Elementary Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v22i.743

Ethics of Learning in the Perspective of Scholars: Etika Belajar Dalam Perspektif Ulama

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Ethics Learning Sheikh Az-Zarnuji

Abstract

In today's era, juvenile delinquency is rife in the external environment and in the world of education. This study aims to determine the concept of learning ethics according to Islam and according to Shaykh Az-Zarnuji. This research is a type of library research, research whose object of study uses library data in the form of books. This research was conducted by reading, reviewing, and analyzing various literature articles, journals and books of Ta'limul Muta'alim. The results of this study Ethics in the teaching and learning process is clear as the selection of attitudes in the learning process that will determine the outcome of education, while according to Sheikh Az-Zarnûjî learning morals include: Intention, choosing knowledge, teachers, friends, steadfastness in learning, respect for knowledge and scholars, seriousness, perseverance, interest in learning, beginning of learning, learning discipline, trust in learning, and wara‟ in learning. study.

Pendahuluan

Islam merupakan agama terakhir sebagai penutup semua agama yang telah ada. Ajaran-ajaran Islam yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul bertujuan sebagai rahmatan lil “alamin. Salah satu ajaran agama Islam adalah menuntut ilmu. Pendidikan dan manusia bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan[1]. Hal ini membuat setiap muslim berusaha menangkap dimensi yang terpancar dalam Islam melalui pendidikan Islam. Pendidikan Islam hadir sebagai tanggapan sejarah atas berbagai persoalan keagamaan yang dialami umat Islam[2] Oleh karena itu, Islam telah mengatur seluruh aspek kehidupan dari urusan sandang, pangan, papan, dan pendidikan.

Belajar adalah sesuatu proses yang bersambung serta berkesinambungan dalam pergantian kehidupan manusia, belajar tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dalam makna kecil belajar merupakan menuntut ilmu. Menuntut ilmu dalam Islam merupakan sebuah kewajiban untuk setiap orang. Tidak hanya itu, ganjaran pahala yang Allah SWT janjikan bagi orang yang mencari ilmu setara dengan pahala orang yang berjihad di jalan Allah SWT. Oleh sebab itu tidak seluruh orang sanggup bersabar serta bersusah payah dalam mencari ilmu. Dalam proses belajar itu terdapat 3 (tiga) hal yang tidak dapat dipisahkan yaitu hasrat, usaha, dan hasil dari proses belajar tersebut. Hasrat sangat berarti buat mengawali suatu proses belajar[3]. Dalam menuntut ilmu terdapat sesuatu yang sangat berarti serta yang harus diperhatikan yaitu adab/etika yang menjadi kepribadian dalam menuntut ilmu[4] Seorang siswa dan guru akan ada keterkaitan yang berkelanjutan melalui penyaluran ilmu kepada muridnya dengan melakukan pembelajaran di sekolah atau majelis ta’lim yang ada. Kegiatan pembelajaran tersebut tentunya harus disertai dengan adab. Oleh sebab itu, orang yang berpengetahuan akan ditinggikan oleh Allah SWT derajatnya dikarenakan adanya adab/etika dalam menuntut ilmu. Adapun menurut Ma’munudin dan Muslihah belajar merupakan aktivitas yang dilakukan oleh siswa dalam rangka membangun makna atau pemahaman. Oleh karena itu, dalam proses pembelajaran guru perlu memberikan dorongan kepada siswa untuk menggunakan kemampuan dan keahlian yang dimilikinya untuk membangun suatu gagasan. Kegiatan belajar mengajar ialah suatu rangkaian aktivitas antara guru dan siswa yang dilakukan atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung untuk mendidik dan mencapai tujuan tertentu. Hubungan antara guru dan siswa merupakan syarat utama berlangsungnya proses belajar mengajar.[5]

Selain itu Zamhari dan Masamah juga mengemukakan bahwa belajar adalah kewajiban bagi setiap individu. Aktivitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung normal, terkadang lancar dan terkadang tidak lancar. Selain itu, terkadang siswa dapat menangkap secara cepat dan terkadang sebaliknya. Kemudian jika ditinjau dari sisi semangatnya yang terkadang tinggi tetapi terkadang juga sulit. Kondisi seperti ini sering dijumpai pada siswa. Dari beberapa pemaparan di atas, menyimpulkan bahwa belajar adalah perubahan yang tertanam dalam perilaku atau potensi perilaku individu atau sekelompok orang sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang dilakukannya. Belajar merupakan akibat dari adanya hubungan antara stimulus dan respons. Seseorang dianggap telah mempelajari sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan pada perilakunya[6].

