Abstract
This qualitative phenomenological study investigates stress coping mechanisms among adolescents from disharmonious families, addressing their responses to challenging and unforeseen family situations. Through semi-structured interviews with two subjects in Sidoarjo, the study identifies distinct coping aspects: problem-focused strategies encompassing planning, competitive activity suppression, behavioral release, coping restrictions, instrumental support utilization, and emotional-focused strategies involving emotional support utilization, emotional release focus, mental liberation, positive reinterpretation and growth, self-blame, acceptance, rejection, humor, substance use, and religious turn. The research reveals that emotional intelligence, stress levels, and religious maturity serve as influential factors shaping stress coping behaviors. These findings offer valuable insights into the complex dynamics of adolescents navigating difficulties within dysfunctional family environments, emphasizing the role of psychological factors and religious engagement in their coping mechanisms.
Highlights:
-
Diverse Coping Strategies: This study unveils a range of coping strategies employed by adolescents in dysfunctional families, including problem-focused and emotional-focused approaches.
-
Influential Factors: The research highlights the significant impact of emotional intelligence, stress levels, and religious maturity on adolescents' ability to cope with stress within disharmonious family settings.
-
Qualitative Insight: Using a phenomenological approach, the study offers qualitative insights into the nuanced experiences and coping mechanisms of adolescents facing challenging situations in dysfunctional family environments.
Keywords: Adolescent stress coping, Dysfunctional families, Emotional intelligence, Phenomenological approach, Religious maturity
PENDAHULUAN
Remaja (adolescence) merupakan masa perpindahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa yang ditandai dengan perubahan aspek kognitif, dan psikososial [1]. Masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Diketahui pula bahwa pubertas dimulai sekitar usia 10-13 tahun dan berakhir sekitar usia 18-22 tahun [2]. Pada masa ini, anak mengalami pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perkembangan mental. Mereka bukan anak-anak dalam bentuk tubuh, pikiran atau perilaku, tetapi mereka juga bukan orang dewasa yang matang [3]. Remaja yang memiliki positive thinking diyakini mampu menemukan jalan keluar dari sebuah masalah atau problem yang dihadapinya, sehingga tidak mempengaruhi pikiran, kesehatan, tidak merasa terbebani dan tidak ada kekecewaan yang berkepanjangan [4].
Keluarga merupakan lembaga terkecil dalam masyarakat yang saling berhubungan dan berinteraksi. Menurut Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari laki-laki, perempuan dan anak, atau ayah dan anak, atau ibu dan anak. Namun, kini struktur keluarga berubah, yakni single parent. Beberapa hal yang dapat menyebabkan seseorang menjadi single parent adalah perceraian, ibu yang melahirkan tetapi tidak menikah, dan kematian pasangan [5]. Sebuah keluarga dianggap harmonis jika struktur keluarga utuh dan anggota keluarga berinteraksi dengan baik satu sama lain. Hubungan psikologis di antara mereka cukup memuaskan bagi anggota keluarga. Jika struktur keluarga tidak lagi utuh karena kematian atau perceraian salah satu anggota keluarga, maka keluarga tersebut mungkin tidak lagi harmonis [6].
Keharmonisan keluarga merupakan keadaan keluarga yang utuh dan bahagia, yang didalamnya terdapat suatu ikatan kekeluargaan dan memberikan rasa aman dan tentram bagi setiap anggotanya. Keharmonisan yang dalam keluarga dapat diperoleh dengan menjalankan fungsi yang semestinya dalam sebuah keluarga. Fungsi fungsi penting didalam sebuah keluarga yaitu memberikan afeksi, menyediakan rasa aman dan diterima, menunjang pencapaian kebutuhan, memberikan kepuasan fisik, seksual, serta psikis. Bila fungsi itu tidak terpenuhi maka akan menimbulkan rasa tidak pernah puas dan tidak bahagia, serta anggota keluarga merasakan ketegangan , kekecewaaan didalam sebuah keluarga dan membentuk sebuah disharmonis keluarga [1]. Keluarga yang banyak melakukan perbincangan akan selalu senang berbicara atau ngobrol. Keluarga yang melakukan perbincangan yang sedikit merupakan keluarga yang tidak banyak menghabiskan waktu bersama untuk ngobrol [7].
Keluarga disharmonis merupakan kehidupan keluarga yang strukturnya masih lengkap tetapi didalam anggota keluarga tersebut kurang menunjukkan adanya perhatian, komunikaasi, anggota keluarga sibuk dengan urusannya masing masing dan terjadi konflik terus menerus antara ayah dan ibu [1]. Pada kenyataannya, tidak semua keluarga mampu mengatasi tanggung jawab mereka dengan baik. Anggota keluarga memiliki banyak masalah, seringkali keseimbangan terganggu dan kehidupan keluarga terancam sehingga membuat keluarga tidak nyaman [8]. Anak yang tinggal dengan kedua orang tua yang sudah tidak cocok lagi menunjukkan perilaku antisosial seperti berbohong, menyontek atau membully teman di sekolah atau dimanapun anak berada [9].
