Elementary Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v20i.686

The concept of KH. Ahmad Dahlan in the Development of Egalitarian Islam


Konsep KH. Ahmad Dahlan dalam Pengembangan Pendidikan Islam Egalitarian

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Ahmad Dahlan Concept Islamic Education Egalitarian

Abstract

Ahmad Dahlan's concept in developing a school in which general science and religious knowledge are taught at the Muhammadiyah School aims to form intellectual scholars by dissolving social class barriers applied by the Dutch education system which is counter-egalitarian in the world of education which causes differences in school graduates. resulting from each of these educations. Ahmad Dahlan's struggle in helping to change the fate of indigenous peoples embraced the common people by providing free schools in which there was general knowledge and religious knowledge aimed at changing their social status for the better. In order for the ideas implemented by Ahmad Dahlan to remain sustainable, the Muhammadiyah organization was formed as a conduit for his concept of thought. The concept of educational thought and business charity founded by Ahmad Dahlan continues and is growing, managed and continued by Persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah schools are not only spread throughout Indonesia but also abroad until now.

Pendahuluan

Pendidikan menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengembangkan diri melalui pembaharuan ide-ide maupun segala aspek lainnya.[1] Pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi keberlangsungan generasi diasa depan. Dalam proses pengaktualisasian kemanusiaan, manusia diberikan ruang kebebasan dalam memperoleh pendidikan tanoaadanya diskriminasi. Artinya tanpa adanya sekat penghalang kebebasan dalam memperoleh pendidikan bagi setiap individu. Saat ini pendidikan di Indoesaia telah tersebar merata pada seleluruh lapisan masyarakat. Namun, apabila kita menilik ke sejarah pendidikan pada zaman kolonial Belanda yang aktualisasinya pada bidang dunia pendidikan belum dikatakan setara apabila ditinjau dari segi hak sebagai manusia yang memiliki kebebasan untuk mendapatkan pendidikan yang layak faktor terjadinya dipengaruhi oleh paradigma ekonomi yang menyebabkan tertutpnya pintu bagi kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar biaya pendidikan. Belanda merupakan kaum feodalisme kaum yang memihak tuan tanah, orang-orang kaya yang dapat dikatakan hanya mementingkan golongan atas daripada orang yang memiliki kemampuan atau orang-orang yang memiliki prestasi.

Pendidikan di Indonesia pada masa kolonial Belanda bermula dari prinsip pendidikan di daerah jajahan yang bertujuan untuk golongan elite sosial. Dasar pendidikannya berorientasi terhadap barat dan terdapat diskriminasi sosial berdasarkan strata atau status sosial. Pada tahun 1901 terwujudnya politik etis yang digagas oleh Van Deventer, dalam politik etis sebagai tindakan yang dilakukan untuk balas budi terhadap pribumi, penyelengaraan politik etis ini berisikan yaitu irigasi, emigrasi (transmigrasi) dan edukasi. Namun pada hakikatnya usaha untuk mejalankan dan memperbaiki irigasi dan emigrasi akan sia-sia tanpa pendidikan, maka dari itu pendidikan menjadi bagian terpenting dalam politik etis ini. Perwujudan politik etis dengan mendirikan sekolah-sekolah yang ditujukan untuk kalangan pribumi. Kesempatan mendapatkan pendidikan ini dimanfaatkan oleh anak-anak Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang pada awalnya diperuntukkan bagi golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, dan anak keturunan belanda. Sistem pendidikan yang mereka perkenalkan yaitu dengan tingkatan antara lain: Europeesche Large School (ELS) sekolah dasar bagi orang eropa, HollandschInlandscheSchool(HIS) sekolah dasar bagi pribumi, Meer UitgebreidLagerOnderwijs (MULO) sekolah menengah pertama, Algemenee Middlebare School (AMS) sekolah menengah atas. [2]