Ismail dan Hadi menggolongkan etika siswa dan guru menjadi tiga bagian yaitu: Etika siswa dengan diri pribadi; Etika siswa dengan pelajarannya; dan Etika siswa dengan guru. Kemudian etika guru terdiri dari: Etika guru terhadap diri sendiri; Etika guru dengan pelajarannya; dan Etika guru dengan siswa. Pengelompokan ini pun berdasarkan pada beberapa poin penting yang termuat di dalamnya. Selain etika siswa dan etika guru, terdapat pula etika wali murid. Hal ini dikarenakan peran wali murid dalam pendidikan anaknya tetaplah penting, meskipun seorang anak telah dititipkan pada gurunya.[7] Seperti yang telah dinyatakan oleh Rimasasi dan Astutik bahwa akhlak adalah kondisi jiwa seseorang yang kemudian mempengaruhi sikap, tindakan, serta perbuatan tanpa adanya pemikiran terlebih dahulu. Sehingga, akhlak Islami yaitu akhlak atau perilaku seseorang yang sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang tercermin dalam kehidupan sehari-harinya baik melalui pikiran, perkataan, maupun perbuatan dan menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pedoman hidupnya.[8]

Sebelumnya telah banyak penelitian yang membahas etika belajar dalam pandangan Syaikh Az-Zarnuji. antara lain: Pertama, riset yang berjudul “Etika Menuntut Ilmu Dalam Kitab Ta’lim Muta’alim” yang dilakukan oleh Ruswandi dan Wiyono [9]. Kedua, riset yang berjudul “Relevansi Metode Pembentukan Pendidikan Karakter dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim Terhadap Dunia Pendidikan Modern” yang dilakukan oleh Zamhari dan Masamah[6], Ketiga, riset yang berjudul “Etika Menuntut Ilmu Menurut Kitab Ta’lim Muta’alim” yang dilakukan oleh Saihu[4]. Dari beberapa penelitian terdahulu tersebut, tampak ketiga kajian masih membahas beberapa bagian dari etika belajar yang ditawarkan oleh Syaikh Az-Zarnuji yang sebenarnya mencakup 13 pasal. Artinya ketiga peneliti di atas masih membahas salah satu etika belajar dari 13 pasal yang dipaparkan Syaikh Az-Zarnuji dan belum meneliti secara menyeluruh. Oleh karena itu dalam pembahasan yang penulis lakukan, akan mengkaji secara menyeluruh 13 pasal etika belajar yang dipaparkan oleh Syaikh Az-Zarnuji. Untuk memudahkan hal tersebut, maka peneliti akan membahas beberapa hal antara lain: Biografi Syaikh Az-Zarnuji; dan Etika belajar menurut Syaikh Az-Zarnuji dalam kitab Ta’lim Muta’allim. Selanjutnya dari penelitian ini diharapkan dapat melengkapi berbagai hal yang telah diteliti oleh para peneliti sebelumnya yang mengkaji secara parsial dari etika belajar yang dipaparkan oleh Syaikh Az- Zarnuji.

Dalam perspektif Islam, makna belajar bukan hanya sekedar upaya perubahan perilaku. Konsep belajar dalam Islam merupakan konsep belajar yang ideal, karena sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Seorang siswa yang telah melalui pengalaman yang berkembang jelas digambarkan dengan munculnya mental positif dan pertemuan baru. Pertemuan-pertemuan mental ini seharusnya menumbuhkan atribut, perspektif, dan kemampuan produktif yang berbeda, bukan merusak kemampuan. Menurut pandangan Islam, keahlian yang bermanfaat ini harus terlihat, misalnya, orang yang tidak bisa atau tidak mampu untuk mandi dan berdoa. Setelah melalui pengalaman yang berkembang, individu yang bersangkutan menjadi berbakat dan terbiasa dengan mandi dan shalat[10] Pendekatan untuk membentuk mentalitas tidak sama dengan pendekatan untuk membingkai kecenderungan. Untuk membingkai kecenderungan harus dimungkinkan melalui pelatihan, peniruan identitas, dan redundansi secara konsisten menerus[11]

Islam telah memahami secara mendalam dan fungsional sehubungan dengan pengalaman yang berkembang, (pemahaman dan informasi) sistem yang berfungsi dari kerangka memori (akal) dan cara yang paling umum untuk mendominasi informasi dan kemampuan. Al-Qur'an hanya memberikan tanda-tanda yang dapat memaknai tiga rakaat[12] Islam menempatkan penekanan yang luar biasa pada makna kemampuan mental (logis) dan nyata (menggairahkan) sebagai perangkat penting untuk maju secara gamblang. Ada beberapa semboyan yang terkandung dalam Al-Qur'an, khususnya: ya'qiluun, Yatafakkaruun, yubsiruun, dan yasma'uun.[13]

Maka dapat disimpulkan bahwa Al-Quran sebagai gaya hidup dan As-Sunnah juga memahami secara mendalam bahwa pengalaman pendidikan itu bagus dan sesuai dengan ide-ide Islam. Dari tujuan yang paling esensial sambil mencari tahu bagaimana tujuan, moral, latihan dan standar pembelajaran. Memperoleh hanyalah mengharapkan sukacita dari Dia saja. Belajar (thalabul 'ilm) adalah kebutuhan manusia di planet ini untuk mencapai dirinya sebagai pribadi. Lebih jauh lagi, dengan belajar Allah akan memberikan tabiat yang besar kepada para pekerja-Nya.