BPS (2015) menemukan bahwa di Indonesia pada tahun 2012-2013 proporsi orang tua tunggal meningkat akibat perceraian dan kematian pasangan. Faktor penyebab perpisahan suami istri seperti perselisihan dalam 91.841 kasus, tidak bertanggung jawab dalam 78.407 dan masalah keuangan dalam 67.891 kasus. Perceraian membuat banyak pasangan menikah harus hidup sebagai orang tua tunggal [5]. Di Indonesia, angka perceraian semakin meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, angka perceraian sebanyak 324.247 kasus. Tahun 2014 naik menjadi 344.237, tahun 2015 jumlah perceraian 347.256 kasus. Sedangkan jumlah perceraian pada 2016 mencapai 350.000 kasus [10].
Keluarga disharmois membawa dampak pada anggota keluarga, khususnya pada remaja yang bisa menyebabkan munculnya stres. Stres merupakan kondisi yang menunjukkan adanya tekanan fisik dan psikis akibat tuntutan dalam diri dan lingkungan. Stres adalah proses dimana suatu peristiwa dianggap mengancam, menantang, atau berbahaya, dan individu bereaksi terhadapnya secara fisiologis, emosional, kognitif, dan perilaku [11]. Remaja-remaja yang berasal dari keluarga tidak utuh atau disharmonis memperlihatkan penyesuaian diri yang buruk dibandingkan dengan remaja-remaja yang berasal dari keluarga yang utuh [12]. Kondisi tersebut membuat remaja dengan keluarga disharmonis membutuhkan strategi coping yang tepat untuk mengelola stres.
Coping stres adalah upaya kognitif dan perilaku untuk menghadapi tuntutan eksternal dan/atau internal yang dianggap sebagai stres atau tekanan. Ketika adaptasi stres buruk, maka akan meningkatkan stres, dan sebaliknya, jika beradaptasi dengan stres lebih baik, tingkat stres cenderung rendah [13].Coping adalah cara untuk mengatasi, mengurangi, atau mentolerir ancaman yang menguras emosi yang disebabkan oleh stres. Strategi coping adalah bentuk manajemen yang digunakan individu secara sadar dan terarah untuk menghadapi masalah atau stresor yang mereka hadapi [14]. Hal ini dapat berguna untuk menghilangkan masalah, nyata atau tidak nyata, dan mengatasi stres mencakup semua upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi, dan menolak tuntutan tekanan [15].
Aspek-aspek strategi coping terdiri atas problem focused coping yang meliputi Perencanaan (planning), Penekanan kegiatan yang bersaing (suppression of competing), Pelepasan perilaku (Behavioral disengagement), Pembatasan koping (restraint coping), Menggunakan dukungan instrumental (use instrumental support), dan emotional focused coping antara lain Menggunakan dukungan emosional (use emotional support), Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi (focusing on and venting of emotions), Pelepasan mental (mental disengagement), Reintrepetasi dan pertumbuhan yang positif (positive reinterpretation and growth), Menyalahkan diri sendiri (self blame), Penerimaan (acceptance), Penolakan (denial), humor, Penggunaan zat (substance use), Beralih ke agama (turning to religion), lalu ada faktor-faktor strategi coping yaitu Kecerdasan emosi, Stres, dan Kematangan beragama [16]. Psikologi remaja juga bergantung pada lingkungan keluarga ketika keluarga merasa dicintai, dihargai, diperhatikan dan bagian dari jaringan sosial seperti berorganisasi perkotaan, dapat berkembang dalam diri individu. Dalam kasus anak muda yang berasal dari situasi keluarga yang sumbang, biasanya mereka tidak mendapat perhatian dari orang tuanya karena ayah dan ibunya tinggal terpisah. Perhatian dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya dapat berkurang saat terjadi konflik rumah tangga dan berujung pada perceraian [12].
Hal ini terlihat dari penelitian terdahulu yang berjudul (Efektivitas Pelatihan Self-Compassion Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Anak Keluarga Tidak Harmonis). Responden penelitian ini adalah anak-anak berusia antara 13-16 tahun di Yogyakarta yang orang tuanya tidak cocok. Berdasarkan hasil analisis data penelitian, terdapat perbedaan tingkat ketergantungan anak dari keluarga tidak harmonis sebelum dan sesudah mengikuti penelitian. berpartisipasi dalam pelatihan self-compassion[9].
Data lain yang diperoleh dengan judul (Coping Stres Pada Remaja Broken Home). Dalam penelitian ini terdapat tiga orang informan dengan latar belakang keluarga broken home yang menyebabkan 3 orang diantaranya mengalami stres. Tiga informan mengalami stres yang dibuktikan dengan perubahan perilaku, emosi, kognitif dan fisik antara lain susah tidur, kehilangan nafsu makan, sulit mengelola emosi, kurang konsentrasi, kurang semangat dan sering sakit kepala [17].
