Abstract
The family is the main and most responsible institution in society in ensuring the social welfare and biological preservation of human children, because it is in the family that human children are born, and the death of a spouse is one of the most important life events and can trigger stress. When a woman finally becomes a single mother, they are generally in a condition that is vulnerable to physical and psychological disorders. The purpose of this study was to analyze the description of coping stress on single mothers, sources of stress on single mothers and analyze the factors that influence the selection of coping stress on single mothers in Buduran sub-district, Sidoarjo district. This research method uses qualitative research methods, the unit of analysis in this study is the conceptual understanding of the topic of coping stress and single mother, the subject of this research is a single mother who is in Wadungasih Village, Buduran District, Sidoarjo Regency. Based on the results of the study, it can be said that the stress coping chosen by single mothers in Buduran sub-district, Sidoarjo Regency is more focused on emotional-focused coping (avoidance of running away, keeping distance, positive reappraisal, self-control and emotional social support) especially single mothers chosen. the longer one. Meanwhile, problem focused coping (confrontive coping) was chosen by subjects who had just become single mothers. Sources of stress experienced by single mothers in Buduran sub-district, Sidoarjo district are the economy, work, taking care of children, and negative views of the people around them. What factors influence the choice of coping with stress in single mothers in Buduran sub-district, Sidoarjo district, namely physical health, problem solving skills, social skills, and social support.
Pendahuluan
Keluarga umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak, dimana dalam kehidupan berkeluarga ayah dan ibu memiliki peran sebagai orang tua [1]. Pada kenyataannya, di masyarakat terdapat keluarga yang salah satu dari orangtua tersebut tidak ada, baik itu karena perceraian, perpisahan atau meninggal dunia yang mengakibatkan ketidakseimbangan dan fungsi keluarga kurang dapat berjalan dengan baik [2]. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Noor, yang hasilnya mengungkapkan bahwa kematian pasangan menjadi salah satu dari peristiwa kehidupan yang paling penting dan bisa memicu terjadinya stress. Helmawati [1], mengungkapkan bahwa kehilangan pasangan dapat menjadi salah satu fenomena hidup yang menyedihkan bagi seorang wanita tersebut, dan akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk benar-benar pulih dari duka dan kesedihan yang dirasakannya.
Fenomena ini telah banyak dijumpai di berbagai Negara di seluruh penjuru Dunia. Data yang diperoleh dari PEKKA (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) pada tahun 2017, di Indonesia terdapat 40 juta jiwa yang kepala keluarganya berstatus single mother. Berdasarkan data dari PEKKA (Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga) tahun 2019, orang tua tunggal yang menjadi kepala keluarga 60% disebabkan oleh kematian, 6% karena berceraian dan 6% karena ditinggalkan [3]. Menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) yaitu Linda Amalia Sari Gumelar, menyatakan bahwa berdasarkan data tahun 2018 jumlah wanita Indonesia yang menjadi kepala rumah tangga (single mother) mencapai 7 juta jiwa. Menurut data statistik provinsi Jawa Timur pada tahun 2019, di beberapa kota di Jawa Timur data menunjukkan sebanyak 81,11% dari keseluruhan jumlah single parent di Jawa Timur adalah single terdapat 19,5%, antara lain di Sidoarjo, 18,9% di Pasuruan, 16,25% di Mojokerto, 20,15% di Surabaya, 16,86% di Gresik, 16,34% di Jombang, dan di Malang sebanyak 18,28% [4]. Kemudian kondisi single mother di Kabupaten Sidoarjo mengalami peningkatan yaitu sebanyak 389 hingga bulan Februari pada tahun 2022, disebabkan karena meninggal dunia dikarenakan Covid-19 selama pandemic[5]. Faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab ribuan pasutri mengajukan perceraian. Selain itu juga adanya faktor pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga terjadinya perselingkuhan dan juga campur tangan keluarga [6]. Berdasarkan data-data yang diperoleh, dapat memberikan gambaran tingginya keluarga yang berstatus sebagai single parent, dan sebagian besar adalah single mother di Indonesia [4].