Saepul Anwar menjabarkan kedua konsep Ibn Khaldun sebagai berikut :

  1. Konsep Belajar Malakah. Kata 'Malakah' dalam arti sebenarnya berarti "membuat sesuatu untuk diklaim atau dikendalikan" dan "karakteristik yang didirikan dalam roh". Berdasarkan perincian bahasa tersebut, Ibnu Khaldun membentuk Malakah sebagai “sifat yang digali, karena belajar atau menyelesaikan sesuatu secara berulang-ulang, sehingga hasil belajar sebagai pekerjaan tertanam dalam jiwa”. Sesuai dengan pengalaman yang berkembang, malakah menyiratkan satu derajat pencapaian (accomplishment) dominasi materi logis tertentu, kemampuan, dan perspektif yang didapat dari konsekuensi tinjauan yang ekstrim, serius dan teratur.[14]
  2. Konsep Belajar Tadrîj. Tadrîj dalam arti yang sebenarnya berarti naik, maju, terus meningkat, dan bertahap. Dalam pandangan Ibnu Khaldun, tadrij dalam pengalaman pendidikan mengalami kemajuan baik jumlah maupun kualitasnya. Ide pembelajaran ini dibuat berdasarkan anggapan bahwa kapasitas manusia terbatas dan penjelasan manusia terus berkembang. Selanjutnya, dalam gagasan pembelajaran tadrîj, pembelajaran yang menarik akan menemukan yang diselesaikan secara bertahap, sedikit demi sedikit, dan secara metodis disesuaikan dengan fase transformatif otak manusia.[14]

Metode Penelitian

Dalam membahas etika belajar menurut Syaikh Az-Zarnuji, peneliti menggunakan metode kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah studi pustaka (library research). Nazir mengemukakan bahwa studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan cara menelaah buku-buku, literatur-literatur, ringkasan-ringkasan, dan laporan-laporan yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang dibahas.[15] Sedangkan menurut Sugiyono studi pustaka ialah kajian teoritis, referensi, serta literatur ilmiah lainnya yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Oleh karena sifatnya yang filosofis dan teoritis, maka studi pustaka memakai pendekatan filosofis[16].

Penelitian ini mengambil sampel kitab ta’alim muta’alim, Kitab ini oleh pengarangnya dimaksudkan sebagai buku petunjuk tentang metode bagi para santri. Dalam kitab ini pengarang mengelompokkan pembahasan pada tiga belas bab, yaitu: Tentang Hakikat Ilmu, Fiqih Dan Keutamaannya, Niat saat belajar, Memilih Ilmu, Guru, Teman Dan Ketabahan, Mengagungkan Ilmu Dan Pemiliknya, Bersungguh-Sungguh, Kontinuitas Dan Cita-Cita Luhur, Memulai Belajar Batasan Belajar Dan Urut-Urutannya, bertawakal, Waktu untuk mendapatkan ilmu, Tentang Kasih sayang dan nasehat, Mengambil pelajaran, Waro’ (Menjaga Diri Dari Haram), Hal-Hal Yang Membuat Hafal Dan Membuat Mudah Lupa, Hal-Hal Yang Mendatangkan Rizki Dan Yang Mencegahnya.

