Mira Mawaddah (1), Mahardika Darmawan Kusuma Wardana (2)
General Background: Understanding integer operations is a fundamental mathematical skill for elementary students. Specific Background: Many students continue to experience errors and misconceptions when completing integer addition and subtraction tasks. Knowledge Gap: Previous studies have discussed misconceptions broadly, but specific patterns of errors in classroom contexts remain underexplored. Aims: This study aims to identify and analyze students’ misconceptions in solving integer operation problems. Results: The findings show that students commonly misunderstand the role of zero, misapply rules for negative numbers, and rely on inconsistent informal strategies. Several error patterns consistently appear, indicating limited conceptual understanding. Novelty: This study provides detailed classifications of misconception types based on actual student work, offering clearer insight into their reasoning patterns. Implications: The results suggest the need for instructional strategies that target conceptual clarity and provide structured support for students’ understanding of integer relationships.
Highlights:
Misconception patterns identified
Misunderstanding of zero and negative numbers
Classroom-based error analysis
Keywords: Integer Operations, Misconception, Elementary Students, Mathematics Learning, Error Analysis
Bilangan bulat merupakan salah satu jenis bilangan selain bilangan desimal dan bilangan pecahan. Bilangan bulat menjadi dasar dalam setiap pembelajaran matematika karena mencakup berbagai bilangan lainnya. Menurut Suganda Bilangan bulat diturunkan ke beberapa bilangan seperti, bilangan prima, bilangan ganjil, bilangan genap, bilangan asli, bilangan negatif, dan bilangan positif, bilangan cacah, dan bilangan nol (0). Bilangan-bilangan yang disebutkan tersebut merupakan bagian-bagian bilangan bulat [1].
Bilangan nol, adalah bilangan bulat yang anggotanya berupa nol (0). Anggota bilangan nol adalah (0) [2]. Bilangan nol (zero) sebagai lambang tiadanya sesuatu, kekosongan atau ketiadaan (nothing) dalam matematika menghasilkan dua konsep yang berbeda. Zero dan nothing sesungguhnya berbeda [3]. Nol merupakan bilangan unik karena melambangkan konsep ketiadaan, dan merupakan satu-satunya bilangan yang tidak positif maupun negatif. Namun, yang terjadi di sekolah peserta didik kesulitan menentukan nol sebagai bilangan positif atau negatif [4]. Beberapa siswa mungkin menganggap bahwa nol adalah bilangan positif karena tidak memiliki tanda negatif. Hal tersebut merupakan kesalahan pemahaman yaitu terjadi miskonsepsi dalam pendefisian bilangan nol (0).
Menurut Suparno miskonsepsi merupakan suatu gagasan atau konsep yang berbeda dengan pemahaman yang dianut oleh para ahli [5]. Miskonsepsi adalah kesalahpahaman dalam memahami suatu materi yang di terima oleh peserta didik baik dari guru, dosen, media cetak, ataupun media elektronik yang mengakibatkan pemahaman dari materi yang diterima menjadi berbeda dengan kesepakatan para ahli. miskonsepsi mungkin bermanifestasi sebagai kesalahan konseptual awal, kekeliruan hubungan antar konsep, atau sudut pandang yang salah [6]. Miskonsepsi terjadi ketika siswa melakukan kesalahan berulang kali dan setelah diperiksa lebih dekat, mereka menemukan bahwa mereka memiliki miskonsepsi dalam memahami, menafsirkan, dan menerapkan suatu konsep [7]. Miskonsepsi adalah salah paham terhadap suatu ilmu secara langsung atau salah memujinya secara tidak langsung. Kesalahpahaman dapat diartikan sebagai pengetahuan yang menghalangi untuk mempelajari kebenaran ilmiah dan juga diperoleh seseorang melalui pengalaman individu. Miskonsepsi adalah konsep atau konsepsi yang salah yang dianggap benar oleh seseorang dan dijadikan sebagai kebiasaan. Kesalahpahaman memiliki sifat karakteristik yang berbeda dan berbeda dengan kesalahan acak. Orang tersebut dapat menyadari kesalahannya dan memperbaikinya dengan sedikit peringatan. Namun pertama-tama, orang yang memiliki miskonsepsi tertentu cenderung membela diri ketika diperingatkan [8].