Single mother adalah wanita yang ditinggal suami atau pasangannya karena suatu penyebab, diantaranya berpisah karena meninggal dunia atau bercerai dan memutuskan tidak menikah karena fokus untuk membesarkan anaknya seorang diri. Single mother yaitu ibu sebagai orang tua tunggal yang harus menggantikan peran ayah sebagai kepala keluarga, pengambil keputusan, pencari nafkah. Selain perannya mengurus, membesarkan, membimbing dan memenuhi kebutuhan psikis anak [7]. Menjadi single mother, sebagai situasi yang khusus sekaligus menantang bagi seorang wanita. Hal ini karena umumnya individu yang menjadi single mother terlebih dahulu melewati masa-masa yang penuh stress, ketakutan, dan rasa bersalah dari kejadian-kejadian traumatis yang dialaminya, baru kemudian menyesuaikan diri dengan kehidupan yang baru serta tanggung jawab yang lebih besar terhadap keluarganya.
Menurut Hurlock [8], kematian pasangan hidup akan memunculkan peran baru dan status baru. Hal tersebut kemudian menjadi masalah utama bagi wanita. Berperan ganda dalam keluarga menjadikan suatu keharusan dan tugas baru bagi single mother terutama sebagai orang tua untuk anak-anaknya agar terpenuhi kebutuhan akan ekonomi dan pendidikan dari keluarga. Menurut Helmawati, masalah yang sering dihadapi oleh single mother biasanya adalah masalah anak. Anak akan merasa sangat kehilangan salah satu orang yang berarti dalam hidupnya, untuk itu sangatlah penting bagi single mother untuk tidak larut dengan masalah yang dihadapi. Hal tersebut membuat single mother kurang siap untuk mengemban tanggungjawab dan berperan ganda sebagai orang tua maupun bekerja sebagai pencari nafkah [1].
Masalah yang kompleks, yang dihadapi oleh single mother antara lain mendapat penilaian negatif dari masyarakat ketika memutuskan untuk menikah lagi, mendapat penilaian negatif dari masyaraat ketika keluar rumah, bepergian ataupun ketika menerima telepon, merasa kesepian, kesulitan dalam menjalankan tugas sebagai kepala rumah tangga, mengurus anak, dan masalah dalam mencukupi kebutuhan ekonomi untuk keluarga [7]. Menurut Hurlock [8], bahwasanya masalah yang dihadapi oleh single mother antara lain (1) masalah ekonomi yaitu single mother akan mengalami kurangnya pendapatan keluarga, (2) masalah sosial yaitu ketika suaminya meninggal maka seorang single mother akan menemukan bahwa tidak ada tempat untuknya apabila berada di antara pasangan yang menikah. Kemudian dengan kemampuan ekonomi yang rendah mengakibatkan seorang single mother tidak dapat berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat. (3) Masalah praktis yaitu single mother mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh pasangan, akan tetapi setelah kehilangan suami semua pekerjaan dilakukan seorang diri. (4) Masalah seksual yaitu ada hasrat seksual yang tidak terpenuhi karena sudah tidak mempunyai pasangan dan merasa kesepian. (5) Masalah tempat tinggal yaitu Apabila status ekonominya tidak memungkinkan, seorang single mother akan pindah kerumah yang lebih kecil. (6) Masalah psikologis yaitu single mother cenderung merasa tidak menentu dan identitasnya kabur setelah kehilangan suami, yang sebelumnya identitasnya tergantung dengan suaminya. (7) Masalah keluarga yaitu apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka single mother harus memainkan peran ganda yaitu sebagai ibu sekaligus ayah, dan harus menghadapi masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. (8) Serta sulitnya memenuhi figure ayah bagi anak yaitu figur seorang ayah ini harus tetap terpenuhi agar pertumbuhan fisik dan psikis anak tetap berjalan dengan baik.
Segala macam permasalahan dan segala perubahan hidup yang dihadapi oleh single mother tersebut, maka kemungkinan yang akan timbul adalah tekanan dan memicu single mother ini merasakan stress karena tidak dapat bertahan dan pulih dari situasi tersebut. Lazarus [9], menyatakan bahwa stress adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dievaluasi oleh seseorang sebagai tuntutan atau ketidakmampuan dalam menghadapi situasi yang membahayakan atau mengancam kesehatan jiwa dan raga. Selain itu, sumber stress merupakan kejadian atau situasi yang melebihi kemampuan pikiran atau tubuh saat berhadapan dengan sumber stress tersebut. Stress bisa berlanjut ke tahap yang lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang. Hal tersebut ditentukan bagaimana usaha seseorang berurusan dengan sumber stress[10]. Ketika situasi stres memberikan rangsangan, maka individu akan melakukan penilaian (appraisal) dan coping (penanggulangan).