Hasil dan Pembahasan

Biografi syekh Az-Zarnuji

Syaikh Az-Zarnuji ialah seorang ahli fikih dan sekaligus menekuni bidang pendidikan[17]. Nama lengkap Syaikh Az-Zarnuji ialah Burhanuddin Ibrahim AZ-Zarnuji Al-Hanafi. Ada yang menyebutkan namanya yakni Tajuddin Nu'man bin Ibrahim ibn Khalil Al-Zarnuji seperti yang ditulis Zarkeli dalam Kitāb Al-A’lam. Kata “Az-Zarnuji” sendiri ditetapkan di sebuah lokasi bernama Zurnuj (dengan “u”) atau Zarnuj (dengan “a”) yang merupakan sebuah kota terkenal yang berada di sungai Oxus, Turki. Sedangkan kata “Al-Hanafi” ialah nama tetap mazhab yang diikuti Syaikh Az-Zarnuji yaitu mazhab Hanafi. Adapun dua julukan yang terdapat pada diri Syaikh Az-Zarnuji adalah “Burhānuddin” artinya bukti kebenaran agama dan “Burhānul Islam” artinya bukti kebenaran Islam[18]. Kelahiran Syaikh Az-Zarnuji belum ditemukan informasinya. Namun Wirianto mengatakan bahwa Syaikh Az-Zarnuji diyakini hidup dalam satu masa dengan beberapa ulama yang bergelar “Az-Zarnuji” (sebuah kota Zarnuj, Turki). Di dalam Wikipedia disebutkan bahwa Syaikh Az-Zarnuji lahir di Zarnuj atau Zurnuj sebuah kota terkenal dekat sungai Oxus, Turkistan. Sementara Maryati mengutip pendapat Muhammad Abdul Qodir Ahmad yang mengatakan bahwa Syaikh Az-Zarnuji berasal dari daerah Afganistan.[19] Hal ini diperkuat pula oleh Shofwan yang mengutip dari Maryati bahwa Syaikh Az-Zarnuji berasal dari Afghanistan.[18]

Kemudian Al-Quraisyi menyatakan untuk tahun kelahiran dan wafatnya Syaikh Az-Zarnuji masih belum ditemukan secara pasti tapi diyakini beliau hidup dalam satu kurun dengan Az-Zarnuji yang lain. Seperti halnya Az-Zarnuji yang tertulis disini, Az-Zarnuji lain yang nama lengkapnya Tajuddin Nu’man bin Ibrahim Az-Zarnuji juga seorang ulama besar dan pengarang yang wafat tahun 640/1242 M. Adapun tahun wafat Syaikh Az-Zarnuji itu masih harus dipastikan karena ditemukan beberapa informasi yang berbeda-beda yaitu antara tahun 591H, 593H, dan 597H.

Menurut Khalifah dalam bukunya Kasyf Al-Zunun 'An-Asami' Al-Kitab Al-Funun disebutkan bahwa di antara 15.000 judul tulisan yang disebarluaskan pada karya abad ketujuh belas, tercatat kitab Ta'lim al- Muta'allim adalah sederhana oleh Az-Zarnuji. Buku ini dibuat oleh Ibrahim wadah Ismail yang didistribusikan pada 996H. Kitab ini juga telah diubah ke dalam bahasa Turki oleh Abdul Majid Wadah Nusuh Israil dengan judul Ersyad Al-Ta'lim fi Ta'lim Al-Muta'allim[20].

Karya kitab syekh az-zarnuji

Berdasarkan landasan tersebut, beliau menyusun Kitāb Ta‟līm Al-Muta‟allim Tharīq At-Ta‟allum yang berisi penjelasan kepada para siswa tentang bagaimana mencari informasi sesuai dengan buku-buku yang telah dia teliti dan sesuai nasihat yang dia berikan. didapat dari pendidiknya,

1. Bagian I memahami gagasan sains, fiqh dan keunggulannya.

Pada bagian ini dijelaskan tentang komitmen mencari informasi untuk semua orang, semua jenis orang. Az-Zarnuji mewajibkan untuk belajar sesuai dengan kebutuhan seseorang (studi tentang hal-hal) saja, bukan untuk semua informasi. Dia berkata:

“Tidak wajib bagi seluruh umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mencari semua informasi, namun wajib mencari informasi sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri.”[21]

2. Bab II Tujuan Mencari Informasi Tujuan adalah keadaan dan sifat hati yang dipuaskan oleh dua hal, yaitu informasi dan tujuan mulia. Dalam tulisan ini, bahwa tujuan belajar adalah mencari keridhaan Allah swt, kepuasan alam semesta, membunuh kebodohan, mengikuti agama dan meneguhkan Islam. Selain itu, ia juga berencana untuk selalu menghargai karunia akal dan kesejahteraan.

Dalam tulisan ini, bahwa tujuan belajar adalah mencari keridhaan Allah swt, kepuasan alam semesta, membunuh kebodohan, mengikuti agama dan meneguhkan Islam. Selain itu, ia juga berencana untuk selalu menghargai karunia akal dan kesejahteraan.

3. Bagian III tentang Memilih Informasi, Instruktur, Sahabat, dan Nyali Mahir

Dalam memilih informasi, seseorang harus memilih informasi yang berharga dan sarat dengan kebaikan. Itulah informasi yang dibutuhkan agama dan informasi yang dibutuhkan untuk apa yang akan datang. Dia mengerti[11].