Sekolah yang didirikan oleh oleh mematok biaya yang tinggi dan penemapatanya berada di kota mengharuskan siswa-siswa yang berasal dari desa harus meninggalkan kampung halamanya untuk belajar. Hal inilah yang menyebabkan tidak tersebar meratanya pendidikan bagi seluruh golongan masayarakat serta pendidikan kala itu hanya terbatas pada sebagaian golongan yakni golongan anak Belanda, asing Asia, asing Eropa, sedangkan rakyat pribumi yakni golongan ningrat, priyai dan saudagar.[3]

Pendidikan Belanda berorientasi barat yang bertujuan untuk menghasilkan pegawai pemerintahan yang berintelektual akan bekerja di kantor administrasi Belanda. Dari penjabaran diatas mengambarkan bahwa situasi pendidikan pada zaman kolonial tidak terdapat unsur memanusiakan manusia dengan pemenuhan hak- haknya sebagaimana mestinya. Praktek pendidikan pada zaman kolonial memperlihatkan bahwa pelaksanaan pendidikan non egaliter terlihat pada perbedaan perlakuan terhadap segolongan masyarakat berdasarkan status sosialnya yang mngenyampingkan hak-hak perorangan untuk mendapatkan hal yang sama dengan yang lainnya, yaitu hak untuk mendapat pendidikan serta memiliki hak untuk medapat perlakuan baik antar sesama manusia.

Penerapan pendidikan pada zaman kolonial tidak lepas dari perhatian Ahmad Dahlan, sebagai seorang intelektual muda yang memiliki cara pandang dan pemikiran terbuka dan bermula dari rasa keprihatinan terhadap masyarakat pribumi dari sinilah munculah pemikiran untuk memperbaiki kondisi pendidikan bagi masyarakat pribumi yang pada prakteknya tidak sejalan dengan pemikiran Ahmad Dahlan. Aktualisasi pemikiran Ahmad Dahlan dalam mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi masyarakat pribumi dengan menegakkan pendidikan Islam egalitarian. Dengan adanya tulisan ini maka peneliti mengambil fokus masalah (a) Bagaimana konsep KH. Ahmad Dahlan dalam mengembangkan Pendidikan Islam Egalitarian, (b) Bagaimana upaya KH. Ahmad Dahlan dalam memperjuangkan Pendidikan Islam Egalitarian. Berdasarkan fokus masalah diatas maka peneliti melakukan penelitian ini dengan tujuan agar mengetahui Ahmad Dahlan dalam mengembangan pendidikan islam egalitarian, serta upaya yang dilakukan ahmad dahlan dalam memerjuangkan pendidikan islam egalitarian yang aktulisasi konsepnya diwujudkan pada sekolah Muhamamdiyah dan pendirian persyarikatan Muhammadiyah yang terus berjalan hingga saat ini.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini yakni metode penelitian kepustakaan, Metode penelitian kepustakaan adalah penelitian yang sama dengan kegiatan analisis teks atau wacana yang mengkaji suatu peristiwa, baik berupa perbuatan atau tulisan yang diteliti untuk mendapatkan fakta-fakta yang tepat. Jenis penelitian kepustakaan yang peneliti tulis ini tergolong pada jenis penelitian kajian pemikiran tokoh. Penelitian tentang pemikiran tokoh dengan menggali informasi mengenai pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang memiliki karya-karya fenomenal maupun bukti aksi nyata. Karya tersebut dapat berbentuk buku, surat pesan atau dokumen lain yang berisikan tentang pemikiran tokoh tersbut.[4]