Hidayat [11], mengatakan stress tidak selalu bersifat negatif. Stress dapat dibedakan menjadi dua yaitu stress yang baik (eustress) dan stress yang buruk (distress). Stress yang baik (eustress) dikatakan baik karena dapat memberikan motivasi atau inspirasi sedangkan stress yang buruk (distress) adalah stress yang dapat membuat individu menjadi marah, tegang, bingung, cemas dan merasa bersalah. Seseorang yang mengalami stress atau ketegangan psikologis dalam menghadapi masalah kehidupan sehari-hari memerlukan kemampuan pribadi maupun dukungan dari lingkungan, agar dapat mengurangi stress, cara yang digunakan oleh individu untuk mengurangi stress itulah yang disebut dengan coping. Menurut Lazarus [9], coping merupakan strategi untuk memanajemen tingkah laku kepada pemecahan masalah yang paling sederhana dan realistis, serta berfungsi untuk membebaskan diri dari masalah yang nyata maupun tidak nyata serta merupakan semua usaha secara kognitif dan perilaku untuk mengatasi, mengurangi dan tahan terhadap tuntutan-tuntutan (distres demand).
Ketika seseorang berhadapan dengan permasalahan dalam hidupnya, seseorang akan menggunakan mekanisme coping untuk melindungi tekanan-tekanan psikologi yang dialami. Terdapat dua strategi coping yang digunakan individu untuk mengurangi tekanan akibat stressor yang dihadapi. Sebagian orang mengurangi tekanan stressor melalui aksi nyata, misalnya menyelesaikan masalah dengan kemampuan yang dimilikinya, membuat strategi sistematis dan terencana dan sebagainya. Sebagian lainnya hanya cukup melakukan reaksi emosional saja, yaitu dengan membiarkan masalah sampai akhirnya masalah tersebut selesai dengan sendirinya, atau dengan melakukan rasionalisasi terhadap masalah yang dihadapi.
Berdasarkan wawancara di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo, terdapat beberapa single mother mendapatkan banyak tuntutan tugas yaitu mendidik anak, memberi nafkah anak, sebagai kepala rumah tangga, mengatur keluarga, hal ini yang menyebabkan kesulitan mengatasi masalah tersebut. Menghadapi masalah tidak bisa dihindari oleh setiap individu, termasuk seorang single mother. Bagi seorang single mother, masalah yang dihadapi menjadi lebih berat (baik masalah ekonomi, pendidikan, ataupun yang lainya) karena harus menyelesaikan masalah tersebut seorang diri dalam keadaan bingung dan gelisah karena kematian pasangan. Seorang single mother membutuhkan cara tepat dalam menghadapi masalah-masalah agar tidak berdampak pada munculnya stress yang lebih berat dan tidak tertangani. Peneliti menemukan adanya fenomena bahwasanya ada single mother yang meyakini sesuatu terjadi dalam dirinya (ditinggal suami) merupakan kehendak Tuhan ataupun takdir, subyek menerima dengan lapang dada segala sesuatu yang sudah terjadi pada dirinya, subyek juga menyadari bahwasanya semua yang sudah terjadi akan ada hikmahnya. Dan subyek juga banyak melakukan pendekatan kepada Tuhan, banyak berdoa kepada Tuhan agar dimudahkan segala urusannya, agar diberi rizki yang lancar. Seorang single mothermelakukan usaha yang bervariasi dalam menghadapi stress yang telah menimpa mereka, mulai dari menggunakan problem focused coping (coping yang berorientasi pada masalah) hingga emotion focused coping (coping yang sebatas emosi saja). Adapun aspek-aspek coping stress yang dijelaskan oleh Folkman & Lazarus yaitu emotional focused coping (seeking social emotional support, distancing, escape avoidance, self control, accepting responsibility, positive reapprasial), dan problem focused coping (seeking informational support, confrontive coping, planful problem solving) [12].
Pemilihan cara mengatasi masalah juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti faktor internal (kemampuan untuk mencari informasi, menganalisa situasi, mengidentifkasi masalah dengan tujuan untuk menghasilkan alternatif tindakan). Coping yang dilakukan oleh individu dipengaruhi oleh beberapa komponen yang terdiri dari personality variables seperti optimism, locus of control, neuroticism, self-esteem dan extraversi, juga kesehatan fisik, keyakinan atau pandangan positif, ketrampilan memecahkan masalah, ketrampilan sosial [13]. Sedangkan faktor eksternal seperti dukungan orang-rang terdekat yang menguatkan hati saat menghadapi masalah dan materi [14].
