan setara. Hal serupa juga berlaku bagi difabel, di mana mereka memiliki hak digital yang sama dengan manusia pada umumnya. Oleh karena itu, digitalisasi inklusif perlu mejadi budaya di tengah-tengah masyarakat demi mewujudkan society 5.0 yang berkeadilan.
D. Membudayakan Digitalisasi Inklusif Menuju Society 5.0
Digitalisasi inklusif yang belum membudaya didasari oleh stereotip masyarakat yang selalu memosisikan difabel sebagai beban modernisasi.[42] Difabel dipandang tidak mampu untuk mengoperasikan sebuah teknologi, sehingga aksesibilitas digital selalu dinomor duakan. Padahal, digitalisasi seharusnya dilakukan dengan tidak lagi tebang pilih. Anggapan difabel bukanlah kelompok produktif tidak menjadi landasan untuk mengesampingkan gerakan digitalisasi inkusif.
Hal ini sejalan dengan Q.S. Al-Maidah/5:8
وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْا ۗاِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ
Terjemahan: “Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorongmu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil, karena itu lebih dekat pada takwa.”
Asy-Syaukani menerangkan bahwa pada saat Nabi Muhammad sedang berada di perjalanan, terdapat seorang Badui yang berusaha melakukan percobaan pembunuhan kepadanya. Ketika Nabi Muhammad mengetahuinya, beliau justru melepaskannya dan tidak menghukumnya. Sayyid Qutub menerangkan bahwa menegakkan keadilan meskipun di dalam hati terdapat perasaan tidak suka terhadap sesuatu merupakan puncak akhlak tertinggi yang sangat sulit dicapai oleh jiwa. Ayat ini menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat bahwa berlaku tidak adil dengan mengenyampingkan digitalisasi inklusif bukanlah sesuatu yang dibenarkan. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat berkewajiban untuk menyetarakan akses digitalisasi bagi difabel.
Berbagai usaha telah dilakukan untuk menghadirkan aksesibilitas digital, mulai dari kehadiran Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2019 yang berisi aksesibilitas teknologi bagi difabel hingga Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD). Akan tetapi, usaha tersebut masih belum memiliki solusi yang dapat diterapkan untuka membudayakan digitalisasi inklusif di tengah masyarakat. Untuk menjawab problematika tersebut, penulis memberikan gagasan penggunaan teknologi yang mampu mendigitalisasi bahasa isyarat dan dapat digunakan dalam kegiatan sehari- hari. Dalam hal ini, digitalisasi bahasa isyarat menggunakan teknologi AR dan audiobooks menjadi
solusi yang penulis tawarkan. Penggunaan keduanya menitikberatkan interaksi simbolik berupa simbol visual dan suara untuk mengefisiensikan komunikasi.[43]
Digitalisasi inklusif menggunakan teknologi tersebut khususnya AR memerlukan biaya yang tinggi dan kesiapan infrastruktur digital yang baik. Untuk menyiasati hal tersebut, penggunaan aplikasi android berbasis AR yang mudah dijangkau, seperti Assemblr EDU dapat menjadi solusi. Melalui aplikasi tersebut, seseorang dapat merancang simbol visual dan suara sesuai dengan yang keinginan. Aplikasi tersebut memiliki konsep yang sama dengan AR dan audiobooks yang berusaha mentransformasikan informasi dalam bentuk simbol visual dan suara. Dengan aplikasi tersebut, seseorang akan dapat berkomunikasi dan menyampaikan informasi kepada difabel dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi. Aplikasi semacam Asembler EDU juga akan membiasakan komunikasi simbolik difabel dengan sekitarnya. Oleh karenanya, normalisasi penggunaan aplikasi berbasis AR dan audiobooks memanfaatkan aplikasi mobile yang mudah dijangkau perlu untuk disuarakan.