Sumber data adalah berbagai dokumen baik yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Cik Hasan Bisri menambah pendapatnya mengenai sumber data, bahwa sumber data adalah subjek tempat asal data diperoleh, dapat berupa bahan pustaka, atau orang (informan).[5] Sumber data berkaitan dengan bahan-bahan yang menjadi bahan penelitian yang sesuai dengan topik yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan sumber data primer dan skunder serta tersier. Pada penelitian ini, sumber data primernya adalah buku karya Muhammad Sudja’ yang berjudul Cerita Tentang Ahmad Dahlan. Diantaranya adalah Pembaruan Pendidikan Islam Sayyid Ahmad Khan dan KH. Ahmad Dahlan karya Drs. Suwarno, M.Si, KH. Ahmad Dahlan Nasionalisme dan Kepemimpinan Pembaharu Islam Tanah Air yang Menginspirasi karya Abdul Wali Kusno, KH. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah karya Hery Sucipto, Ajaran dan Pemikiran KH. Ahmad Dahlan karya Abdul Munir Mulkhan, Pelajaran Kiyai Haji Ahmad Dahlan 7 falsafah & 17 Kelompok Ayat Al- Qur’an karya KRH. Hadjid, Buku Ahmad Dahlan Museum Kebangkitan Nasional.

Teknik pengumpulan data merupakan langkah utama dalam penelitian, karena tujuan dari penelitian adalah memperoleh data. Apabila peneliti tidak memahami teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak mendapatkan data yang memenuhi standart data yang ditetapkan. Selain itu, Amir Hamzah menambah bahwa pengumpulan data didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan untuk meghimpun berbagai informasi yang relevan dengan topik atau pembahasan yang akan sedang diteliti. Informasi tersebut dapat diambil dari buku- buku ilmiah, penelitian, karangan-karangan ilmiah tesis, disertasi, dan sumber-sumber tertulis yang lain. Sugiyono menambahkan bahwa pengumpulan data dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, dapat dari

segi setting, sumber dan cara. Dalam penelitian kepustakaan, peneliti menggunakan pengumpulan data dari segi sumber. Menurut Sugiyono, bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan sumber primer, dan sumber sekunder. Karena jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) maka, untuk mengumpulkan data, penulis menggunakan metode dokumen.[6]

Hasil dan Pembahasan

A. Konsep KH Ahmad Dahlan Dalam Mengembangkan Pendidikan Islam Egalitarian

Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan untuk membimbing atau pembinaan seseorang serta pengembangan potensi yang dimiliki, dengan tujuan agar dapat menjadi hamba Allah dan serta dapat menjalankan tugas sebagai seorang khalifah dengan baik. Pendidikan dapat dikatakan sebagai model pembentukan kepribadian seseorang. Pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan hendaknya sebuah pendidikan diarahkan dalam upaya membentuk muslim yang memiliki budi pekerti luhur, alim dalam agama, memiliki pengetahuan yang luas pandangan dan pemahamannya mengenai ilmu keduniaan, serta bersedia dengan sepenuh hati untuk turut andil berjuang demi kemajuan masyarakatnya. Ahmad Dahlan terkenal sebagai orang yang gemar dalam mencari ilmu dan senang belajar hal-hal baru, memiliki pemikiran yang kritis serta terbuka saat memandang suatu peristiwa. Ia tidak menutup diri dari hal-hal baru yang belum diketahuinya. Hal ini terbukti ketika ia tidak hanya mencukupkan pengetahuan agama yang telah diajarkan oleh ayahnya sedari kecil namun ia memiliki tekad dan kemauan bahwa ilmu pengetahuan itu luas. Ahmad Dahlan mengambil keputusan untuk menuntut ilmu dan memilih Mekkah sebagai tempatnya. Gagasan pemikiran Ahmad Dahlan sangat terpengaruh pada para tokoh penggerak modernisasi Islam yakni Muhammad Abduh, Jamaludin al Afghani, Rasyid Ridha. Selain berguru keilmuan klasik ia juga banyak mmebaca tulisan-tulisan terkait pembaharuan dan pemikiran Islam modern antara lain: Kitab Tafsir Juz ‘Ama (Muhammad Abduh), Kitab at Tauhid(Muhammad Abduh), Kitab Fil Bid’ah (Ibn Taimiyah), Tafsir Al-Manaar (Rasyid Ridha), Majalah UrwatulWusqa(Muhammad Abduh), Majalah Ikhwanul Muslimin fokus pada bidang sosial.