Gambaran coping stresspada single mother perlu diteliti lebih mendalam karena melanjutkan kehidupan seorang diri dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi sejak menjadi single mother tidaklah mudah. Coping stress yang tepat akan membawa kebahagian dan keberlanjutan kehidupan keluarga dengan single mother. Sebaliknya, coping stress yang kurang tepat akan membawa pada kondisi lebih parah seperti merasa kesepian, depresi, alkoholisme, dan masalah psikosomatis seperti gangguan tidur dan gangguan psikologis lainnya [8]. Untuk itu peneliti melakukan penelitian dengan tujuan untuk memperoleh gambaran coping stres serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan coping stress pada single mother di Kecamatan Buduran Kabupaten Sidoarjo.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan fenomenologi untuk mendiskripsikan coping stress yang dilakukan single mother.Setting penelitian ini dilakukan di Desa Wadungasih, Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo. Teknik pemilihan subyek pada penelitian ini menggunakan purposive sampling didapat 3 orang single motherdan 3 orang significant other. Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yaitu wawancara, dan menggunakan jenis wawancara semi terstruktur. Uji keabsahan data kualitatif pada penelitian ini meliputi uji kredibilitas (triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu) dan transferabilitas [15]. Analisis data yang digunakan peneliti adalah model Miles & Huberman.
Hasil dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Berikut ini tabel identitas subyek penelitian
Profil | Subyek I | Subyek II | Subyek III |
Inisial | R | HS | S |
Lahir | Sidoarjo,08 Oktober 1970 | Lamongan,20 Desember 1976 | Sidoarjo,21 April 1982 |
Usia | 51 tahun | 46 tahun | 40 tahun |
Pendidikan | SMA | SMA | S-1 |
Alamat | Buduran - Sidoarjo | Buduran - Sidoarjo | Buduran - Sidoarjo |
Agama | Islam | Islam | Islam |
Pekerjaan | Karyawan swasta | Buruh pabrik | Usaha / membuka toko |
Jumlah Anak | 3 | 1 | 1 |
Status pernikahan | Ditinggal suami meninggal | Cerai | Ditinggal suami meninggal |
Lama menjadi single mother | 3 tahun | 5 tahun | 1 tahun 9 bulan |
Berikut ini disajikan tabel perbandingan dari subjek I, II dan III untuk mempermudah melihat secara keseluruhan.
Faktor stress | Subjek I | Subjek II | Subjek III |
Stresor fisik | Subjek mengalami kelelahan dalam mengurusi rumah tangga dan mencari nafkah. | subjek mengalami rasa lelah dan sakit maag yang ditimbulkan oleh beban pikiran. | subjek mengalami kelelahan sehingga menimbulkan gangguan pencernaan seperti lambung. |
Stresor psikologis | Subjek merasa cemas dan iri hati kepada istri yang masih mempunyai suami.Subjek juga merasa khawa-tir jika kena PHK di tempat kerjanya | Subjek merasa mudah bersedih dan depresi terkadang gelisah memikirkan nasib anaknya, akan tetapi disisi lain subjek merasa lega karena sudah bercerai dengan matan suaminya. | Subjek merasa tidak bisa tidur atau insomnia, terkadang emosi menjadi tidak stabil jika memikirkan suami yang telah pergi meninggalkannya. |
Stresor sosial | Subjek jarang bersosialisasi dan fokus dalam bekerja dan mengurus anak | Subjek lebih menarik diri dari lingkungan dan menghindari kehidupan sosial bersama teman-temannya di tempat kerjanya. | Subjek tidak terbebani adanya stressor yang berasal dari aspek sosial |
Berdasarkan tabel diatas, dapat dijelaskan bahwa stressor fisik yang dialami subjek adalah: kelelahan dalam mengurusi rumah tangga dan mencari nafkah, rasa lelah dan sakit maag yang ditimbulkan oleh beban pikiran dan kelelahan sehingga menimbulkan gangguan pencernaan seperti lambung. Stresor psikologis subjek terlihat pada munculnya: rasa cemas dan iri hati kepada istri-istri yang masih mempunyai suami, mudah bersedih, depresi dan terkadang gelisah memikirkan nasib anaknya, merasa khawatir jika kena PHK di tempat kerjanya, tidak bisa tidur atau insomnia, terkadang emosi menjadi tidak stabil jika memikirkan suami yang telah pergi meninggalkannya, tetapi pada single mother yang bercerai justru merasa lega karena sudah bercerai dengan matan suaminya. Stresor sosial membuat subjek jarang bersosialisasi dan fokus dalam bekerja dan mengurus anak, lebih menarik diri dari lingkungan dan menghindari kehidupan sosial bersama teman-temannya di tempat kerjanya. Sebaliknya, ada juga yang tidak terbebani adanya stressor yang berasal dari lingkungan sekitarnya.