Dalam jangka panjang, diperlukan pengembangan lebih lanjut untuk meningkatkan fungsi AR dan audiobooks. Untuk meningkatkan kemandirian kelompok difabel, AR perlu dikembangkan dengan berbasis kecerdasan buatan. Kecerdasan buatan telah banyak diadopsi pada era industri 5.0 untuk memudahkan komunikasi, menemukan lokasi, dan mengurangi human eror.[44] Dengan kecerdasan buatan, AR akan menjelaskan suatu informasi secara otomatis melalui simbol visual dan suara. Lebih jauh, inovasi ini dapat difungsikan sebagai alat navigasi bagi penyandang tunanetra, di mana AR akan memberikan informasi mengenai hambatan pada medan yang akan dilalui oleh penggunanya. Pegembangan ini akan mampu melahirkan kemandirian difabel sekaligus meningkatkan produktivitas mereka. Hal ini tentu akan menjadi terobosan terbaik dalam meningkatkan kemampuan maharah kalam penyandang difabel. Denganvisualisasi gambar, mereka akan terbantu dalam mengekspresikan perkataan mereka dengan berbahasa Arab. Hal ini akan dapat mempermudah pemahaman mereka dalam berbicara menggunakan Bahasa Arab.
Pengembangan audiobooks sendiri hanya perlu sedikit fitur tambahan sebagai penyempurnaan. Penggunaan audiobooks saat ini telah banyak membantu penyandang tunanetra dengan memberikan informasi melalui suara. Akan tetapi, keberadaan audiobooks tidak dapat difungsikan oleh penyandang tunarungu, dikarenakan ketidakmampuan mereka untuk mendengar. Oleh karena itu, pengembangan audiobooks perlu dilakukan dengan menyertakan bahasa isyarat dalam cetakan audiobooks. Penambahan ini semata-mata bertujuan agar keberadaan audiobooks dapat memudahkan dua jenis difabel sekaligus sehingga meningkatkan efisiensi teknologi. Hal ini sekaligus akan mejadi angin segar bagi ketersediaan media informasi cetak bagi penyandang tunarungu. Hal ini dikarenakan ketersediaan media informasi dengan tambahan bahasa isyarat saat ini masih sangat jarang ditemukan.
Konsep yang ditawarkan ini tidak akan berjalan dengan optimal jika belum tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. Dengan partisipasi dan kesadaran masyarakat, digitalisasi inklusif dapat menjadi lebih efektif dalam meningkatkan kualitas hidup difabel. Masyarakat juga akan turut serta mempromosikan kesetaraan dalam akses dan partisipasi digital.[45] Oleh karena itu, perlu sosialisasi dan pembiasaan digitalisasi inklusif secara luas kepada msyarakat. Sosialisasi dilakukan melalui kampanye publik, seminar, dan workshop yang memperkenalkan transformasi teknologi AR dan audiobooks sebagai fasilitator komunikasi dengan difabel. Pembiasaan ini harus dibarengi dengan pemahaman teknologi yang baik. Pemerintah berkewajiban untuk memberikan pelatihan dan edukasi digital kepada difabel dan masyarakat. Dengan kedua langkah tersebut, budaya digital inklusif akan menjadi bagian dalam tatatan kehidupan sosial.
Kehadiran gerakan digitalisasi bahasa isyarat difabel menjadi hal mendesak sebagai jawaban terhadap tantangan society 5.0. digitalisasi tersebut akan menghadirkan warna baru dalam sendi-sendi kehidupan difabel sekaligus menciptakan society 5.0 yang inklusif. Dengan terobosan tersebut, digitalisasi inklusif akan menjadi budaya digital baru dalam masyarakat. Budaya tersebut akan menghapus ketimpangan akses digital yang selama ini dirasakan oleh difabel.
Bahasa isyarat yang menjadi kebutuhan pokok kelompok difabel hari ini telah tergerus oleh perkembangan teknologi. Bahasa isyarat dipandang tidak mampu untuk mengejar laju modernitas yang semakin pesat. Hal ini dilatarbelakangi oleh akses terhadap penggunaan teknologi yang masih rendah, tingkat literasi digital penyandang difabel yang buruk, hingga tidak meratanya infrastruktur digital. Padahal, bahasa isyarat sangat potensial untuk menyesuaikan dengan perkembangan digital apabila ditransformasikan dengan teknologi yang tepat.