4. Bab IV Merayakan Informasi dan Spesialis

Dalam artikel ini, ia memaknai bahwa seorang mahasiswa tidak akan mendapatkan kemajuan suatu ilmu dan manfaat ilmu pengetahuan dengan cara lain selain merayakan informasi, para ahli ilmu (pendidik). Di antara pendekatan tentang pendidik adalah tidak berjalan di hadapannya, tidak duduk di tempatnya duduk, tidak mulai berbicara selain dengan persetujuannya, tidak meminta banyak hal yang dapat melelahkannya dan tidak menggebrak pintu masuknya melainkan menunjukkan menahan diri untuk berpegangan. sampai instruktur keluar dari rumah. Terlebih lagi, untuk mendapatkan manfaat informasi, seorang siswa harus menghargai buku. Diantaranya adalah tidak mengambil kitab kecuali jika tidak dipalsukan, tidak menapakkan kaki pada kitab, dan meletakkan kitab di atas kitab yang berbeda, tidak mencoret dan tidak membuat catatan pada kitab, dan tidak menulis pada kitab yang berbayang. tinta. merah.

5. Bagian V Sejati, Terpadu, dan Berhasrat Luar Biasa

Seorang siswa harus serius dalam mencari informasi untuk mendapatkan apa yang diharapkan secara umum dan apa yang diinginkannya.

6. Bagian VI Mulai dari Penjemputan, Langkah Belajar, dan Disiplin Belajar

Untuk waktu yang tepat untuk mulai berkonsentrasi pada hari Rabu, mengingat pada hari Rabu adalah hari pembuatan Nur, dan hari itu juga merupakan hari sial (tidak disukai) bagi yang ragu dan hari yang disukai bagi umat. Mengenai batas tingkat belajar yang ideal atau ukuran belajar untuk siswa, Anda harus mulai dengan contoh sederhana terlebih dahulu.

7. Bagian VII Percaya

Seorang siswa harus menempatkan kepercayaan dirinya dalam memeriksa. Cobalah untuk tidak stres karena masalah makanan dan jangan mengotori hati dengannya. Karena orang-orang yang hatinya terpengaruh oleh usaha makanan, hampir tidak ada keinginan untuk mencapai orang terhormat dan hal-hal terhormat. Oleh karena itu, biarlah setiap orang menyibukkan diri dengan perbuatan-perbuatan besar sehingga dia tidak disibukkan dengan godaan keinginan.

8. Bagian VIII Tentang Waktu Belajar

Kerangka waktu perolehan dimulai dari dukungan hingga kuburan. Untuk sementara, kesempatan terbaik untuk belajar adalah ketika Anda masih muda, dan di waktu istirahat dan di antara maghrib dan isya. Lebih baik bagi seorang siswa untuk menginvestasikan energinya untuk merenungkan.

9. Bagian IX Kehangatan dan Bimbingan

Seorang individu yang taat harus memiliki empati, menawarkan bimbingan dan tidak cemburu. Selain itu, seorang individu yang saleh tidak boleh bersikap tidak ramah satu sama lain dengan alasan bahwa itu adalah tindakan yang sia-sia. Maka janganlah berprasangka buruk terhadap sang penyembah, karena ia benar-benar menjadi sumber permusuhan dan demonstrasi yang tidak wajar. Oleh karena itu, seorang siswa harus selalu menghiasi dirinya dengan perbuatan-perbuatan besar. waktu dan mengungkap rasa malu mereka sendiri.

10. Bagian X Mengambil Contoh

Seorang siswa harus memanfaatkan setiap kesempatan untuk belajar dan terus belajar sampai ia memperoleh kehebatan. Adegan itu harus dimungkinkan dengan terus memberikan pena (bahan tulis) untuk merekam setiap hal logis yang dia dapatkan. Ia mengingatkan bahwa umur atau umur itu pendek, sedangkan informasi itu banyak. Oleh karena itu, siswa tidak boleh menghabiskan waktu mereka tanpa henti.

11. Bab XI Wira‟i Pada Masa Belajar

Di waktu belajar hendaknya peserta didik berbuat wara‟, sejak itu informasi akan lebih bermanfaat, kelebihan lebih diperhatikan dan pembelajaran menjadi lebih sederhana. Seperti yang dia katakan:

"Dalam hal siswa yang informasinya lebih bermanfaat dan pembelajarannya lebih sederhana"[21]

12. Bagian XII Hal-hal yang Membuat Anda Mengingat dan Menyebabkan Anda Mengabaikan Yang paling luar biasa yang menyebabkan dzikir sederhana adalah kesungguhan, tekad, makan dengan porsi yang lebih sederhana, dan memohon di sekitar waktu malam, membaca Al-Qur'an, membaca permintaan Nabi dan membaca doa sambil mencari buku untuk dipelajari.[11]

13. Bagian XIII Hal-hal yang Membawa Makanan, Pencegah Makanan, Peningkatan Usia dan Penurunan Usia

Setiap orang membutuhkan makanan, maka siswa harus mengetahui hal-hal yang dapat membawa makanan, menyadari apa yang dapat menambah dan mengurangi usia dan hal-hal yang menopang tubuh sehingga mereka diperbolehkan untuk belajar.