Data selanjutnya yang berjudul (Kesejahteraan Anak Dan Remaja Pada Keluarga Bercerai Di Indonesia) Studi ini mengungkapkan bahwa indikator kesejahteraan anak dan remaja meliputi afek (positif-negatif), pemenuhan kebutuhan, self-efficacy, indikator kepribadian, dan indikator hubungan sosial. Faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan anak dan remaja pasca perceraian adalah fungsi keluarga, kepribadian ibu, kepribadian anak, status perceraian orang tua, dukungan sosial, struktur keluarga, kualitas komunikasi orang tua-anak [18].
Berdasarkan wawancara kepada dua remaja terkait coping stres pada remaja yang memiliki keluarga disharmonis menunjukkan adanya coping stres positif yang terlihat dari pelampiasan stres subjek di aspek Use Emotional Support, Mental Disengagement, Positive Reinterpretation and Growth, Humor, Turning to Religion, Subtance Use
Aspek tersebut berpengaruh terhadap kegiatan yang dilakukan oleh subjek untuk bisa ceria, tertawa, dan mengendalikan emosinya. Dalam latar belakang ini, penting bagi peneliti untuk membahas topik tersebut secara ilmiah coping stres pada remaja yang memiliki keluarga disharmonis.
METODE
A. Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, menurut Imam Gunawan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menekankan pada quality atau hal yang terpenting dari sifat suatu barang/jasa. Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Fenomenologi adalah peneliti menerapkan subjektivitas dan interpesonalnya dalam proses penelitian eksplorasi. Fenomenologi bertujuan untuk menjelaskan pengalaman yang dialami seseorang dalam kehidupan [19]. Unit analisis adalah satuan yang diteliti yan berkaitan dengan benda, individu, kelompok, sebagai subjek penelitian.
B. Unit Analisa
Dalam penelitian ini, unit analisis yang digunakan ialah Remaja, Keluarga Disharmonis, dan Coping Stres. Subjek merupakan individu yang membagikan informasi tentang situasi serta kondisi dalam situasi penelitian. Subjek penelitian berjumlah 2 remaja yang mengalami keluarga disharmonis. Karakteristik dari Subjek penelitian yaitu: remaja yang mengalami keluarga yang bercerai, remaja yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, remaja berusia 12-21 tahun, remaja yang berdomisili di kota Sidoarjo.
C. Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik sampling purposive, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu [20].
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah upaya memperoleh informasi. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan Wawancara dan Pedoman wawancara. Wawancara adalah pertukaran informasi secara lisan guna menyatukan informasi serta pemahaman responden terhadap fenomena sosial. Wawancara dilakukan dengan satu orang atau lebih, yang bertujuan untuk menggali fenomena sosial atau budaya mengenai keyakinan, perilaku, pengalaman responden lebih dalam. Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur. Wawancara semi terstruktur yaitu responden dimintai pendapat sebagai upaya menemukan permasalahan secara terbuka [20]. Pedoman wawancara yaitu acuan dalam proses pengumpulan data, yang memberikan batasan serta arahan saat wawancara berlangsung sehingga hasil yang diperoleh dapat dipertanggung jawabkan [20]. Isi dalam pedoman wawancara meliputi semua aspek dari coping stres diantara nya ada aspek problem focused coping dan aspek emotion focused coping.
E. Pengecekan Keabsahan Data
penelitian kualitatif memiliki kriteria dalam pengecekan keabsahan data, yakni credibility (uji kepercayaan), transferability (derajat ketepatan), dependability (penelitian yang dapat dipercaya), conformability (objektivitas pengujian kualitatif), data dinyatakan kredibel apabila memiliki kesamaan antara yang dilaporkan dengan yang sebenarnya terjadi pada objek penelitian [20]. Peneliti menggunakan triangulasi teori, yaitu membahas permasalahan yang dikaji dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori, sehingga dapat dianalisisdan ditarik kesimpulan. Teknik analisa data ketika data berlangsung dan setelah pengumpulan data selesai. Rangkaian dalam menganalisa data yakni data collection, data reduction, data display, dan conclusion drawing/verifivation [21].
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan perbandingan pada deskripsi temuan, peneliti menemukan analisis dari data subjek
Aspek-aspek Problem Focused Coping | Subjek I | Subjek II |
Perencaan | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Penekanan kegiatan yang bersaing | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Pelepasann perilaku | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Pembatasan coping | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Menggunakan dukungan instrumental | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Hasil dari aspek problem focused coping menunjukkan bahwa Subjek I dan Subjek II tidak menggunakan aspek-aspek tersebut.