Miskonsepsi menghambat kemampuan siswa untuk melanjutkan ke tingkat proses pembelajaran berikutnya dengan membuat siswa kesulitan menerima pengetahuan baru yang mereka temukan di dalam diri mereka karena satu saja kesalahpahaman terhadap suatu konsep dasar dapat mendorong peserta didik untuk melakukan kesalahan berulang-ulang. Sehingga jika diawal sudah terjadi miskonsepsi maka selanjutnya akan terus terjadi lagi. Kesalahpahaman siswa menjadi semakin rumit dan konsisten ketika pembelajaran tidak memperhitungkan pengetahuan awal [9].
Miskonsepsi ini mungkin saja muncul ketika mempelajari matematika, khususnya ketika mempelajari bilangan bulat. Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi sebuah masalah sangat serius jika tidak segera untuk diperbaiki. Ditemukan adanya kesulitan siswa dalam menganggap nol sebagai bilangan genap telah banyak dilaporkan dalam literatur. Temuan ini menunjukkan kecenderungan untuk mengklaim bahwa “nol bukanlah apa-apa” [10]. Selanjutnya, Gliksman, menyebutkan bahwa siswa cenderung berpendapat bahwa “nol itu istimewa, tidak genap dan tidak ganjil” atau “nol itu netral, tidak genap, tidak ganjil” [11]. Pada penelitian lainnya terkait miskonsepsi pada materi bilangan bulat. Salah satu miskonsepsi yang terjadi yaitu, miskonsepsi dalam mendefinisikan nol (0) [12]. Hal semacam ini perlu diatasi, karena dapat mempengaruhi pemahaman dan kemampuan matematika siswa di masa depan.
Miskonsepsi terkait bilangan nol dapat menghambat kemampuan siswa dalam merumuskan dan menyelesaikan masalah matematika dengan benar. Sehingga siswa akan melakukan kesalahan dalam konteks nyata. Konsep bilangan nol relevan dalam situasi kehidupan nyata seperti dalam pengukuran, analisis data, dan lain-lain. Kesalahan dalam memahami bilangan nol dapat menghasilkan interpretasi yang salah dan dampak yang merugikan bagi siswa. Oleh karena itu perlu adanya perbaikan pengajaran mengenai bilangan bulat sehingga tidak terjadi miskonsepsi pemahaman pada siswa sekolah dasar.
Penelitian mengenai miskonsepsi bilangan nol pada bilangan bulat memiliki relevansi yang penting dalam konteks pendidikan matematika. Miskonsepsi atau pemahaman yang salah terhadap konsep bilangan nol pada bilangan bulat dapat memberikan dampak negatif yang cukup signifikan terhadap pemahaman lebih lanjut dalam matematika, serta pada kemampuan pemecahan masalah di berbagai bidang.
Ada beberapa alasan yang mendasari mengapa penelitian mengenai miskonsepsi bilangan nol pada bilangan bulat penting. Alasan yang pertama yaitu sebagai pemahaman konsep bagi siswa khususnya siswa di tingkat sekolah dasar Miskonsepsi pada konsep ini dapat merembet ke berbagai topik matematika lainnya dan mengganggu pemahaman yang lebih kompleks sehingga menyebabkan kesalahan berkelanjutan. Seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Wibowo dimana siswa salah memahami operasi pengurangan menggunakan angka nol, dimana siswa tersebut menjelaskan bahwa “Saya pikir 0 – 5 = tidak bisa, karena 0 itu kan tidak ada pak, terus dikurangi dengan 5, mau pinjam depannya juga sama 0, jadi ya jawabannya 5 pak. Terus 0 – 2 = 2, dan 5 – 1 = 4. Hal ini dikarenakan siswa yang belum sepenuhnya memahami konsep dalam pengurangan dan bilangan nol sendiri [13].