Pemikiran-pemikiran tokoh pembaharuan Islam modern diatas banyak mempengarahi gagasan atau pola pemikiran Ahmad Dahlan dalam pembaharuan modernisasi Islam. Setelah kembalinya Ahmad Dahlan setelah menuntut ilmu di Mekkah lantas ia menerapkannya melalui tindakan secara langsung hal inilah yang menyebabkan Ahmad Dahlan mendapati julukan the man of action. Ahmad Dahlan menyalurkan ilmu yang telah dimilikinya dengan mengajar di langgar kidul milik keluarganya. Pendidikan pada era prakemerdekaan memang telah digerakan oleh pemerintah Belanda sabagai bagian dari politik etis. Namun, tidak stersebar merata dikarenakan hanya sebagaian golongan saja yang dapat mengenyam pendidikan yakni golongan bangsawan dan priyayi. Pemberian perlakuan istimewa terhadap golongan atas pada sistem pendidikan pemerintahan Belanda. Selain itu, pendidikan yang ada belum mencukupi sebagai bekal perkembangan zaman.

Masyarakat pada kala itu mendapat pendidikan sekuler serta maraknya kristenisasi yang diketahui masuk dalam jargon kolonialisme dan imperialisme eropa yakni gospel. Pemerintah kolonial berusaha melakukan peneterasi budaya barat agar diterima oleh kaum pribumi maka dari itulah pada sekolah Belanda tidak adanya pengetahuan agama bagi siswa pribumi. Adanya misi penyebaran kristenisasi melalui pendidikan ini menarik perhatian Ahmad Dahlan, dalam meyikapi hal ini dengan mengadakan kegiatan tabligh kepad masyarakat yang dengan itu dimaksudkan untuk memperkuat Akidah dan menunjukkan bahwa agama Islam merubapak sebaik- baiknya agama. Kekhawatiran ini dkarenakan banyak pribumi yang beragama Islam namun minim pemahamaan tetang Islam dan kurang kuatnya akidah yang dimiliki.

Pendidikan Islam tidak masuk dalam kurikulum sedangkan sebagian besar rakyat merupakan umat Islam. Pemerintah kolonial pada saat itu mengangap bahwa pengetahuan agama tidak perlu diberikan kepada masyarakat pribumi. Maka dari itu, pada zaman kolonial sekolah pada pemerintahan belanda tidak ada kurikulum pendidikan agama, padahal pada saat itu menurut pandangan Ahmad Dahlan pendidikan Islam penting. Pada Masa jajahan Belanda terdapat dua arah pedidikan yakni pendidikan pada sekolah Belanda dan pendidikan agama Islam yang diadakan disurau yang hanya dalam mengembangkan prakteknya Islam tradisional ini sulit untuk berkembang dan pada saat itu pendidikan agama dipandang sebelah mata karena tidak bisa memberi jaminan penempatan kerja yang baik untuk kedepannya karena difokuskan untuk perbaikan akhlak dan memhami hubungan dengan Tuhan serta mengetahui kewajiban yang harus dilakukan. [7]Akibat dari pendidikan agama yang di fokusnya pengetahuan terhadap ilmu keagamaan sehingga, menghasilkan dualisme produk lulusan dengan sekolah Belanda. Lulusan sekolah Belanda hanya mengetahui pengetahuan umum sedangkan lulusan pondok pesantren hanya mengenal pengetahuan agama saja.[8]