Aspek-aspek Emotion Focused Coping | Subjek I | Subjek II |
Menggunakan dukungan emosional | Subjek I merasa lemah jika dirinya stres, karena di saat stres dan tidak ada yang bisa diajak bercerita maka Subjek I akan memilih memendam masalah tersebut yang malah berujung overthinking. Dari bercerita kepada teman-teman nya, Subjek I bisa mendapatkan saran untuk menyelesaikan masalah nya tersebut. | Subjekk II merasa dirinya bisa menyelesaikan masalah dan menurunkan stres itu berkat dari teman-temannya, karena jika tidak ada teman-temannya, Subjek II akan merasa hilang arah. Teman Subjek II bisa mendengarkan dan memberi solusi atau saran kepada Subjek II ketika Subjek II bercerita. |
Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Pelepasan mental | Subjek I akhir-akhir ini lebih suka untuk berpergian untuk melihat alam yang indah untuk sekedar meredakan stres bersama temannya. Subjek I merupakan orang yang tidak ribet, jika keadaan stres maka hal yang dilakukan adalahh keluar rumah dan menuju teman-temannya. | Subjek II suka berkegiatan entah mengalami stres atau tidak, dan kesukaan Subjek II adalah memodifikasi motornya sendiri dari kerangka motor, mesin, hingga warna motornya lalu jika sudah selesai memodifikasi Subjek II akan mencoba nya dijalanan denngan cara kebut-kebutan. |
Reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif | Subjek I percaya semua masalah dan berujung stres dikehidupannya itu pasti ada hikmah dan pembelajarannya untuk masalah yang akan datang. | Subjek II merasa jika masalah dan stres yang dirasakan itu pasti ada hikmah nya, maka dari itu Subjek II ingin menyelesaikan masalah yang di alami nya. |
Menyalahkan diri sendiri | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Penerimaan | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Penolakan | Tidak digunakan Subjek I | Tidak digunakan Subjek II |
Humor | Subjek I marasa jika humor itu bisa meredakan stres nya, apalagi jika bersama temannya, humor yang dirasakan sangat terasa hingga stres yang dirasakan itu seperti tidak ada. Tetapi jika Subjek I merasa sakit hati dengan perkataan orang tuanya bisa saja Subjek I tidak tertawa di saat bercanda dengan temannya. | Subjek II merasa terbantu dengan humor tetapi tidak banyak, karena humor hanya meringankan stres bukan menghilangkan stres. Subjek II bisa tertawa dengan tingkah lucu dan konyol dari teman-temannya. Pernah ketika disaat stres nya cukup berat Subjek II tidak tertawa dengan tingkah lucu dan konyol dari teman-temannya. |
Penggunaan zat | Subjek I seorang perokok, kadang kala juga meminum minuman alkohol, tetapi Subjek I tidak akan pernah mencicipi atau mencoba obat-obatan terlarang atau narkoba, karena Subjek I tahu seberapa mengerikannya efek dari narkoba tersebut. | Subjek II biasanya merokok dan sesekali meminum alkohol, tetapi untuk mencoba obat-obatan terlarang atau narkoba, Subjek II tidak akan pernah mencoba, karena sudah tau betapa mengerikannya efek dari narkoba tersebut. |
Beralih ke agama | Subjek I merasa tenang jika mendekatkan diri kepada Tuhan disaat stres, maka dari itu Subjek I akan lebih rajin untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan Subjek I beranggapan jika ada masalah yang datang disitu Subjek I harus lebih rajin ibadah untuk diri nya sendiri. | Subjek II percaya jika mendekatkan diri kepada Tuhan bisa menyelesaikan masalah dan menghilangkan stres. Tetapi sekarang Subjek II lalai dan kurang rajin untuk beribadah karena pengaruh dari lingkungan. |
Hasil dari aspek Emotional Focused Coping menunjukkan Subjek I dan Subjek II menggunakan aspek tersebut diantaranya: menggunakan dukungan emotional (use emotional support), pelepasan mental (mental disengagement), reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif (positive reinterpretation and growth), humor, penggunaan zat (substance use), beralih ke agama (turning to religion). Subjek I dan Subjek II lebih sering menggunakan strategi coping dari aspek emotional focused coping daripada menggunakan aspek problem focused coping.
B. Pembahasan
Coping stres adalah upaya kognitif dan perilaku untuk mengatasi tuntutan eksternal dan/atau mandiri yang dinilai sebagai stres atau tekanan. Aspek aspek strategi coping antara lain problem focused coping yang terdiri dari Perencanaan (planning), Penekanan kegiatan yang bersaing (suppression of competing), Pelepasan perilaku (Behavioral disengagement), Pembatasan coping (restraint coping), Menggunakan dukungan instrumental (use instrumental support), dan emotional focused coping antara lain Menggunakan dukungan emosional (use emotional support), Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi (focusing on and venting of emotions), Pelepasan mental (mental disengagement), Reintrepetasi dan pertumbuhan yang positif (positive reinterpretation and growth), Menyalahkan diri sendiri (self blame), Penerimaan (acceptance), Penolakan (denial), humor, Penggunaan zat (substance use), Beralih ke agama (turning to religion) [16].