Untuk menjawab problematika tersebut, perlu upaya konkret dalam menghadirkan digitalisasi inklusif. Penerapan teknologi pada sendi-sendi kehidupan difabel harus dimulai dengan gerakan digitalisasi bahasa isyarat secara massal. Digitalisasi ini memanfaatkan teknologi AR dan audiobooks yang dianggap paling ideal untuk digunakan bagi difabel. Hal ini dikarenakan keduanya berusaha mengoptimalkan potensi inderawi pemakainya. Normalisasi teknologi tersebut bertujuan untuk menghadirkan simbol visual dan suara yang dapat dipahami oleh difabel dan lawan bicaranya secara digital. Selain itu, penggunaan keduanya juga akan menjadi sarana yang mampu meningkatkan produktivitas dan kemandirian difabel. Pembiasaan ini perlu dibarengi dengan sosialisasi dan penguatan pemahaman digital kepada masyarakat. Dengan sosialisasi dan pemahaman digital yang baik, masyarakat akan mampu menerima gerakan digitalisasi inkusif dan mengintegrasikan teknologi dalam kehidupan. Digitalisasi inklusif yang disuarakan secara terstruktur akan menjadi modal penting dalam menyambut wajah society 5.0 yang inklusif.
Tulisan ini terbatas pada analisis pengembangan teknologi untuk penyandang tunanetra dan tunarungu. Pemaknaan terminologi ar-ramz dalam Al-Qur’an telah melahirkan solusi peningkatan aksesibilitas dengan mengoptimalkan potensi inderawi pada difabel memanfaatkan bantuan teknologi. Penelitian lanjutan memungkinkan adanya penambahan alternatif solusi dalam menghadirkan digitalisasi yang inklusif bagi difabel dengan melibatkan seluruh pemangku kebijakan. Oleh karena itu, studi lebih lanjut sangat diperlukan untuk melahirkan solusi yang bervariatif sebagai langkah penyempurnaan gerakan digitalisasi inklusif.
Ucapan Terima Kasih
Dengan penuh rasa hormat dan tulus, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh keluarga besar Sekolah Luar Biasa (SLB) di Kabupaten Sidoarjo yang telah menjadi bagian penting dalam memperkaya kajian ini. Semangat dan dedikasi dalam mendampingi para siswa difabel menjadi inspirasi besar dalam merangkai ide dan gagasan digitalisasi inklusif ini. Terimakasih juga kepada Para narasumber difabel yang telah berkenan berbagi pengalaman dan pandangan luar biasa. Cerita dan perjuangan kalian membuka mata kami akan pentingnya akses teknologi yang setara dan ramah bagi semua kalangan, terutama dalam mewujudkan era society 5.0 yang inklusif. Terakhir, kepada Sanggar Belajar Rumah Kasih Sayang di Kota Bontang yang telah menjadi ruang belajar penuh cinta bagi anak-anak difabel. Keberadaan sanggar ini menjadi bukti nyata bahwa pendidikan dan akses informasi yang layak adalah hak semua orang tanpa terkecuali. Semoga setiap langkah kecil yang kita lakukan bersama bisa menjadi bagian dari perubahan besar menuju kehidupan yang lebih adil, inklusif, dan berkeadilan digital bagi semua.
[1] R. Almos, “Penggunaan Bahasa Isyarat Indonesia Pada Orang Tuli dalam Budaya Minangkabau,” Jurnal Elektronik WACANA Etn., vol. 10, no. 1, p. 68, 2021.
[2] “Accessibility in Mobile Applications: A Study on Compliance with Accessibility Standards,” J. Access. Found., vol. 2, p. 120, 2020.
[3] Suharto, “Keterbatasan Inklusi bagi Kaum Difabel Akibatkan Kerugian Ekonomi hingga 7% per Tahun,” 2023.
[4] F. Marwahdiyanti, “Analisis Pemanfaatan Aplikasi Berbasis Augmented Reality untuk Anak Berkebutuhan Khusus,” Konferensi Nasional Ilmu Komputer, p. 213, 2021.
[5] N. S. Gusti, “Implementasi Pendidikan Inklusi dalam Setting Sekolah Menengah Atas,” J. Kependidikan, p. 9, 2021.