Dalam penelitian ini, tujuan utama dilakukannya penelitian adalah untuk menyelidiki dan menganalisis miskonsepsi tentang pendefinisian nol yang terjadi pada siswa SD dalam pembelajaran matematika, dengan fokus pada materi bilangan bulat. Penelitian ini bertujuan untuk membantu mengembangkan pemahaman siswa tentang konsep bilangan bulat. Dengan memahami miskonsepsi ini, para pengajar dan pendidik dapat lebih baik dalam melakukan pembelajaran sehingga tidak terjadi miskonsepsi kepada siswa serta dapat membantu siswa mengatasi kesalahpahaman mereka.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif studi kasus. Studi kasus dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam suatu fenomena, yaitu miskonsepsi siswa tentang bilangan nol. Studi kasus memungkinkan peneliti untuk memahami permasalahan, kesulitan, dan hambatan yang dialami oleh siswa dalam memahami konsep bilangan nol. Penelitian studi kasus berbasis pada pemahaman dan perilaku manusia berdasarkan pada opini manusia, serta memberikan gambaran mendalam tentang fenomena yang terjadi dalam konteks kehidupan individu. Penelitian kualitatif menggunakan analisis yang melibatkan pengumpulan data bersifat non-angka seperti tes soal, wawancara, dan dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti tidak akan merubah keadaan kelas baik dari model pembelajaran, metode pembelajaran, maupun pendekatan yang digunakan oleh guru.
Subjek penelitian ini adalah siswa kelas V di Sekolah Dasar Negeri Lemah Putro 3, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pemilihan kelas V sebagai subjek penelitian didasarkan pada fakta bahwa materi bilangan bulat, termasuk bilangan nol, diajarkan pada tingkat ini. Penelitian melibatkan 18 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yakni menggunakan tes soal, wawancara dan dokumentasi. Tes soal dirancang untuk mengidentifikasi miskonsepsi siswa tentang bilangan nol, dengan soal-soal yang mengungkap pemahaman siswa terkait definisi, sifat, dan operasi bilangan nol. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan siswa yang menunjukkan miskonsepsi berdasarkan hasil tes, dengan tujuan menggali lebih dalam pemikiran siswa dan memahami alasan di balik jawaban yang keliru. Dokumentasi dilakukan dengan mengumpulkan lembar jawaban hasil tes siswa untuk memperkuat analisis data. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar tes tulis, pedoman wawancara, dan dokumen visual. Lembar tes objektif digunakan untuk mengidentifikasi miskonsepsi yang terjadi pada siswa. Pedoman wawancara berisi panduan pertanyaan terbuka yang membantu peneliti dalam melakukan wawancara mendalam dengan siswa. Dokumentasi digunakan sebagai bukti pendukung untuk melengkapi hasil penelitian.
Penelitian ini menggunakan model analisis dari Miles dan Huberman, yang mencakup tiga tahap utama: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pada tahap reduksi data, peneliti memilah dan menyederhanakan informasi yang relevan dengan fokus penelitian. Selanjutnya, data yang telah direduksi disajikan dalam bentuk visual seperti tabel atau diagram, atau dalam bentuk narasi deskriptif untuk mempermudah pemahaman dan interpretasi. Tahap akhir adalah penarikan kesimpulan, di mana peneliti mengidentifikasi pola atau tema yang muncul dari data untuk menghasilkan temuan penelitian. Dalam proses reduksi data, peneliti melakukan beberapa langkah penting, seperti mengevaluasi hasil tes siswa berdasarkan kriteria yang telah ditentukan, merumuskan tujuan penelitian khusus untuk siswa yang menunjukkan miskonsepsi, serta memilih subjek penelitian berdasarkan hasil tes awal dan kesediaan mereka untuk berpartisipasi dalam wawancara.
Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa siswa kelas V SD Negeri Lemah Putro 3 mengalami miskonsepsi. Dengan menggunakan tes tulis dan wawancara, berbagai miskonsepsi terkait pemahaman bilangan nol diidentifikasi. Data hasil tes tulis disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.
Figure 1. Gambar 1. Presentase hasil tes siswa dalam menyelesaian soal bilangan nol
Gambar 1 menunjukkan hasil penyelesaian soal bilangan nol oleh siswa kelas V SD. Grafik menunjukkan presentase jawaban benar dan jawaban salah diantara siswa. Dari grafik tersebut, terlihat bahwa siswa mengalami kesulitan yang bervariasi pada setiap soal. Pada grafik ini, terlihat jelas bahwa enam pertanyaan yang memiliki persentase salah melebihi 50% yang menunjukkan bahwa pemhaman siswa terhadap bilangan nol masih rendah. Rendahnya tingkat pemahaman bilangan nol terkait erat dengan keberadaan miskonsepsi. Dalam penelitian ini lima indikator telah diidentifikasi untuk menilai apakah siswa mengalami miskonsepsi. Berikut ini adalah beberapa miskonsepsi yang terkait dengan lima indikator tersebut.
