Abstract

General Background: Color is a fundamental element in children's drawings, reflecting their emotions and experiences. Specific Background: Children with special needs, particularly those with Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), may exhibit unique patterns in color usage, influenced by their perceptions and memories. Knowledge Gap: Limited research exists on how color dominance in drawings can provide insights into the thoughts and feelings of children with ADHD. Aims: This study aims to identify the dominant colors used by children with ADHD in their drawings, enhancing educators' understanding of these children's emotional landscapes. Results: Employing a qualitative phenomenological approach, data were gathered through observation, interviews, and documentation, with validity assessed via source triangulation. The findings reveal that children with ADHD predominantly select darker colors, such as black, dark blue, and brown, which correspond to significant past experiences or events they have encountered. Novelty: This research contributes new insights into the relationship between color choice and the emotional expression of children with ADHD. Implications: Understanding color dominance in their artwork can aid educators in recognizing and addressing the emotional and psychological needs of these children, fostering a more supportive learning environment.

Highlights:

  • Color Selection: Children with ADHD predominantly choose dark colors in their drawings.
  • Emotional Reflection: Color dominance reflects significant past experiences and emotions.
  • Qualitative Insights: The study uses a phenomenological approach to analyze children's artwork.

Keywords: color dominance, ADHD, children's drawings, emotional expression, qualitative research

Pendahuluan

Warna merupakan elemen penting dalam seni dan desain yang mempengaruhi persepsi dan emosi. Pada kehidupan sehari-hari seringkali kita melihat warna dalam berbagai objek, seperti pada mainan, produk makanan, pakaian, dan lain-lain. Kehadiran warna tentu dapat meningkatkan emosi tertentu, bermanfaat untuk kesehatan, juga menambah keindahan suatu objek. Warna sendiri adalah kesan yang ditimbulkan akibat pantulan cahaya ke mata oleh benda yang dikenai[1]. Untuk mendapat suatu keindahan tentunya ada beberapa objek memiliki warna mencolok atau dominan agar emosi yang tertuang pada gambar atau objek dapat tersampaikan. Dominasi warna sendiri adalah konsep di mana warna tertentu lebih terlihat dan mendominasi suatu karya seni. Menurut[1], dominasi merujuk pada keunggulan sesuatu yang lebih terlihat dalam tampilannya. Dominasi warna pada gambar sangat mempengaruhi persepsi visual, karena warna dapat menciptakan kesan yang mendalam dan menambah nilai estetika gambar tersebut. Pemilihan warna yang tepat dapat membantu mengekspresikan makna dan emosi yang ingin disampaikan melalui gambar. Dalam Islam, warna memiliki nilai estetika dan keindahan yang positif. Q.S Az-Zumar ayat 21 menyebutkan berbagai warna yang ada di alam, seperti hijau dan kuning, dan pentingnya pemahaman akan warna dalam konteks ciptaan Allah SWT[2]. Johannes Itten, seorang artis asal Swiss, mengembangkan teori warna berbasis pada tiga warna primer: merah, kuning, dan biru. Teori Itten meliputi lingkaran warna dengan 12 warna yang memiliki efek emosional dan konsep kontras[3]. Warna juga diklasifikasikan menjadi warna primer, sekunder, tersier, monokrom, dan kontras[4]. Setiap klasifikasi warna memiliki makna tersendiri yang dapat memberikan keindahan yang benilai positif[5]. Warna primer biru dapat menstabilkan detak jantung, menstabilkan tekanan darah, sehingga dengan kata lain dapat untuk kegiatan relaksasi ataupun meditasi. Kemudian warna primer hijau hijau memberikan rasa damai tenang, bebas, sejuk, serta menurunkan ketegangan otot[6].