Sehubungan dengan apa yang membawa makanan, khususnya bangun pagi karena bangun pagi adalah suatu kehormatan dan memberikan berbagai macam kegembiraan, pengembangan komposisi lebih lanjut juga termasuk dari beberapa hal yang dapat membuka pintu masuk. dari makanan, wajah yang umumnya cemerlang dan wacana yang bagus juga bisa membuka pintu makanan.

Kemudian alasan yang paling berkesan untuk mendapatkan makanan adalah dengan terus-menerus memohon dengan perasaan tadzim, khusyu, dan dengan mengidealkan perkembangan tubuh dan selanjutnya memuncak pada hal-hal yang wajib dalam permohonan, serta sunnah dan adab dalam doa. Sementara itu, apa yang dapat mencegah makanan disebabkan oleh banyaknya dosa yang dilakukannya, tertidur di waktu istirahat, banyak istirahat, istirahat tanpa menutup aurat, kencing berdiri, makan dalam keadaan junub dan makan sambil sekaligus istirahat..[11]

Penyajian Data dan Analisa Data

1. Etika belajar menurut islam

Sebagai sebuah agama, Islam memiliki pelajaran yang dirasa lebih agung dan luas dari berbagai agama yang telah disingkapkan oleh Tuhan sebelumnya. Islam tidak hanya mengatur bagaimana mendapatkan kebahagiaan hidup di alam semesta, mencintai dan berserah diri kepada Allah semata, tetapi juga mengatur bagaimana mendapatkan kebahagiaan hidup di muka bumi, termasuk mengatur masalah pendidikan dan pengalaman yang biasa disinggung. sebagai pelatihan. Aset untuk mengoordinasikan masalah instruktif. Sumber untuk mengatur keberadaan dunia dan alam semesta yang besar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sebagai sumber pelajaran, al-Qur'an, sebagaimana telah ditunjukkan oleh para ilmuwan, pada akhirnya memberikan perhatian yang luar biasa terhadap masalah sekolah dan pendidikan. Demikian pula, Al-Hadits, sebagai sumber pelajaran Islam, dianggap berkonsentrasi penuh pada isu-isu instruktif. Nabi Muhammad SAW. telah mengirimkan program instruksi jangka panjang. Akhlak dalam perspektif Islam bukan hanya tanggung jawab terhadap manusia dan hasil-hasilnya, melainkan juga sistem nalar yang dibuat-buat. Dengan cara ini, dalam bahasanya yang sering kita alami, Al-Qur'an secara umum dan konsisten meminta manusia untuk terus-menerus berlatih (taqwa) dan ketakutan dari satu sudut pandang namun menegaskan keagungan Tuhan dan kebaikan manusia di sisi lain. Akhlak pada akhirnya membantu manusia dalam menentukan gerakan mana dan apa yang harus dilakukan, akhlak apa yang harus dijauhkan dalam pengalaman mendidik dan berkembang, jelas dapat kita tutup dengan menggunakan suatu metodologi. Informasi manusia tentang pilihan mentalitas dalam mengajar dan pengalaman yang berkembang akan menentukan hasil pelatihan (mendidik dan belajar).

Dalam kitab Alala dijelaskan bahwa Ilmu yang manfaaat adalah ilmu yang bisa menghantarkan pemiliknya pada ketakwaan kepada Allah SWT. ilmu adalah nur ilahi yang hanya diperuntukkan bagi hamba-hambanya yang soleh, ilmu manfaat inilah yang tidak mungkin bisa didapatkan kecuali dengan adanya enam syarat yang harus di lengkapi para pencarinya, adapun enam syarat tersebut adalah:

اَلاَ لاَتَنَالُ الْعِلْمَ اِلاَّ بِســــِتَّةٍ ۞ سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ

Artinya : Ingat, kalian tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara, akau akan memberi tahumu tentang kumpulanay dengan penjelasan

ذُكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍ وَبُلْغَةٍ ۞ وَاِرْشَادُ اُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Artinya : Yaitu Cerdas, Semangat, Sabar, Biaya, Petunjuk Ustadz Dan Lama Waktunya.