Pentingnya pendidikan bagi kemajuan bangsa ketika suatu negara memiliki sumber daya manusia yang paham akan ilmu pengetahuan umum atau berintelek. Namun, hal ini tidak tercapai dikarenakan adanya tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh Belanda kepada sebagian golongan masyarakat sehingga berdampak tidak meratanya pendidikan bagi warga negara Indonesia. Ahmad Dahlan membendung segala bentuk ketimpangan yang terdapat pada Belanda dengan memilih pendidikan sebagai jalur penghantar sebagai

senjata dalam melawan penjajah. Budi Utomo menjadi jembatan KH. Ahmad Dahlan dalam tujuannya unuk memberikan pendidikan agama Islam sebagai ekstrakulikuler kepada siswa pribumi agar terhindar dari upaya kristenisasi barat serta pembekalan pengetahuan agama yang diperuntukkan untuk anak-anak ningrat atau priyai yang bersekolah di sekolah Belanda. Ahmad Dahlan membuat Ibtidaiyah diniyah di ruang tamu yang selebar kurang lebih 2,5 x 6 meter. [9] Setelah berjalannya waktu murid-murid yang bersekolah di Madrasah Ibtidiyah semakin banyak Kiyai Ahmad Dahlan membuat keputusan untuk membentuk organisasi Muhammadiyah yang dimaksudkan agar sekolah Muhammadiyah tetap berkesinambungan dan bukan milik pribadi sang kiyai. Pada tanggal 18 November berdirilah organisasi Muhammadiyah sebagai jawaban citia-cita atas Ahmad Dahlan dan murid-muridnya. Darban yang mengutip scholihin Salam mengungkapkan lima program awal Kiyai Dahlan adalah sebagai berikut:

  1. Memurnikan akidah Islamiyah sehingga dapat kemurnian keyakinan kepada Allah dan tidak syirik;
  2. Mengembalikan setiap hukum Islam berdasarkan sumbernya yang asli sesuai yakni Al-Qur’an dan As- Sunnah;
  3. Melakukan rokontruksi pada pendidikan dan pengajaran Islam serta menyebarkan kebudayaan Islam;
  4. Menghidupkan semangat ukhuwwahIslamiyahdan
  5. Menghadapi aktivitas kristenisasi.[10]

Konteks Al-Ma’un berusaha dipraktikkan oleh organisasi Muhammadiyah melalui Amal Usaha Muhammadiyah (AUM). Dengan ini melalui AUM Muhammadiyah mendirikan sekolah dari level kanak- kanak hingga perguruan tinggi. moralitas al- Ma’un berpihak kepada golongan lemah, tertindas, bodoh dan orang-orang miskin maka dari itu wawasan al-Ma’un ini mendukung pada kelompok lemah untuk memperoleh kesetaraan persamaan hak sebagai manusia untuk memberikan kesempatan dalam membangun kehidupan. Lembaga pendidikan yang merupakan anak organisasi, atau yang biasa disebut sebagai amal usaha Muhammadiyah dalam penerapannya juga menjadikan Islam sebagai pondasi dasar. KH. Ahmad Dahlan menjadikan lembaga pendidikan yang dirintisnya sebagai “ rumah” bagi semua kalangan masyarakat. Untuk menjaga integritas sosial, memang diperlukan sebuah konsep pendidikan yang plural, inklusif dan egaliter. Egaliter merupakan paham akan memberikan perlakuan yang sama terhadap berbagai golongan yang tidak membedakan antara golongan satu dengan golongan yang lainnya.

KH. Ahmad Dahlan memang dikenal sebagai sosok yang memiliki kepekaan sosial tinggi di masyarakat sekaligus menjunjung tinggi toleransi antar golongan atau kelompok. Banyaknya batasan-batasan yang diterapkan pemerintahan Belanda pada saat itu membuat KH. Ahmad Dahlan tidak tinggal diam melihat orang lain tersiksa, tertindas, diperlakukan tidak adil oleh pemerintah jajahan. Hal inilah menjadikan sebab Kiyai Ahmad Dahlan mengambil tindakan dengan mendobrak batasan-batasan yang ada dengan memperbaiki pendidikan untuk rakyat pribumi agar mendapatkan hak-hak yang sama sebagai umat manusia.