Dalam konteks pendidikan, warna tidak hanya berfungsi sebagai elemen dekoratif tetapi juga sebagai alat pedagogis yang efektif. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan warna dalam materi pendidikan dapat meningkatkan perhatian, retensi informasi, dan pemahaman konsep. Ini sangat relevan ketika mempertimbangkan kebutuhan anak-anak, terutama mereka dengan kebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus adalah anak istimewa, yang dilahirkan dengan sudah mempunyai kelebihan tersendiri. Umumnya anak berkebutuhan khusus dapat dipahami sebagai anak yang memerlukan tangan orang lain sebagai pembimbing dirinya, sebab anak berkebutuhan khusus memiliki keterbatasan diri dalam melakukan berbagai hal. anak berkebutuhan khusus memiliki kondisi mental, emosi dan fisik yang terlahir berbeda dari anak-anak pada umumnya[7]. Anak berkebutuhan khusus membutuhkan bimbingan khusus, sebab gangguan dan kelainan yang dimiliki anak[8]. Dalam sudut pandang psikologis diklasifikasikan dalam sikap dan perilakunya, antara lain, autis, slow learner, dan ADHD/GPPH. Autis merupakan gangguan emosi, dalam berinteraksi dan berbicara yang dimiliki oleh anak, jika pada slow learner anak cenderung memili gangguan dalam keterlambatan belajar, sedangkan ADHD/GPPH anak cenderung memiliki gangguan pada bicaranya[8]. Gangguan Pemusatan perhatian (GPPH) merupakan kondisi seseorang yang mengalami perkembangan berbeda dengan ciri tidak mampu mengontrol gerak dan kesulitan dalam mengontol konsentrasi. Beberapa faktor penyebab GPPH adalah faktor neurologis, faktor sekitar, faktor genetik hingga gangguan ketika dalam kehamilan[9]. Menggambar adalah kegiatan kreatif yang memungkinkan seseorang mengekspresikan perasaan dan pemikirannya melalui gambar. Ini juga berlaku bagi anak-anak. Mereka memiliki perspektif dan cara menilai sendiri terhadap objek yang digambarkannya[10]. Hal ini terjadi karena anak-anak keaslian dan spontanitas dalam karya gambar mereka. Kemudian dominasi warna dalam proses mewarnai umumnya anak-anak senang dalam proses tersebut, berlaku juga pada anak berkebutuhan khusus. Dalam hal ini, dominasi warna pada materi pembelajaran menjadi sangat penting. Penggunaan warna yang tepat dapat membantu anak-anak ini lebih mudah memahami dan mengingaat informasi, meningkatkan keterlibatabn mereka dalam proses belajar, dan merespon secara positif terhadap lingkungaan belajar mereka. Anak berkebutuhan khusus seringkali menggunakan warna untuk mengekspresikan diri dan emosi mereka[11]. Selain itu, menurut Slezak, dominasi warna membantu menjaga perhatian anak-anak berkebutuhan khusus. Penggunaan warna dominan tertentu dapat mempengaruhi respons emosional dan perilaku anak-anak. Misalnya, warna dingin seperti biru dan hijau sering digunakan untuk menciptakan lingkungan yang menenangkan, sedangkan warna hangat seperti merah dan kuning dapat merangsang aktivitas dan kegembiraan.

Berdasarkan hasil observasi, anak berkebutuhan khusus memiliki sistem pembelajaran dan guru khusus. Sekolah inklusi yang menerima anak berkebutuhan khusus, memerlukan pendamping khusus juga untuk mendampingi anak tesebut. Anak-anak ini lebih antusias dalam pembelajaran seni seperti menggambar. Proses pewarnaan sangat menarik bagi mereka, dan pilihan warna yang beragam dapat memberikan ekspresi menyenangkan. Dalam beberapa kasus, guru pendamping membantu anak memilih warna yang disukai, meskipun pewarnaan tetap dilakukan oleh anak itu sendiri[12]. Anak Berkebutuhan Khusus memiliki pendekatan unik dalam proses pewarnaan, yang berbeda dari anak- anak pada umumnya. Ketika mewarnai, mereka sering memilih warna yang tidak sesuai dengan warna asli objek gambar. Ini terjadi karena dua alasan utama: kebebasan yang diberikan oleh guru atau kurangnya bimbingan dalam memilih warna yang sesuai. Menurut kepala terapi subjek penelitian, aktivitas pewarnaan ini memungkinkan anak- anak untuk mengekspresikan kreativitas mereka secara bebas, sering kali menghasilkan kombinasi warna yang tidak konvensional.