Selain itu didapatkan hasil penelitan tentang faktor-faktor yang menyebabkan stress pada single mother antara lain:
a. Stressor fisik
- Bekerja atau mencari nafkah, sehingga mengalami kelelahan
- Mengurus rumah tangga sendirian sehingga merasa kerepotan
- Mengurus anak sendirian sampai kewalahan
b. Stressor psikologis
- Khawatir PHK di tempat kerja
- Cemas dan iri hati kepada istri yang masih mempunyai suami
c. Stresor sosial
- Kenghadapi pandangan negatif dari tetangga maupun rekan kerja
- Menarik diri dari lingkungan dan menghindari kehidupan sosial
Sedangkan bentuk coping yang dilakukan subyek penelitian peneliti tampilan pada tabel di bawah :
Coping stress | Subjek I | Subjek II | Subjek III |
Emotional Focused Coping | Escape avoidanceSubjek sering menghayal berada pada situasi lain yang lebih menyenangkan seperti menghayal jika seandainya suami masih ada maka pekerjaannya menjadi lebih ringan.Dengan mencoba tidak memberikan perhatian utama seolah-olah kejadian tersebut tidak pernah terjadi.Seeking social emotional support Membutuhkan perhatian dari orang lain yang menunjukkan bahwa dia menghadapi permasalahan tidak seorang diri.Positive ReappraisalSelalu bersabar dan rajin beribadah | Escape avoidanceSubjek tidak memberikan perhatian utama seolah-olah kejadian tersebut tidak pernah terjadi atau tidak ada sama sekali.Self controlSubjek menghindari masalah dengan cara menangis dan berdoa agar cepat terkendaliSubjek dapat menhendalikan emosi dan tidak menyalah-kan orang lain tanpa mencari tahu kebenaran dari masalah tersebut. | DistancingSubjek kerap kali mengingat suami dan menyalahkan diri sendiri karena kepergian suaminya.Positive Reappraisal Subjek memperbaiki ibadah dan sering berbagi jika ada rejeki lebih, ditujukan untuk amal di kehidu-pan selanjutnya teru-tama suami yang telah mendahuluinya |
Problem Focused Coping | Confrontive coping Subjek selalu menye-lesaikan masalah secara langsung.Ketika subjek mempunyai selisih paham dengan orang lain, subjek langsung meluruskan selisih paham tersebut. | ||
. |
Berdasarkan hasil analisis faktor stress dan coping pada single mother yang ditinggal meninggal ataupun telah bercerai dengan suaminya dapat diuraikan coping stres yang dipilih. Adapun coping stress pada subjek I, II dan III yaitu meliputi problem focused coping dan emotional focused coping.
a. Problem focused coping
Terdiri dari confrontive coping.
b. Emotion focused coping
Terdiri dari seeking social emotional support, distancing, escape avoidance, self control, positive reapprasial
Pembahasan
Menurut Berk [16], single mother adalah orang tua (ibu) yang telah menjanda, yang memiliki tanggung jawab untuk memelihara atau merawat anak-anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah. Seseorang yang kehilangan pasangan maka akan menjadi bingung dan gelisah karena harus menghadapi kehidupan baru sebagai single mother[14]. Hal tersebut kemudian menjadi masalah utama bagi single mother. Single mother harus berjuang sendirian dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Wanita sebagai single mother melaksanakan tanggung jawab mencari nafkah, sekaligus mengurus anak mereka sendiri tanpa suami, sehingga hal ini bisa mengarah pada terjadinya stres pada single mother. Lazarus & Folkman, menyatakan bahwa stres adalah hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dievaluasi oleh seseorang sebagai tuntutan atau ketidakmampuan dalam menghadapi situasi yang membahayakan atau mengancam kesehatan jiwa dan raga [12]. Stress menyangkut perasaan individu terhadap kejadian yang terjadi disekitarnya atau menyangkut tuntutan lingkungan terhadap diri mereka sendiri dan tuntutan dari dalamnya yang tidak mampu dipenuhi, sehingga mengancam diri individu.