Maka dapat disimpulkan bahwa Al-Quran sebagai way of life dan As-Sunnah pun menjelaskan secara detail bagaimana proses belajar yang baik dan sesuai dengan konsep Islam. Dari hal yang paling mendasar tentang niat ketika belajar sampai pada tujuan, etika, aktifitas dan prinsip-prinsip belajar. Belajar hanyalah untuk mengharap ridla dari-Nya semata. Belajar (thalabul ‘ilm) menjadi sebuah kebutuhan manusia di bumi ini untuk mencapai dirinya sebagai insan kamil. Dan dengan belajar Allah akan memberikan keutamaan yang baik kepada hamba-Nya. Adapun salah satu tokoh muslim Ibnu Khaldun menawarkan beberapa metode dalam pembelajaran yaitu Tadarruj dan Takrīr (Terus menerus dan Berulang), Rihlah (Wisata) dan Munazārah (Dialog). Metode Tadarruj dan Takrīr menunjukan bahwa pendidik harus memberikan mimbingan kedapa peserta didik dalam hal pemahaman dan berpikir dimulai dari hal yang mendasar. Maka dalam hal ini pendidik bukan sebatas fasilitator, melainkan juga mediator dan mampu memonitoring pemahaman peserta didik. Sedangkan pada metode Rihlah atau studi banding, pendidik memiliki tugas memonitoring peserta didik atas studi banding yang telah dilakukan. Sehingga pendidik dapat pengetahui hasil dari rihlah atau studi banding yang telah dilakukan. Dalam metode munāzarah, diharapkan siswa memiliki pemahaman yang sempurna, kematangan pemikiran serta wawasan luas, oleh karena itu peran pendidik dalam hal ini hanya sebagai fasilitator. Metode ini akan memunculkan daya kritis serta membuat peserta didik aktif dalam pembelajaran[22]. Sedangkan malakah lebih dari sekedar pemahaman tapi mengarah pada penguasaan sesuatu dalam tiga ranah kognitif, afektif, dan psikomotor secara optimal. Untuk mendapatkan belajar malakah ini, Ibnu Khaldun mengembangkan tiga metode belajar, yaitu latihan al- muhâwarah, al-munâzharah, dan ittisal(kontinuitas)[14].

Maka dapat penulis simpulkan bahwa metode belajar yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun itu belajar dimulai dari yang sulit hingga ke yang mudah namun tidak setajam dengan metode belajar yang ditawarkan oleh Syekh Az-Zarnuji sebab metode yang ditawarkan oleh Ibn Khaldun ini tidak mengkaji secara terstruktur layaknya Syekh Az-Zarnuji yang menawarkan metode belajar dari awal yakni ketika pelajar itu harus mempunyai niat yang sungguh –sungguh hingga hal-hal yang menghambat rizqi ketika dalam proses pembelajaran.

Simpulan

Mempelajari akhlak menurut Islam: bahwa Al-Quran sebagai gaya hidup dan As-Sunnah juga memahami secara mendalam bagaimana pengalaman yang berkembang itu hebat dan sesuai dengan ide-ide Islam. Dari harapan yang paling mendasar sambil mencari tahu bagaimana tujuan, moral, latihan dan standar pembelajaran. Memperoleh hanyalah mengharapkan sukacita dari Dia saja. Belajar (thalabul 'ilm) adalah kebutuhan manusia di planet ini untuk mencapai dirinya sebagai pribadi. Terlebih lagi, dengan belajar Allah akan memberikan akhlak yang agung kepada para pekerja-Nya. Menurut Sheik Az-Zarnûjî etika belajar meliputi: Bagaimana merencanakan belajar, bagaimana memilih informasi, pendidik, sahabat, dan kekuatan dalam belajar, kemudian, pada saat itu, bagaimana memandang informasi dan peneliti, bagaimana realitas, tekad, dan minat. dalam memahami, memulai pembelajaran, sistematika administrasi pembelajaran, amanah dalam belajar, dan wara‟ dalam belajar. Setelah penulis mengkaji dan mengambil keputusan, penulis berkeyakinan bahwa akan ada peningkatan atau reaksi dan ide dari para pembaca, khususnya para peneliti daerah dan muslim yang perlu mencari tahu apa realisasi akhlak yang disampaikan oleh Syekh Az-Zarnuji dalam buku kuningnya yang berjudul Terkenal di seluruh dunia, tepatnya kitab yang berjudul "Ta'limul Muta'allim". Pencipta percaya bahwa dengan karya yang telah diperiksa, ide-ide untuk ilmuwan masa depan untuk membuat atau juga melihat penalaran moral mengambil sesuai Sheik Az-Zarnuji dengan pemikir yang berbeda. agar individu menyadari bahwa informasi yang disampaikan oleh para perintis muslim masih dan harus dilakukan di masa depan.