Kegiatan mewarnai membantu perkembangan karakter kreatif anak, menumbuhkan keyakinan diri, dan pemikiran positif tentang penciptaan sesuatu yang baru[12]. Penelitian sebelumnya oleh I Wayan Karja menjelaskan makna warna dari sudut pandang tradisi Bali dan nilai terapis warna dalam sisi psikologis[13]. Warna kuning, misalnya, diartikan sebagai panas, sementara biru sebagai dingin, hijau menyejukkan, putih kesucian, dan hitam kehampaan. Mewarnai gambar bukan hanya aktivitas yang menyenangkan, tetapi juga merupakan pendekatan terstruktur dan visual yang efektif dalam pendidikan. Ini membantu anak-anak mengembangkan berbagai keterampilan, meningkatkan pemahaman visual, dan memberikan cara yang terorganisir untuk mengekspresikan diri mereka. Putu Yudari Pratiwi meneliti dominasi warna pada anak usia dini, menemukan bahwa warna cerah berkaitan dengan perasaan positif dan warna gelap dengan perasaan negatif. Warna dominan dinilai dari seberapa luas warna digunakan dalam gambar[14]. Penelitian Tri Linggo Wati tentang gambar siswa tunarungu menunjukkan bahwa menggambar membantu mengekspresikan emosi dan berkomunikasi. Kemudian, penelitian sebelumnya berfokus mengangkat topik warna dalam berbagai pandangan dan makna serta dominasi warna pada satu klasifikasi anak berkebutuhan khusus. Penelitian tentang dominasi warna pada gambar anak berkebutuhan khusus dengan berbagai diagnosa masih kurang. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dominasi warna pada gambar anak berkebutuhan khusus (GPPH) dengan diagnosa berbeda, membantu pendidik mengenali kondisi emosi dan ekspresi anak melalui gambar yang diwarnai. Fokusnya adalah mengidentifikasi warna-warna yang paling sering digunakan dan bagaimana dominasi warna tersebut mempengaruhi persepsi dan ekspresi anak-anak ini.

Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian dengan judul Analisis Dominasi Warna Pada Gambar Anak Berkebutuhan Khusus ini adalah metode penelitian kualitatif fenomenologi. Fenomenologi merupakan deskripsi dari beberapa individu terkait berbagai pengalaman hidup dengan konsep atau fenomena[15]. Pendekatan fenomenologi pada penelitian ini ialah fenomenologi textural description yang memiliki arti penelitian ini berfokus pada deskripsi tentang pengalaman dari para subjek atau pasrtisipan dalam penelitian ini[16]. Maka penelitian ini tidak berfokus kepada penafsiran dari peneliti sendiri. Pendekatan fenomenologi pada penelitian ini berfokus mencari data terkait dominan warna yang ada pada gambar anak berkebutuhan khusus lalu memberikan makna pada warna dominan tersebut yang berkaitan dengan emosi serta ekspresi anak Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif (GPPH), guna memahami apa yang sedang ada dipikiran anak serta perasaan emosi yang sedang anak alami ketika memberikan warna pada gambarnya. Penelitian ini berfokus kepada teori dan data-data dilapangan dari subjek atau partisipan pada penelitian guna mendapat perspektif yang baru. Pada metode ini peneliti akan mengamati gambaran yang berwarna dari beberapa klasifikasi anak berkebutuhan khusus tanpa adanya tindakan perubahan apapun dari peneliti.

Teknik pengumpulan data yang akan peneliti lakukan pada penelitian ini yaitu observasi, wawancara dan dokumentasi. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Triangulasi sumber adalah gabungan dari teknik pengumpulan data yang telah ada yakni observasi, wawancara dan dokumentasi[17]. Teknik analisis data dalam penelitian ini yaitu berupa reduksi data, penyajian data dan verifikasi atau penarikan kesimpulan[18]. Menggunakan indikator sebagai bahan evaluasi hasil dalam penelitian.

Teknik pengumpulan data berupa observasi merupakan teknik ilmiah yang dilakukan dengan cara pengamatan serta pencatatan terhadap fenomena pada objek penelitian. Sedangkan wawancara berupa interaksi antara narasumber, partisipan dengan peneliti, untuk memperoleh informasi secara jelas, detail dan faktual, peneliti menggunakan wawancara tertulis yang diarahkan kepada peserta didik anak berkebutuhan khusus. Lalu dokumentasi, merupakan bukti lapangan yang diabadikan dengan kamera, yang menghasilkan foto oleh peneliti selama penelitian.

Instrumen pada penelitian ini adalah peneliti sendiri, searah dengan yang dikatakan oleh sugiyono bahwa penelitian kualitatif yang menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri, human instrument dalam penelitian kualitatif memiliki fungsi untuk menetapkan fokus penelitian, memilih sumber data, mengumpulkan data, analisis dan membuat kesimpulan data.