Untuk menghadapi stres yang dialaminya, single mother harus memiliki kemampuan dan cara-cara untuk menangani dan menghadapi tekanan dari berbagai sumber permasalahan, usaha untuk keluar dari situasi yang menekan dan mencari cara mengatasi permasalahan yang dihadapi, dikenal dengan istilah coping stress.Lazarus & Folkman [9], menjelaskan bahwa coping merupakan upaya secara kognitif dan perilaku untuk mengelola tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai berat atau melebihi sumber daya yang dimiliki oleh individu. Usaha coping bertujuan pada mengoreksi atau menguasai suatu masalah, hal itu juga membantu seseorang mengubah persepsinya mengenai ketidaksesuaian, toleransi atau penerimaan ancaman atau hal yang membahayakan, atau melarikan diri ataupun menghindari situasi [17]. Dengan munculnya stres karena adanya permasalahan yang sudah dijelaskan di atas, maka sebagai single mother harus memiliki copingstress yang berfungsi untuk meminimalisir stressyang ada [1].
Terdapat 2 macam coping stressyang bisa digunakan oleh singlemotheryaitu problem focusedcopingdan emotionfocusedcopingProblem focusedcopingberupa usaha untuk mengurangi stressordengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Beberapa cara yang yang dipilih single mother di kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo lebih banyak mengarah pada emotional focused coping, Suatu usaha yang dipilih indivisu untuk mengontrol respons emosional terhadap situasi yang sangat menekan Ada beberapa bentuk coping yang dipilih, yaitu escape avoidance, distancing, positive reapprasial, self control dan social emotional support. Escape avoidance.merupakan bentuk coping dengan cara menghayal mengenai situasi atau melakukan tindakan untuk menghibur diri dari situasi yang tidak menyenangkan. Pemilihan cara distancing dilakukan dengan caramengeluarkan upaya kognitif untuk melepaskan diri dari masalah atau membuat sebuah harapan positif. Sedangkan cara positive reapprasial dilakukan membuat suatu arti positif dari situasi dalam perkembangan pribadi dengan sifat religious. Cara menghadapi stressor dengan self controlberarti single mother mencoba untuk mengatur perasaan diri sendiri dalam bertindak untuk menyelesaikanmasalahPilihan terakhir dari kelompok emotional focused coping adalah dengan cara social emotional support yaitu dengan mencoba untuk memperoleh dukungan secara emosional maupun sosial dari orang lain.
Kedua, coping stress yang dipilih single mother di kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo adalah problem focused coping yaitu usaha untuk mengurangi stressor dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru untuk mengubah situasi, keadaan, atau pokok permasalahan. Cara yang dipilih adalah confrontive coping. Cara ini merupakan bentuk penyelesaian masalah secara konkret menghadapi stressor.
Coping yang efektif yaitu mampu memahami suatu masalah. Salah satu cara untuk menemukan coping yang efektif adalah menggunakan mekanisme mental dengan memahami masalah yang dapat mengurangi atau menetralisir secara kognitif terhadap bahaya yang dialami [7]. Menambah pengetahuan single mother merupakan cara yang paling efektif untuk mengatasi stresor yaitu dengan keyakinan yang optimis dan penilaian yang positif. Single mother yang menggunakan strategi ini cenderung melihat segi positif dari suatu kejadian sebagai penyebab stres, kemudian dengan pemecahan masalah bersama. Pemecahan masalah bersama dapat digambarkan sebagai suatu situasi dimana single mother dapat mendiskusikan masalah yang dihadapi secara bersama-sama dengan orang terdekatnya untuk mengupayakan solusi atas dasar logika, petunjuk, persepsi dan usulan dari orang terdekat yang berbeda untuk mencapai suatu kesepakatan.