Miskonsepsi te ntang Definisi Bilangan Nol
Figure 2. Gambar 2. Hasil jawaban S1
Siswa 1 menganggap bilangan nol sebagai "tidak ada nilai" atau "kosong", seperti jawaban siswa diatas, "nol adalah kosong/tidak ada". Ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa terbatas karena nol dalam matematika merupakan bilangan valid dengan peran khusus, yaitu sebagai elemen identitas penjumlahan. Dalam hal ini siswa mengabaikan perannya sebagai bilangan penuh dalam operasi matematika. Padahal, nol merupakan bilangan dengan nilai netral yang menandai titik awal pada garis bilangan dan memengaruhi hasil operasi aritmetika. Dalam wawancara dengan siswa 1, terlihat bahwa siswa tersebut memiliki pemahaman yang salah tentang bilangan nol sejak awal. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 1.
P: Coba kamu jelaskan apa itu bilangan nol?
S1: Nol itu kosong, kak.
P: Kenapa kamu bilang nol itu kosong?
S1: Karena nol itu tidak ada, kak.
P: bagaimana bisa tidak ada?
S1: Ya, tidak ada.
P: Jadi, nol itu apa?
S1: Nol itu... ya nol, Kak. Tidak ada.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa siswa 1 mampu membaca soal dengan baik, namun tidak dapat memahami konsep nol sebagai bilangan netral. Siswa 1 menganggap bahwa nol adalah "angka kosong" atau "tidak ada nilai" dalam hasil tes tulis, tanpa menyadari perannya sebagai identitas dalam penjumlahan. Hal ini menunjukkan bahwa siswa tersebut belum memahami konsep dasar bilangan nol sebagai bilangan netral serta tidak bisa memberikan definisi yang benar tentang bilangan nol (0). Siswa mengalami kesalahan atau kesulitan dalam menjelaskan pengertian dari bilangan nol. Hal ini sesuai dengan temuan yang menyatakan bahwa siswa cenderung menganggap nol sebagai "tidak ada apa-apa" dan tidak memahami perannya dalam operasi matematika [14]. Kemudian ditemukan juga siswa yang tidak bisa membedakan kosong dan tidak ada terkait definisi dari bilangan nol. Hal ini dapat dilihat dari jawaban siswa berikut.
Figure 3. Gambar 3. Hasil jawaban S2
Dalam wawancara dengan siswa 2, terlihat bahwa siswa tersebut tidak memahami definisi dari bilangan nol. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 2.
P: Kenapa kamu menjawab 0 adalah angka yang tidak ada?
S2: Karena kalau tidak ada, ya kosong, kak.
P: Lalu bagaimana dengan angka nol?
S2: Nol itu juga kosong, kak.
P: Jadi, apa yang kamu pahami tentang bilangan nol?
S2: Nol itu bilangan yang tidak ada nilainya, kak.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa 2, dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut mengalami kesulitan yang signifikan dalam memahami konsep bilangan nol. Siswa menyebutkan konsep bilangan nol secara salah atau tidak akurat. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam memahami bahasa yang digunakan dalam soal, yang mengakibatkan ketidakmampuan siswa tersebut untuk mengerjakan soal sesuai dengan instruksi yang diberikan. Siswa mengalami miskonsepsi mendefisikan bilangan nol. Siswa cenderung memandang bilangan nol sebagai kosong dan tidak ada. Kesalahan ini berpotensi menghambat pemahaman konsep matematika lanjutan yang melibatkan nol. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang menunjukkan bahwa miskonsepsi dalam memahami konsep dasar matematika dapat menghambat pemahaman siswa terhadap konsep yang lebih kompleks [15].
Miskonsepsi d alam Mengurutkan Bilangan Nol d engan Bilangan Lain p ada Garis Bilangan
Figure 4. Gambar 4. Hasil jawaban S3
Kesalahan muncul ketika siswa diminta menempatkan nol pada urutan bilangan bulat. Siswa 3 menuliskan: 0, -3 , -2 , -1 , 1 , 2. mengindikasikan ketidaktahuan siswa bahwa nol terletak di antara -1 dan 1 sebagai batas transisi bilangan negatif-positif atau titik netral. Hal ini menunjukkan pemahaman yang lemah tentang struktur garis bilangan. Hal ini terlihat dari jawaban siswa yang salah dalam menerapkan hubungan antara konsep pada bilangan nol. Siswa tidak memahami prinsip dasar bahwa nilai bilangan negatif mengecil saat mendekati nol. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 3.