Indikator Sub Indikaor Arti warna
Warna Terang Merah mudaKuningOranyeHijau mudaBiru mudaUngu Kesehatan & kebugaranKeceriaan & kegembiranKehangatanKesegaran & menenangkanKetenangan Keberanian
Warna Gelap HitamCoklatHijau tuaBiru tuaAbu-abu PerkabunganBijaksanaKeseimbanganDingin & mendalamSuram
Table 1.(Tabel Indikator)

Hasil dan Pembahasan

Hasil Penelitian

Naskah Hasil dari penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan teknik pengumpulan data berupa observasi, wawancara dan dokumentasi yakni, sebagai berikut:

Figure 1. Hasil karya kesatu M.RA

Pada karya pertama subjek dengan gambar kartun makanan, yang telah diberi warna coklat pada biscuit, biru pada susu kotak dan minuman cup, kuning pada sedotan, matahari dan bintang, hijau untuk dedaunan, dan merah untuk buah strawberry. Berdasarkan karya tersebut diperoleh hasil warna paling dominan yaitu warna biru tua.

Figure 2. Hasil Karya Kedua M.RA

Pada karya kedua subjek dengan gambar anak sedang berkebun, yang telah diberi warna biru untuk langit, kuning untuk dedaunan, sedikit corak merah pada beberapa objek gambar, ungu untuk sepatu, hitam untuk wajah dan tangan. Berdasarkan karya tersebut diperoleh hasil warna paling dominan yaitu warna hitam.

Pembahasan

Data yang telah diperoleh peneliti dari dua narasumber dengan diagnosa kebutuhan khusus yang berbeda disajikan dalam matrik diatas. Pembahasan hasil penelitian ini menggunakan teori psikologi warna. Pada karya subjek ke 1 diperoleh warna dominan berupa warna biru tua, berdasarkan psikologi warna, warna biru tua bermakna sifat yang dingin dan mendalam. Sedangkan pada karya ke 2 diperoleh warna hitam sebagai warna dominan, dalam psikologi warna, warna hitam bermakna misteri dan perkabungan[19].

Berdasarkan data dilapangan subjek dengan inisial MRA di diagnosa ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau dalam Bahasa indonesia dikenal dengan GPPH ( Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktif. ADHD merupakan gangguan pemusatan perhatian yang ditandai dengan pembicaraan yang tidak terkendali, perilaku yang berlebihan dan juga sering hilangnya fokus saat sedang melaksanakan kegiatan. Anak dengan ADHD seringkali tidak fokus terhadap apa yang sedang dilakukannya, dan secara tiba-tiba bisa mengganggu teman disampingnya. Anak ADHD juga jika berbicara terlalu berlebihan dan tidak terkendali begitupun jika tertawa. Dari hal tersebut diketahui alasan mengapa kegiatan yang dilakukan tidak 100% selesai. Berdasarkan data wawancara, menurut kepala terapi dari subjek mewarnai merupakan kegiatan yang tidak terlalu disukai. Berdasarkan data yang diperoleh oleh peneliti, subjek cenderung pada kelompok warna gelap, antara lain hitam, biru tua, coklat, namun pada karya ke 1 banyak warna yang sesuai dengan realitanya, seperti warna biscuit dengan warna coklat dan strawberry berwarna merah. Berdasarkan hasil wawancara tertulis diatas diperoleh alasan mengapa kedua narasumber memilih warna tersebut pada gambarnya. Diketahui pada narasumber pertama alasan memilih warna tersebut sebab menyukai warnanya dan sebab beberapa ingatan kejadian yang pernah subjek alami atau amati ketika di luar lingkup sekolah. Alasan pada narasumber kedua yaitu sebab ingatan kejadian yang pernah subjek amati sebelumnya yaitu berupa menonton film horor di handphone. Pernyataan dari subjek dalam penelitian ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Nilam S. Barani bahwa Anak dengan GPPH cenderung memilih warna untuk gambarnya sesuai dengan kejadian yang telah mereka lihat atau alami. Selain dari hal tersebut warna pada gambar anak dengan GPPH juga sebagai jalur pelengkap informasi atas apa yang telah anak lalui pernyataan ini diperkuat dengan penelitian sebelumnya yang telah diteliti oleh dalam artikelnya yang berjudul “Lukisan Anak dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dengan HIperaktif”, yang menyatakan bahwa Anak GPPH mampu dengan baik mengingat kejadian sebelumnya yang telah mereka alami atau mereka amati baik dari kejadian secara nyata ataupun visual melalui film dan mereka menuangkan informasi tentang ingatan mereka dengan sebuah karya. Dalam penelitiannya, terdapat kesamaan pilihan warna antar subjek pada karyanya, yakni cenderung memilih warna hitam, biru, kuning, merah dan ungu dengan jawaban bahwa para subjek memilih warna-warna tersebut karena apa yang mereka alami dan yang telah mereka lihat. Hal tersebut sesuai dengan penelitian dalam artikel ini bahwa subjek M.R A cenderung memilih warna-warna tersebut dalam karyanya, berdasarkan wawancara yang telah dilakukan bahwa dia memilih warna tersebut sebab kejadian sebelumnya yang telah subjek lihat dan alami.