Subjek I dan Subjek II mengalami stres jika berada di lingkungan rumah, karena hubungan antara kedua Subjek dengan anggota keluarga yang lain tidak begitu harmonis dan dekat. Subjek I tidak begitu dekat dengan ibu nya dikarenakan Subjek I merasa ibunya tidak mau mengalah ketika bertengkar dengan Subjek I, lalu di saat Subjek I mempunyai masalah di luar keluarga dan Subjek I bercerita kepada ibunya, ibunya tidak memberi saran atau menenangkan Subjek I tetapi malah menambah masalah baru yang berujung stres. Sedangkan Subjek II merasa tidak dibutuhkan dirumah, karena setiap kali Subjek II keluar rumah dan pulang lama, Subjek II tidak dicari oleh anggota keluarganya. Maka dari itu Subjek II memilih untuk jarang berada dirumah dan pulang kerumah jika sedang cape berkegiatan diluar rumah. Subjek II juga sering bertengkar dengan ibu nya dan juga nenek nya yang membuatnya tidak betah dirumah berlama-lama.
Berdasarkan aspek coping stres, kedua Subjek sama-sama mempunnyai persamaan pada aspek perencanaan, Pelepasan Perilaku, Menggunakan Dukungan Instrumental, Menggunakan Dukungan Emosional, Pelepasan Mental, Reinterpretasi dan Pertumbuhan Yang Positif, Humor, Beralih ke Agama, dan Penggunaan Zat. Perencanaan, mempertimbangkan situasi stres, termasuk kegiatan yang dilakukan, mempertimbangkan sebuah langkah yang diperlukan dan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II dengan berkegiatan diluar rumah bertemu dengan teman temannya lalu bercerita akan masalah yang dihadapi dan bisa meredakan stres yang dialami. Hal ini didukung juga oleh teori Hurlock yang berpendapat bahwa Anak yang lebih tua sudah memiliki cara hidup tertentu, yang cenderung menolak setiap unsur yang mengubah cara hidup yang sudah mapan, apalagi jika sudah mengembangkan sikap tidak senang dengan orang tuanya [22].
Penekanan kegiatan yang bersaing, tidak memperdulikan rencana lain, mencoba menghindar dari pengaruh dengan kegiatan lain, membiarkan kegiatan yang tidak penting. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II dengan ketika mendapatkan masalah akan memilih untuk menghindari sumber stres karena kedua Subjek tidak ingin mendapatkan masalah dan stres baru. Hal ini didukung oleh teori Pelepasan Perilaku, sesuatu hal untuk mengurangi keterlibatan dengan stresor, bahkan tidak semangat lagi untuk mencoba apa yang diinginkan. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II dengan berkegiatan diluar dengan teman temannya disatu sisi Subjek juga takut stres yang di rasakan makin berat dan memikirkan dampak dari masalah yang dihadapi tetapi ada teman yang selalu ada untuk Subjek ketika mengalami stres. Hal ini juga didukung oleh teori (Alcaine & Behar) mengatakan perilaku menghindar cenderung digunakan untuk menghadapi ancaman di masa depan [23].
Menggunakan dukungan Instrumental, melalui nasihat, bantuan, atau informasi. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II bercerita tentang masalah yang dihadapi dengan temannya, lalu sehabis bercerita bisa diberikan saran apa yang harus dilakukan Subjek tentang masalah yang telah dialami. Hal ini juga didukung oleh teori (Asley&Vangie) bantuan merupakan istilah umum yang merujuk pada perilaku aktif mencari bantuan dari orang lain karena menguntungkan bagi orang tersebut untuk mempercepat mencari solusi dari masalah yang dialami [24]. Menggunakan Dukungan Emosional, yaitu melalui dukungan moral, simpati atau pengertian. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II merasakan stres yang berat hingga pikirannya sulit dikontrol, karena itu Subjek langsung bercerita kepada temannya untuk meredakan stres sehingga subjek terhindar dari pikiran jahat yang bisa mencelakakan Subjek. Hal ini juga didukung oleh teori (Sarwono) moral merupakan suatu hal yang penting sebagai kepribadian yang matang dan menghindari diri dari konflik-konflik peran yang selalu terjadi pada masa remaja [25].
Pelepasan Mental, mengalihkan pikiran dari masalah ke suatu hal atau kegiatan lainnya. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II dengan bermain bersama temannya untuk meredakan stres yang dirasakan. Reinterpretasi dan pertumbuhan yang positif, mendapatkan sesuatu yang baik dari apa yang terjadi. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II menjadikan masalah yang dialami menjadi sebuah pembelajaran untuk masalah yang akan datang. Humor, Bercanda tentang masalahnya bisa dilakukan dengan menertawakan statusnya sendiri /atau membawa lelucon tentang masalahnya ke lingkup percakapan sehari-hari. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II menertawai lelucon dari temannya tentang apa yang dialami dan itu membuat Subjek tertawa dan stres yang diarasakan berangsur mereda. Hal ini juga didukung oleh teori (Hasanat&Subandi) menyebutkan bahwa humor dapat membangkitkan emosi positif, sehingga membuat orang menjadi rileks dan tidak stres, sehingga pikiran individu dapat lebih fokus untuk mencari solusi dari suatu masalah [26].