P: Ini bilangannya kamu urutkan?
S3: Iya, sudah.
P: bagaimana kamu mengurutkannya?
S3: Ini dari yang terkecil sampai ke besar.
P: Berarti 0 ini bilangan terkecil ya, menurut, kamu.
S3: Iya nol yang lebih kecil.
P: Kenapa kamu menjwab nol itu bilangan terkecil?
S3: Karena nol itu yang paling kecil, kak.
P: Lalu bagaimana dengan -3?
S3: -3 itu lebih besar dari nol, kak.
P: Tapi -3 itu bilangan negatif, kan?
S3: Iya 3 nya, negatif.
P: Lalu bagaimana tetap -3 lebih besar dari nol?
S3: Iya -3 lebih besar.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa 3, dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut mengalami kesulitan yang signifikan dalam memahami hubungan antara bilangan nol dengan bilangan negatif. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam memahami dan menjelaskan hubungan konsep bilangan negatif dan positif serta posisi nol dalam garis bilangan.
Miskonsepsi tent ang Sifat Bilangan Nol
Figure 5. Gambar 5. Hasil jawaban S4
Dalam hal ini siswa dapat mengurutkan bilangan bulat dengan bilangan nol dengan benar. Namun, siswa 4 ini melakukan kesalahan dalam memahami bilangan nol sebagai bilangan positif. Hal ini dapat dilihat dari jawaban siswa berikut. Hal ini dapat dilihat dari jawaban siswa dimana siswa menjawab bahwa dia setuju nol adalah bilangan positif. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 4.
P: Kenapa kamu setuju bahwa nol adalah bilangan positif?
S4: Iya setuju karena nol bukan negatif, kak.
P: Jadi menurutmu 0 itu bilangan positif?
S4: Kan gak ada minnya didepan kak.
P: Coba ini dilihat lagi soal nomer 5. kamu bisa loh menjawab dengan benar, sekarang kakak tanya bilangan (-1) temasuk bilangan apa?
S4: Negatif
P: Kalau bilangan 0 termasuk bilangan apa?
S4: Positif. Ini 1, 2, 3 juga positif
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa 5, mengungkap miskonsepsi tentang bilangan nol, di mana siswa mampu mengurutkan bilangan bulat dengan benar namun tetap keliru memahami sifat nol. Meskipun berhasil menjawab soal pengurutan bilangan dengan tepat, Siswa 5 bersikukuh bahwa "0 itu positif" dengan alasan tidak terdapat tanda negatif didepan angka tersebut, yang mengindikasikan ketidaktahuan tentang konsep netralitas nol. Ketika peneliti membandingkan dengan jawaban benar sebelumnya tentang urutan bilangan, Siswa 5 tetap konsisten bahwa nol termasuk bilangan positif, membuktikan bahwa pemahaman prosedural (mengurutkan) tidak selalu sejalan dengan pemahaman konseptual (mendefinisikan sifat bilangan).
Miskonsepsi dalam Membandingkan Bilangan Nol dengan Bilangan Lain
Figure 6. Gambar 6. Hasil jawaban S5
Saat membandingkan nol dengan bilangan negatif, siswa menyatakan -3 > 0 karena "angka 3 lebih besar dari nol". Mereka mengabaikan aturan bahwa semua bilangan negatif lebih kecil dari nol. Kesalahan ini terlihat pada hasil jawaban siswa diatas: " -3”. Dalam wawancara dengan siswa 5, terlihat bahwa siswa tersebut melakukan kesalahan dalam memahami konsep bilangan nol dan bilangan negatif sehingga tidak mampu memahami hubungan antara bilangan tersebut. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 5.
P: Kenapa kamu bilang -3 lebih besar dari 0?
S5: Karena angka 3 lebih besar dari 0, kak.
P: Lalu bagaimana dengan tanda negatifnya?
S5: Ya negatif, kak, angka 3 itu lebih besar dari 0.