Idealnya karya penulis dapat bermanfaat bagi pembaca, masyarakat, dan peneliti Muslim.

References

  1. Waris, “Pendidikan Dalam Perspektif Islam Burhanuddin Al-Islam Az-Zarnuji,” J. Cendekia, vol. 13, no. 1, p. 70, 2015.
  2. A. P. Astutik, Buku Ajar Metodologi Studi Islam Dan Kajian Islam Kontemporer Perspektif Insider /Outsider. 2018.
  3. A. Busiri, “Etika Murid Dalam Menuntut Ilmu Perspektif Syaikh Az-Zarnuji (Kajian Kitab Ta’limul Muta’allim),” Akad. J. Manaj. Pendidik. …, vol. 2, pp. 55–70, 2020, [Online]. Available: http://ejournal.iaiskjmalang.ac.id/index.php/akad/article/view/136.
  4. Saihu, “Etika Menuntut Ilmu Menurut Kitab Ta’lim Muta’alim,” Al Amin J. Kaji. Ilmu dan Budaya Islam, vol. 3, no. 1, pp. 99–112, 2020.
  5. D. Ma’munudin and E. Muslihah, “Pengaruh Pembelajaran Kitab Ta’Lim Muta’Alim Terhadap Pemahaman Peserta Didik Pada Mata Pelajaran Akidah Akhlak,” Geneologi PAI J. Pendidik. Agama Islam, vol. 6, no. 1, p. 1, 2019, doi: 10.32678/geneologipai.v6i1.1921.
  6. M. Zamhari and U. Masamah, “Relevansi Metode Pembentukan Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ta’lim Al-Muta’allim terhadap Dunia Pendidikan Modern,” Edukasia J. Penelit. Pendidik. Islam, vol. 11, no. 2, p. 421, 2017, doi: 10.21043/edukasia.v11i2.1724.
  7. Q. Ismail, D. A. N. Ja, F. A. R. Hadi, D. Buku, S. Harus, and M. Di, “Etika Pendidikan Islam Menurut Moh. Achyat Ahmad, Qusyairi Ismail, dan Ja’far Hadi dalam Buku “ Mengapa Saya Harus Mondok Di Pesantren?",” SKRIPSI, 2017.
  8. A. P. A. Rimasasi, Dwi Suryani, “Integrasi Ahlak Islami dalam Seni Teater,” ar-Risalah, vol. 9, no. 1, 2021.
  9. Y. Ruswandi and Wiyono, “Etika Menuntut Ilmu Dalam Kitab Ta’lim Muta’alim,” Al-Amin, vol. 4, no. 1, pp. 90–100, 2020, doi: 10.36670/alamin.v3il.43.
  10. Tim Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Teori Belajar. Surabaya, 2009.
  11. Syeikh Burhanuddin Az-Zarnuji, Matan Ta’lim Al-Muta’allim Thariq Al-Ta’allum. Jakarta:
  12. Sakilah, “Belajar Dalam Perspektif Islam,” Menara, vol. 12, no. 2, p. H.156, 2013.
  13. Muhibbin Syah, Psikologi Belajar. Jakarta: Logos, 2006.
  14. M. Chodry, “KONSEP PENDIDIKAN IBNU KHALDUN (Perspektif Sosiologi),” Tesis, Pasca UINSA, vol. 6, no. 1, pp. 1–136, 2018.
  15. Moh. Nazir, “Metode Penelitian,” Metod. Penelit., 2014.
  16. Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan R&D.Bandung:Alfabeta. 2012.
  17. S. Mustofa, “Konsep Belajar Menurut Syaikh Az Zarnuji Dalam Kitab Ta’lim Muta’alim,” Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, 2018.
  18. A. M. Shofwan, “Metode Belajar Menurut Imam Zarnuji: Telaah Kitab Ta’lim Al-Muta’alim,” Briliant J. Ris. dan Konseptual, vol. 2, no. 4, p. 408, 2017, doi: 10.28926/briliant.v2i4.96.
  19. D. Wirianto, “Konsep Pedagogik al-Zarnuji,” Islam. Stud. J., 2013.
  20. Mukhtar A., “Ta’lim al Muta’allim Thariq at-Ta’allum,” LKPPL, 2012.
  21. S. . Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim Thoriqut Ta’allum. Semarang: Toha Putra, 1990.
  22. A. Azhari, Z. Arifa, Q. M. N. Rais, and M. Hidayatullah, “Konsep Pembelajaran Perspektif Ibnu Khaldun dan Relevansinya pada Pembelajaran Bahasa Arab di Abad 21,” Stud. Arab, vol. 12, no. 1, 2021, [Online]. Available: https://www.jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/studi-arab/article/view/2854%0Ahttps://www.jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/studi-arab/article/download/2854/2036.