Beralih ke agama, perilaku orang yang menenangkan serta menuntaskan permasalahan secara keagamaan. Orang bergeser ke agama dikala lagi tekanan pikiran sebab alibi yang berbagai berbagai: agama berperan selaku sumber sokongan emosional, selaku fasilitas buat reinterpretasi positif ataupun selaku salah satu metode kurangi tekanan pikiran. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II mendekatkan diri kepada tuhan saat sedang merasakan stres yang dialami. Hal ini juga didukung oleh teori (Bukhori) mengatakan bahwa agama berperan penting dalam membangun moralitas karena nilai-nilai moral yang bersumber dari agama bersifat tetap dan universal[27]. Penggunaan Zat, menggunakan zat (alkohol, rokok, dan obatan-obatan) untuk mengatasi masalah tersebut. Hal ini dibuktikan Subjek I dan Subjek II merokok dan meminum alcohol disaat merasakan stres meskipun bukan untuk pereda stres dan Subjek tidak ingin mencoba zat narkoba karena efek dan ketergantungan nya. Hal ini didukungoleh teori (Kartono) Jadi yang disebut kenakalan remaja atau juvenile delinquency adalah gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh penelantaran sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan perilaku menyimpang [28].
Disisi lain, kedua Subjek juga mempunyai perbedaan pada aspek Pembatasan Coping, Memfokuskan Pada Peluapan atau Pelepasan Emosi, Menyalahkan Diri Sendiri, Penerimaan, dan Penolakan. Pembatasan koping, individu mengurangi aktifitasi kompetisi atau dan tidak melakukan susuatu yang terburu-buru. Subjek I merasakan tidak nyaman saat merasakan stres, merasa kampus adalah sumber stres kedua setelah rumah. Sedangkan Subjek II lebih memilih focus untuk menyelesaikan masalah yang dialami dan menghadapi masalah tersebut untuk merasakan kebahagian. Memfokuskan pada peluapan atau pelepasan emosi, berpikir dan fokus pada tekanan atau amarah dan membiarkan emosi keluar. Subjek I akan mengontrol pikiran yang dirasakan agar tidak bertindak yang mengakibatkan tambah buruk, dan Subjek I akan bersikap biasa saja kepada lingkungan rumah seperti tidak terjadi apa apa. Sedangkan Subjek II akan bermuka dua seperti tidak terjadi apa apa dilingkungan rumah, namun dari situ Subjek II membuat pikiran semakin berat hingga mengakibatkan kecelakaan. Hal ini juga didukung oleh teori yang mengatakan Ketika remaja sudah mampu menggunakan keterampilannya untuk mengontrol perilakunya dan mengekspresikan dirinya dalam situasi yang tepat, maka dapat didefinisikan bahwa remaja tersebut mempunyai tingkat pengaturan diri yang mumpuni. Tetapi ketika remaja meledak atas perilakunya sedemikian rupa sehingga terjadi perilaku agresif, maka remaja harus mempunnyai pengaturan diri yang dapat digolongkan sebagai kurang mampu [29].
Menyalahkan diri sendiri kritik diri mengenai tanggung jawab pribadi dalam menghadapi stres yang dirasakan. Subjek I akan menyalahkan orang lain dari masalah yang di alami, masalah yang bukan dihasilkan oleh Subjek I, hingga masalah yang di alami kurang bisa dihadapi yang bisa menyebabkan Subjek I kurang tertawa saat bermain dengan teman temannya. Sedangkan Subjek II merasa masalah masalah yang di alami itu dari sebab akibat yang diperoleh dari lingkungannya, hingga membuat Subjek I memilih untuk bermain bersama teman temannya dan masalah tersebut dibuat pelajaran. Penerimaan, suatu yang penuh dengan keadaan tekanan pikiran serta kondisi yang memaksanya buat menanggulangi permasalahan tersebut, belajar buat hidup serta menerima terhadap kondisi yang terjalin. Subjek I memilih untuk sabar karena tidak merasa sendirian, ada temannya yang bisa diajak untuk bercerita. Sedangkan Subjek II masalah yang menghasilkan stres mau tidak mau harus dihadapi, jika Subjek II merasa stres Subjek II akan memilih bermain dengan teman temannya untuk meredakan stres. Perihal ini pula didukung oleh teori oleh Hurlock berkata penerimaan ialah satu ciri yang dipunyai seseorang yang mempunyai karakter positif, yang dimana dari penerimaan itu sendiri ada sebagian tipe, yang dimulai dari menerima terhadap realitas, menerima tanggung jawab, menerima untuk bersosial, menerima dalam kontrol emosi [22]. Penolakan, tidak percaya bahwa masalah itu telah terjadi. Subjek I akan menyalahkan lingkungan sekitar akan masalah yang terjadi dan akan menahan emosi agar tidak bertindak untuk mencelakakan dirinya sembari meredakan stres dengan bercerita. Sedangkan Subjek II merasa setiap orang itu memiliki stres nya masing masing dan masalah nya masing masing, karena itu Subjek II sulit menahan emosi yang mengakibatkan dampak yang tidak diinginkan terjadi yang mengakibatkan penyesalan.