P: Kalau -3 dengan -5 mana yang lebih besar?
S5: -3
P: loh, kok bisa?
S5: iya bisa aku. -10 sama -5 lebih besar -5
P: lalu kenapa 0 dengan -3 kamu menjawab lebih besar -3
S5: Ya karena itu tadi
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa 5, dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut mengalami kesulitan yang signifikan dalam memahami hubungan antara bilangan nol dengan bilangan negatif. Siswa dapat dengan baik menjawab perbandingan antar bilangan negatif. Namun, tidak bisa membandingkan bilangan nol dengan bilangan negatif. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam memahami konsep bilangan negatif dengan bilangan nol. Sehingga siswa hanya melihat besarnya angka tanpa melihat tanda negatif di depan angka tersebut. Temuan ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa siswa sering kali salah dalam membandingkan bilangan nol dengan bilangan negatif.
Miskonsepsi tentang Operasi Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Nol
Figure 7. Gambar 7. Hasil jawaban S6
Meskipun operasi a + 0 = a, 0 + a = a tergolong sederhana, siswa 6 ini masih melakukan kesalahan dengan menjawab "0" untuk bentuk penjumlahan yang melibatkan nol. Ini menunjukkan ketidaktahuan tentang sifat identitas penjumlahan dari bilangan nol. Kesalahan ini berpotensi menghambat pemahaman matematika di tingkat yang lebih tinggi misalnya di SMP akan bertemu dengan materi aljabar dasar. Dalam wawancara dengan siswa 6, terlihat bahwa siswa tersebut terus melakukan kesalahan dalam memahami konsep bilangan nol. Berikut adalah percakapan yang terjadi antara peneliti dengan siswa 6.
P: Kenapa kamu menjawab 0 bola?
S6: Karena kalau ditambah nol, hasilnya tetap nol, kak.
P; Bagaimana operasi matematikanya? Kamu hanya menjawab nol bola
S6: Itu 0 bola ditambah 1 bola hasilnya 0 bola
P: Lalu bagaimana dengan 1 + 0?
S6: Hasilnya 1.
P: Yakin? Coba dihitung lagi.
S6: Iya 1, kak.
P: Kok berbeda jawabannya antara 0 + 1 dengan 1 + 0. Coba jelaskan bagaimana kamu menghitungnya?
S6: 1+0, sudah ada satu ditambahan 0, ya, tetap 1.
P: kalau yang 0 + 1?
S6: 0, tetap 0 kan, kak.
P: Kok bisa?
S6: Nol nya kan kosong, kak.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan siswa 6, terlihat bahwa siswa 6 melakukan kesalahan dalam memahami konsep bilangan nol dalam operasi penjumlahan. Siswa 6 tidak dapat memahami bahwa bilangan nol memiliki peran penting dalam operasi matematika. Siswa 6 ini hanya hafal rumus tanpa pemahaman, dia bisa menjawab soal 1 + 0 = 1 tetapi salah menjawab saat diberikan soal 0 + 1. Hal ini dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut mengalami kesulitan yang signifikan dalam memahami konsep penjumlahan sederhana yang melibatkan bilangan nol. Hal ini terutama disebabkan oleh ketidakmampuan siswa dalam memahami konsep dasar matematika.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa siswa sekolah dasar mengalami miskonsepsi yang signifikan dalam memahami konsep bilangan nol sebagai bagian dari bilangan bulat terutama dalam mendefinisikan nol sebagai bilangan "kosong" atau "tidak ada". Selain itu siswa juga mengalami miskonsepsi dalam mengurutkan bilangan nol dengan bilangan lain pada garis bilangan, memahami sifat bilangan nol, membandingkan bilangan nol dengan bilangan lain, dan operasi penjumlahan dan pengurangan bilangan nol menjumlahkan bilangan nol. Temuan ini menunjukkan bahwa pemahaman siswa tentang bilangan nol masih sangat lemah dan perlu ditingkatkan melalui pendekatan pembelajaran yang lebih efektif. Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlunya pengembangan strategi pembelajaran yang lebih inovatif, seperti penggunaan media visual, permainan matematika, dan pendekatan kontekstual untuk membantu siswa memahami konsep bilangan nol dengan lebih baik. Selain itu, pendidik perlu memberikan penekanan pada pemahaman konseptual daripada sekadar menghafal prosedur matematika. Kelemahan penelitian ini adalah perlu diklarifikasi lagi apakah bilangan nol merupakan konsep atau bukan. Sehingga penelitian berikutnya disarankan untuk melakukan penelitian tentang kesalahan memahami makna nol.