[6] G. Martanti, “Perlindungan Konsumen bagi Penyandang Disabilitas pada Perdagangan Online,” J. USM Law Rev., vol. 6, no. 1, p. 254, 2023.
[7] A.-R. Al-Ashfahani, Al-Mufrodat fii Gharibil Qur’an. Mesir: Al-Maktabah At-Taufikiyah, 2003.
[8] —
[9] L. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2017.
[10] —
[11] N. M. Althabhawi, “Society 5.0: A New Challenge to Legal Norms,” Sriwijaya Law Rev., p. 40, 2021.
[12] M. Fukuyama, Society 5.0: Aiming for a New Human-Centered Society. Japan Spotlight, 2018.
[13] Japan Spotlight, 2018.
[14] N. J. Harahap, “The Education in Era Society 5.0,” J. Eduscience, p. 12, 2023.
[15] S. D. Poerwanti, “Jalan Panjang Menuju Inklusi Digital Penyandang Disabilitas,” J. Urban Sociol., vol. 7, no. 1, p. 5, 2024.
[16] A. Fricticarani, “Strategi Pendidikan untuk Sukses di Era Teknologi 5.0,” J. Inov. Pendidik. Teknol. Inf., p. 26, 2023.
[17] I. Salim, “Warga Difabel Gunakan Teknologi Digital untuk Bertahan,” Jakarta: Detiknews, 2021.
[18] F. S. Pramashela, “Aksesibilitas Pelayanan Publik Penyandang Disabilitas,” J. Pekerjaan Sosial, 2021.
[19] T. Alawiyah, “Penerimaan Informasi melalui Digital Talking Book oleh Siswa Tunanetra,” J. Teknodik, p. 23, 2017.
[20] B. W. Pudjianto, Status Literasi Digital Indonesia 2021. Jakarta: Kominfo, 2021.
[21] Indefaviliani, “Paling Rendah di ASEAN, Literasi Digital RI 62%,” 2023.
[22] BPS, “Indeks Pembangunan TIK 2022,” 2024.
[23] IMD, “World Digital Competitiveness Ranking.”
[24] Speedtest Global Index, “Mobile Internet Rankings,” 2024.
[25] A. Ahdiat, “Penetrasi Internet di Indonesia Berdasarkan Pulau,” 2024.
[26] A. Alimuddin, Efektivitas Komunikasi Non Verbal Anak Tunarungu, Makassar: Al-Qhisti, 2019.
[27] M. Wang, “Are Schematic Diagrams Valid Visual Representations of Concepts?” Language and Cognition, 2024.
[28] O. Mailani, “Bahasa sebagai Alat Komunikasi,” KAMPRET J., p. 24, 2022.
[29] Az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, Jilid 2. Damaskus: Darul Fikri, 2005.
[30] M. b. Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an. Beirut: Dar Al-Fikr, 1995.
[31] Asy-Syaukani, Fathul Qadir, Jilid 1. Beirut: Ar-Risalah Al-Alamiyyah, 1994.
[32] M. A. Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, Jilid 1. Beirut: Dar Al-Qur’an, 1981.
[33] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 2. Jakarta: Pustaka Nasional, 1989.
[34] Q. Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid 2. Jakarta, 2014.
[35] Reynolds, Handbook of Symbolic Interactionism. AltaMira Press, 2003.
[36] M. Islakhudin, “Analisis Kelayakan Buku Teks Bahasa Arab MTs,” Sc. Syeikhnurjati, pp. 1–21, 2019.
[37] A.-R. Al-Ashfahani, Al-Mufrodat fii Gharibil Qur’an, 2003.
[38] F. Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, Beirut: Dar Al-Fikr, 1981.
[39] A. Pratiwi, “Penggunaan SIBI pada Siswa Tunarungu,” J. Ilm. Mhs. FISIP, p. 13, 2019.
[40] N. A. M. Amin, “Urgensi Bahasa Isyarat dalam Pendidikan Formal,” J. Sos., vol. 1, no. 9, p. 80, 2022.
[41] M. b. Al-Hajjaj, Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya al-Turats, 2010.
[42] F. Nofiaturrahmah, “Problematika Anak Tunarungu,” Quality, p. 12, 2018.