Strategi coping yang dialami individu dilatarbelakangi oleh faktor yang sama yaitu kecerdasan emosi. Berikut gambaran faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosikedua Subjek. Kedua Subjek ketika merasakan stres lebih memilih untuk keluar rumah daripada berdiam diri dirumah, alasan memilih untuk keluar rumah agar stres yang dirasakan mereda, karena dukungan sosial bisa bertemu dengan teman teman dan bercanda gurau bersama mereka juga. Di satu sisi Subjek I dan II memiliki hobby yang berbeda untuk meredakan stres. Subjek I mempunnyai hobby traveling di alam bebas bersama teman temannya di akhir pekan. Sedangkan Subjek II mempunyai hobby memodifikasi motornya sendiri dengan mesin dan pernak pernik motor yang sudah dibeli, lalu sehabis selesai memodif motor, Subjek II melakukan kebut kebutan menggunakan motornya di jalanan Sidoarjo atau Surabaya. Hal ini didukung teori Bar-On mengartikan kecerdasan emosional selaku, keahlian, kualifikasi dan kecakapan non-kognitif yang bisa mempengaruhi keahlian orang buat sukses menanggulangi tuntutan serta tekanan lingkungannya secara efisien [16]. Keahlian tersebut meliputi keahlian buat menyadari, menguasai serta mengekspresikan emosi serta keahlian buat menuntaskan permasalahan yang berasal dari orang tersebut ataupun lingkungannya. Menurut Kulkarni, Sudarshan, dan Begum, kecerdasan emosional yang positif memungkinkan orang memecahkan masalah dan beradaptasi dengan stres [16].
Di sisi lain penelitian yang saya buat juga memiliki kekurangan yaitu, kurangnya jumlah subjek yang saya ambil dalam membuat penelitian ini dan tidak melibatkan faktor-faktor coping stres dalam pembuatan pedoman wawancara.
SIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua orang informan dengan latar belakang keluarga broken home menimbulkan stres pada subjek. Kondisi kedua informan yang mengalami stres ditunjukkan dengan perubahan perilaku, emosi, insomnia antara kognitif dan fisik, kesulitan mengendalikan emosi, tidak mampu berkonsentrasi dan kurang semangat. Bentuk stres coping yang digunakan oleh kedua subjek terdiri atas problem-focused coping dan emotion-focused coping. Coping stresbentuk emotion focused coping cenderung lebih banyak digunakan pada kedua Subjek, antara lain use emotional support, mental disengagement, positive reinterpretation and growth, humor, substance use, turning to religion. Aspek coping stres bisa dijalankan terwujud dan berbuah positif bagi kedua Subjek dalam menjalani aktivitasnya sehari hari dan faktor yang menterbelakangi kedua subjek yaitu kecerdasan emosi.
Kami berharap komunikasi keluarga akan memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk perilaku, emosi, dan masalah kognitif anak-anak. Oleh karena itu, orang tua harus menjaga hubungan dan komunikasi yang baik dengan anggota keluarga, terutama anak. Orang tua perlu bersikap terbuka dan empati kepada anak, memberikan dukungan dan emosi positif kepada anak agar mereka merasa nyaman menceritakan masalah kepada orang tua. Namun yang terpenting adalah orang tua meluangkan waktu berkualitas bersama anak dan meluangkan waktu untuk mendengarkan cerita dan/atau keluhan anak, terutama masalah yang dialami anak.
Diharapkan penelitian lain dapat mengembangkan penelitian dengan penelitian lain lalu menambahkan variabel lain dan lebih banyak penelitian mungkin diperlukan pada remaja dengan keluarga disharmonis.
References
- R. O. Andayani, “Status Identitas Diri Remaja ( Studi Kasus Tunggal pada Remaja dari Keluarga Disharmonis ),” Psikologi, vol. 2, no. 1, pp. 89–95, 2017.
- S. Y. Murtiwidayanti, “Sikap dan Kepedulian Remaja dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkoba,” J. Penelit. Kesejaht. Sos., vol. 17, no. 1, pp. 47–60, 2018.
- F. Enggreni, "Strategi Pendidikan Keluarga Dalam Mengantisipasi Krisis Moral Di Kalangan Remaja Di Desa Padang Tambak Kecamatan Karang Tinggi Kabupaten Bengkulu Tengah," 2019.
- A. Putra, “Rational Emotive Therapy untuk Remaja Berpikiran Negatif: Elaborasi Doktrin QS At-Tin : 4,” J. Ilm. Syi’ar, vol. 20, no. 1, p. 19, 2020.
- M. Octaviani, “Stres, Strategi Koping, Dan Kesejahteraan Subyektif Pada Keluarga Orang Tua Tunggal,” vol. 11, no. 3, pp. 169–180, 2018.
- F. N. A. Rizky Meiputra Nugraha1, “Efek Disharmoni Keluarga Pada Anak,” vol. 2, no. March 2016, pp. 1–3, 2014.