a. Sebagai bentuk gerakan aksi nyata terhadap bidang pendidikan sebagai respon sekolah belanda yang berdasarkan diskriminatif yang kontra egaliter maka Ahmad Dahlan merumuskan gagasan pemikiran pendidikan Islam egaliter yang hendak dijalankannya. Berikut ini :

Figure 1.Konsep Pendidikan Islam Egalitarian

Penjabaran dari bagan konsep pendidikan egalitarian yang dijalankan pada sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan.

1. Mengintegrasikan ilmu pengetahuan umum dengan ilmu pengetahuan Islam kedalam satu lembaga pendidikan.

Pada masa penjajahan kolonial pendidikan dibagi menjadi dua yakni pendidikan agama yang bertempat disurau ata pesantren dan pendidikan umum yang ada pada sekolah Belanda. Kurikulum adalah perangkat

pengalaman belajar yang didapat oleh peserta didik selama mengikuti proses pendidikan. Kurikulum dimaksudkan untuk mencapai tujuan.[11] Disekolah Belanda tidak dimasukkan kurikulum ilmu pengetahuan agama sedagkan terdapat murid dari anak pribumi yang beragama Islam. Kondisi ini dibenahi oleh Ahmad Dahlan karena menyebabkan adanya dualisme ilmu pengetahuan. Ahmad Dahlan dengan memadukan sistem pondok pesantren dengan sistem sekolah Barat. Dalam hal ini, Ahmad Dahlan mengakui keunggulan pendidikan Barat dalam kaitan ilmu pengetahuan umum dan kepentingan praktis untuk bekerja pada pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta. Sebaliknya Dahlan sudah melihat kekurangan pendidikan barat yang bersifat sekuler karena tidak diajarkan agama. Ahmad Dahlan berusaha untuk mengintegrasikan kedua ilmu pengetahuan dengan maksud a) Ilmu pengetahuan umum merupakan kunci sukses yang banyak dibutuhkan oleh lapangan pekerjaan yang memiliki penghasilan tinggi dan mencapai kemajuan suatu negara apabila suatu negara tersebut memiliki SDM yang berintelek. b) ilmu agama merupakan bekal untuk kehidupan di dunia dan di akhirat sebagai bentuk usaha untuk penjagaan diri agar tidak keluar dari hal-hal yang dilarang agama.

2. Sekolah Gratis

Sekolah Belanda mematok biaya yang sangat mahal sehingga masurakat pribumi yang berasal dari golongan ningrat serta priyai yang dapat mengakses pendidikan di Belanda, sedangkan golongan berstatus sosial rendah atau orang-orang miskin tidak mampu untuk membayar biaya yang ditetapkan apabila ingin bersekolah di sekolah Belanda hal ini menyebabkan tidak meratanya pendidikan pada zaman kolonial. Dari fenomena ini kemudian Ahmad Dahlan memiliki insiatif untuk membangun sekolah gratis yang dibangunnya dengan biaya mandiri. Sekolah yang di dirikan Ahmad Dahlan juga disediakan fasilitas sebagai sarana penunjang belajar yakni tiga meja dan tiga bangku dari kayu jati, papan putih dari kayu suren. Sekolah itu dilaksankan tanpa bantuan siapapun hanya menggunakan uang pribadi serta tenaga ia sendirih. Murid-murid yang bersekolah di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah ini berasal dari anak-anak saudara kiyai dan para anak pribumi yang tidak dapat menempuh pendidikan di sekolah Belanda.