Coping yang dilakukan oleh single motherdapat dipengaruhi oleh faktor internal, yang berasal dari kondisi individu yang mencakup umur, tahap kehidupan, jenis kelamin, tempramen, faktor genetik, intelegensi, pendidikan, suku, kebudayaan, status ekonomi, dan kondisi fisik. Faktor lainnya adalah faktor eksternal. Menurut Friedman [7], faktor eksternal yang mempengaruhi copingstress antara lain: (1) Mencari informasi, single mother yang mengalami masalah rnemberikan respons secara kognitif dengan mencari pengetahuan dan informasi yang berubungan dengan stressor. Hal ini berfungsi untuk mengontrol situasi dan mengurangi perasaan takut terhadap orang yang tidak dikenal dan membantu keluarga menilai stressor secara lebih akurat. (2) Memelihara hubungan dengan komunitas, yaitu suatu coping keluarga yang berkesinambungan, jangka panjang dan bersifat umum. Dalam hal ini anggota keluarga adalah pemimpin keluarga dalam suatu kelompok, organisasi dan kelompok komunitas. (3) Mencari pendukung sosial. Mencari pendukung sosial dalam jaringan kerja sosial keluarga merupakan strategi coping keluarga eksternal yang utama. Pendukung sosial ini dapat diperoleh dari sistem kekerabatan keluarga, kelompok profesional, para tokoh masyarakat dan lain-lain yang didasarkan pada kepentingan bersama.
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan yaitu.
1. Gambaran coping stress pada single mother di kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo lebih banyak mengarah pada emotional focused coping (escape avoidance, distancing, positive reapprasial, self control dan social emotional support). Sedangkan problem focused coping (confrontive coping).
2. Sumber stress pada single mother di kecamatan Buduran, kabupaten Sidoarjo yaitu ekonomi, pekerjaan, mengurus anak, dan pandangan negatif dari sekelilingnya.
3. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pemilihan coping stress pada single mother di kecamatan Buduran, kabupaten Sidoarjo yaitu Kesehatan fisik, ketrampilan memecahkan masalah, ketrampilan sosial, dan dukungan sosial
References
- Helmawati. (2014). Pendidikan Keluarga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
- Noor, J. (2010). Metodologi Penelitian Skripsi, Tesis, Disertasi dan Karya Ilmiah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
- Nastiti, R. M. (2021). Pengaruh Pelaksanaan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka) Terhadap Kesejahteraan Keluarga Di Kecamatan Kuningan Kabupaten Kuningan. Jurnal psikologi Pitutur.
- -----------------. (2018). Data Sensus Penduduk Provinsi Jawa Timur. [on-line]. Diakses pada 10 Maret 2021.
- Krishna. (2022). Awal Tahun 2022 Angka Perceraian di Sidoarjo Capai 192. Suara Jatim Post. [online]. Diakses pada tanggal 1 Juli 2022 dari https://www.suarajatimpost.com/peristiwa-daerah/belum-genap-1-bulan-angka-perceraian-di-sidoarjo-mencapai-192-kasus
- Wira. (2019). Dalam Setahun ada 4000 Janda Baru di Sidoarjo. Cakrawala Sidoarjo. [online]. Diakses pada tanggal 1 Juli 2022 dari https://cakrawala.co/dalam-setahun-ada-4000-janda-baru-di-sidoarjo/
- Friedman, M. (2008). Keperawatan Keluarga: Teori dan Praktik. Jakarta: EGC.
- Hurlock, E. B. (2009). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga
- Lazarus, Richard., S & Folkman. (2002). Stress, Apraisal and Coping. New York: Springer.
- Gaol. (2016). Teori Stres Stimulus Respons dan Transaksional. Jurnal Psikologi Pitutur.
- Hidayat, A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
- Safaria, T. & Saputra, N. (2009). Manajemen Emosi: Sebuah Panduan Cerdas Bagaimana Mengelola Emosi Positif Dalam Hidup Anda. Jakarta: Bumi Aksara.
- Taylor, E. (2003). Psikologi Sosial Edisi 12 (terjemah Tri Wibowo). Jakarta: Kencana Predana Media Grup.
- Qaimi, A. (2003). Orangtua Tunggal: Peran Ganda Ibu Dalam Mendidik Anak. Bogor: Cahaya.
- Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Afabeta.
- Berk, E.L. (2012). Development Through The Lifespan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
- Sunaryo. (2014). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : EGC.
- Aini & Aliya Noor. (2011). Hubungan antara kontrol diri dengan prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi pada mahasiswa Universitas Muria Kudus. Jurnal Psikologi Pitutur.