- N. L. Munawaroh and N. Azizah, “Disharmoni Keluarga Ditinjau Dari Intensitas Komunikasi (Studi Kasus Satu Keluarga di Desa Karangpucung Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten Banyumas),” KOMUNIKA J. Dakwah dan Komun., vol. 12, no. 2, pp. 291–310, 2018.
- D. W. Lestari, “Penerimaan Diri dan Strategi Coping Pada Remaja korban Perceraian Orang Tua,” J. Psikol., vol. 2, no. 1, pp. 1–13, 2014.
- L. A. Akmala, “Efektivitas Pelatihan Self-Compassion Untuk Meningkatkan Resiliensi Pada Anak Keluarga Tidak Harmonis,” J. Psikol. Islam, vol. 6, no. 1, pp. 13–24, 2019.
- B. Sarianti, “Tingkat Kepatuhan Ayah Membayar Nafkah Anak Pasca Perceraian,” Supremasi Huk. J. Penelit. Huk., vol. 27, no. 2, pp. 105–117, 2019.
- J. Andriyani, “Strategi Coping Stres Dalam Mengatasi Problema Psikologis,” At-Taujih Bimbing. dan Konseling Islam, vol. 2, no. 2, p. 37, 2019.
- I. Ifdil, I. P. Sari, and V. N. Putri, “Psychological well-being remaja dari keluarga broken home,” SCHOULID Indones. J. Sch. Couns., vol. 5, no. 1, p. 35, 2020.
- G. C. I. Situmorang and D. R. Desiningrum, “Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dengan Coping Stres Pada Mahasiswa Tingkat Pertama Jurusan Musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta,” J. EMPATI, vol. 7, no. 3, pp. 1112–1118, 2020.
- R. T. Putri, L. Lahmuddin, and N. Darmayanti, “Hubungan Coping Stres Dan Dukungan Sosial Dengan Subjective Well Being Siswa Kelas XI di Sekolah SMA Singosari Deli Tua,” Tabularasa J. Ilm. Magister Psikol., vol. 2, no. 2, pp. 119–126, 2020.
- S. J. Sihombing, “Coping Stres Antara Ibu Rumah Tangga Dengan Ibu Bekerja Dalam Menghadapi Pembelajaran Daring,” J. Psikol. Pendidik. dan Pengemb. SDM, vol. 10, no. 1, pp. 49–57, 2021.
- N. Rahmawati, “Hubungan antara kecerdasan Emosi dengan Strategi Koping pada Mahasiswa yang bekerja,” pp. 10–30, 2019.
- C. F. Zahra and F. Kawuryan, “Coping Stres Pada Remaja Broken Home,” Proceeding Semin. Nas., vol. volume 1, no. Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal, pp. 219–227, 2017.
- A. S. 2 Kartika Sari Dewi1, “Kesejahteraan Anak dan Remaja pada,” pp. 65–75, 2013.
- A. Strauss and J. Corbin, “Teknologi, Badan Pengkajian dan Penerapan,” Pengolah. Air Limbah Domest. Individ. Atau Semi Komunal, pp. 189–232, 2007.
- Nugrahani Farida, “Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Pendidikan Bahasa,” vol. 1, no. 1, hal. 305, 2014.
- ES Gardner, “Triangulasi dalam Penelitian Kualitatif,” no. 5, hal. 63–65, 2010.
- F. Mufidatu Z dan Y. Sholichatun, “Penerimaan Diri Remaja yang Memiliki Keluarga Tiri,” Psikoislamika J. Psikol. dan Psikol. Islam, jilid. 13, no. 1, hal. 29, 2016.
- H. Helen, MP Satiadarma, dan RE Koesma, “Penerapan Art Therapy Untuk Mengurangi Perilaku Penghindaran Dalam Gad Pada Dewasa Awal Yang Bekerja,” J. Muara Ilmu Sos. Humaniora, dan Seni, vol. 3, no. 2, hal. 520, 2019.
- AF Muafiah, “Identifikasi Perilaku Pencarian Bantuan Terkit Program Studi Pada Remaja,” Αγαη, vol. 8, no. 5, hal. 55, 2019.
- DP Hilman dan ES Indrawati, “Pengalaman Menjadi Narapidana Remaja Di Lapas Klas I Semarang,” Empati, vol. 6, no. 3, hlm. 189–203, 2017.
- S. Alwi, “Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Humor pada Remaja,” ITQAN J. Ilmu-Ilmu Kependidikan, vol. 10, no. 1, pp. 113–128, 2019.
- S. Ayu Rianti and N. Hidaya, “Peran agama dalam membentuk kesehatan mental remaja,” J. Manthiq, vol. V, no. 1, hal. 25–31, 2020.
- N. Unayah dan M. Sabarisman, “Fenomena Kenakalan Remaja Dan Kriminalitas,” Sosio Inf., vol. 1, no. 2, hal. 121–140, 2016.
- Sumijah, "Pengaruh Dukungan Sosial dan Regulasi Diri terhadap Agresivitas Remaja Dari Keluarga Broken Home," Univ. Muhammadiyah Malang, 2017.