Ucapan Terima Kasih
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta ridho-Nya sehingga memungkinkan penulis menuntaskan tugas akhir dengan baik. Terima kasih kepada Ibu Kepala Sekolah Dasar Negeri Lemah Putro 3 yang telah memberikan izin penelitian terutama pada kelas V untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan dalam penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang mendukung proses penyelesaian tugas akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.
[1] A. Suganda, Pentingnya Bilangan Bulat. Yogyakarta, Indonesia: Budi Utama, 2019.
[2] E. Gerieska and R. Pratiwi, “Analisis Kesalahan dalam Menyelesaikan Soal Penjumlahan dan Pengurangan Bilangan Bulat Siswa Kelas VI Sekolah Dasar Negeri 067249 Medan Marelan T.P. 2021/2022,” PENDALAS: Jurnal Penelitian Tindakan Kelas dan Pengabdian Masyarakat, vol. 2, no. 3, pp. 187–203, 2022.
[3] A. Prabowo, “Bilangan dalam Khasanah Budaya Jawa,” Yogyakarta, 2010.
[4] J. K. Dimmel and E. A. Pandiscio, “When It’s on Zero, the Lines Become Parallel: Preservice Elementary Teachers’ Diagrammatic Encounters with Division by Zero,” Journal of Mathematical Behavior, vol. 58, 2020, doi: 10.1016/j.jmathb.2020.100760.
[5] N. Mukhlisa, “Miskonsepsi pada Peserta Didik,” SPEED Journal: Journal of Special Education, vol. 4, no. 2, pp. 66–76, 2021, doi: 10.31537/speed.v4i2.403.
[6] U. Laili, N. Latifah, H. Wakhyudin, and F. Cahyadi, “Miskonsepsi Penyelesaian Soal Cerita Matematika Materi FPB dan KPK Sekolah Dasar,” Jurnal Riset Pendidikan Dasar, vol. 3, no. 2, pp. 181–195, 2020.
[7] R. L. Ikram, Suharto, S. Setiawani, D. S. Pambudi, and R. P. Murtikusuma, “Analisis Miskonsepsi Siswa dalam Menyelesaikan Persamaan Kuadrat Satu Variabel Ditinjau dari Perbedaan Gender,” Kadikma, vol. 9, no. 3, pp. 204–215, 2018.
[8] E. M. Ozkan and A. Ozkan, “Misconception in Exponential Numbers in 1st and 2nd Level Primary School Mathematics,” Procedia – Social and Behavioral Sciences, vol. 46, pp. 65–69, 2012, doi: 10.1016/j.sbspro.2012.05.069.
[9] E. Gradini, “Miskonsepsi dalam Pembelajaran Matematika Sekolah Dasar di Dataran Tinggi Gayo,” vol. 3, no. 2, 2016.
[10] A. L. Seidelmann, “Students’ Conceptions of Zero,” 2004.
[11] A. Henik, Y. Gliksman, A. Kallai, and T. Leibovich, “Size Perception and the Foundation of Numerical Processing,” Current Directions in Psychological Science, vol. 26, no. 1, pp. 45–51, 2017, doi: 10.1177/0963721416671323.
[12] F. Jannah, “Analisis Miskonsepsi Siswa SD pada Materi Bilangan Bulat,” 2017.
[13] S. Wibowo and B. A. Saputro, “Analisis Kesulitan Belajar Matematika pada Materi Operasi Pengurangan yang Melibatkan Bilangan Nol pada Siswa Kelas III SDN Pesaren 02,” 2023.
[14] J. Hartmann, M. Herzog, and A. Fritz, “Zero—An Uncommon Number: Preschoolers’ Conceptual Understanding of Zero,” International Electronic Journal of Elementary Education, vol. 14, no. 3, pp. 353–361, 2022, doi: 10.26822/iejee.2022.249.
[15] N. F. Fuadiah, “Miskonsepsi sebagai Hambatan Belajar Siswa dalam Memahami Matematika,” 2016.