Kesimpulan

Dominasi warna pada gambar anak berkebutuhan khusus dengan diagnosa yang berbeda antara Disabilitas Intelektual dengan GPPH memang memiliki perbedaan yang cukup signifikan namun dengan latar belakang alasan yang hampir sama. Dengan data yang diperoleh dalam penelitian ini dapat membantu guru dalam memahami apa yang sebelumnya pernah terjadi dan menjadi ingatan dalam diri anak didik. Sebelum adanya penelitian ini guru belum mengetahui apa ingatan yang melekat pada anak didiknya dan kebiasaan yang diterima serta dilakukan selama diluar sekolah.

References

  1. K. P. Dan, *Kamus Bahasa Indonesia*. 2011.
  2. Departemen Agama RI, *Al-Kafi Mushaf Al-Qurán*. CV Penerbit Diponegoro, 2006.
  3. M. Purbasari, L. C. Luzar, and Y. Farhia, “Analisis asosiasi kultural atas warna,” vol. 5, no. 9, pp. 172–184, 2014.
  4. Y. Adisendjaja H., “Warna dan maknanya dalam kehidupan,” 2003.
  5. J. P. Islam, “Jurnal An-Nida’,” vol. 41, no. 1, pp. 62–70, 2017.
  6. A. Astuti, “Penerapan warna pada ruang interior anak autis,” *NARADA, J. Desain Seni*, vol. 5, no. 2, pp. 33–44, 2018.
  7. L. Mareza, “Cultural art and craft education as a general intervention strategy for special needs children,” pp. 35–38, 2003.
  8. D. Desieningrum R., *Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus*, Cetakan I. Psikosain, 2016.
  9. Marlina, *Pemusatan Perhatian dengan Hiperaktif (GPPH)*, 1st ed. UNP Press Padang, 2008.
  10. T. L. Wati and D. Novita, “Analisis gambar siswa tuna rungu ditinjau dari makna bahasa rupa (bentuk dan warna) di SLB Dewi Sartika Geluran Sidoarjo,” *Proc. ICECRS*, vol. 1, no. 3, Mar. 2018, doi: 10.21070/picecrs.v1i3.1400.
  11. A. R. Angayasti, “Analisis gambar anak berkebutuhan khusus (autis) SD Plus Al-Ghifari TA 2010-2011 Kota Bandung,” 2012.
  12. Craft Anna, *Membangun Kreativitas Anak*, vol. 1, 2003.
  13. I. W. Karja, “Makna warna,” pp. 110–116, 2021.
  14. P. Yudari and I. G. A. P. W. Budisetyani, “Emosi dan penggunaan warna dominan pada kegiatan mewarnai anak usia dini,” vol. 1, no. 1, pp. 160–170, 2013.
  15. J. W. Creswell, *Penelitian Kualitatif & Desain Riset*, Cetakan I. Pustaka Belajar, 2015.
  16. A. F. Dr. Nasution, *Metode Penelitian Kualitatif*, 1st ed. Medan, Indonesia: CV. Harfa Kreatif, 2023.
  17. Sugiyono, *Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Methods)*, 1st ed. Alfabeta Bandung, 2020.
  18. Mattew B. Miles and A. Michael Huberman, *Analisis Data Kualitatif*, 1st ed. Penerbit Universitas Indonesia, 2009.
  19. Sanyoto E. Sadjiman, *NIRMANA, II*. JALASUTRA, 2009.