3. Sekolah untuk semua golongan masyarakat.

Pada sekolah Belanda siswa dibedakan berkelas-kelas sesuai dengan status sosialnya. Kelas ini dibagi mejadi enam yakni: kelas untuk anak Belanda, kelas untuk anak asing Eropa, kelas untuk asing Asia, kelas untuk pribumi ningrat, kelas untuk pribumi priyai dan sekolah rakyat satu dan sekolah rakyat dua. Terlihat sangat jelas bahwa kontra egaliter yang terjadi pada sekolah Belanda. Maka dari itu Ahmad Dahlan berusaha untuk membuat perubahan dengan menerapkan unsur memanusiakan manusia dengan penerapan pada sekolah yang dibuatnya tidak membedakan siswa berdasarkan kelas berdasarkan kelas osial seseorang, dari mana siswa itu berasal dan bagaimana status sosialnya. Siswa dari kalangan ningrat, asing, priyai dan rakyat jelata bisa berada dalam satu kelas. Bahkan, siswa dan guru pengajar yang bukan beragama Islam tetap bisa turut serta menjadi bagian lembaga pendidikan. oleh KH. Ahmad Dahlan, konsep ini dilakukan sebagai educationforall.

4. Out come dapat merubah status sosial menjadi lebih baik.

Sistem pendidikan pada masa kolonial Belanda merupakan bentuk tindakan yang menyebabkan stagnan atau tidak dapat merubah status sosial siswanya. Hal ini dikarenakan siswa yang belajar di sekolah di sekolah belanda apabila berasal dar anak orang ningrat maka akan mendapat kelas untuk kaum ningrat dan setelah lulus ia akan tetap menjadi seorang ningrat dengan dapat menggunakan fasilitas sebagaiaman yang didapatkan orang ningrat tidak ada perubahan. Begitupun pada anak-anak Belanda atau asing Eropa maupun asing Asia dan priyai pribumi. Akan tetapi, sisi egaliter dari sekolah Muhammadiyah adalah apabila siswa berasal dari kaum lemah, siswa miskin namun setelah menempuh pendidikan disekolah Muhammadiyah dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan agama maka outcome diharapkan atau dibantu untuk dapat menaikan status sosialnya, mengangkat derajatnya menjadi lebih baik lagi. Lulusan sekolah muhammadiyah diharapkan dapat menembus batas-batas sosial atau dapat bergaul dengan orang-orang yang memiliki stataus sosial atas sebgaiamana Ahmad Dahlan yang dapat bergaul dengan Budi Utomo yang notabennya berasal dari kalangan ningrat. Hal ini terbukti dari para lulusan sekolah Muhammadiyah turut serta dalam memajukan dan membebaskan bangsa dari penjajahan. Berikut ini contoh-contoh lulusan sekolah Muhammadiyah yang khususnya didirikan oleh Ahmad Dahlan dan perubahannya Ir. Soekarno (1901-1970), Ploklamator dan presiden Republik Indonesia (RI) yang pertama, ketika dalam pembuangan kolonial Belanda dibengkulu aktif sebagai anggota Muhammadiyah pada mejelis pendidikan dan pengajaran (Sekarang Majelis DIKDASMEN). Sudirman (1916-1950). Bahan, beliau oleh PP Muhammadiyah dianugrahi gelar sebagai anggota setia Muhamadiyah. Jendral dan Panglima ABRI yang pertama, pada waktu mudanya aktif dipemuda Muhammadiyah dan kepanduan HIZBUL WATHAN. [12] Beberapa tokoh muhammadiyah juga aktif dalam PETA (Pembela Tanah Air), seperti Kasman Singodimejo dan Mulyadi Joyomartono. Bahkan Jendral Suharto(lahir pada 1921), Presiden RI semasa Orde Baru(1966-1998), juga pernah mengecap pendidikan Muhammadiyah ketika menempuh pendididkan MULO(Setingkat dengan SMP), dan mengaku sebagai bibit Muhammadiyah ketika mmeberikan sambutan pada acara pembukaan Mukhtamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada juni 1995 dan lain-lain. Cita-cita kiyai Dahlan adalah terbentuknya orang alim tetapi pintar dalam pengetahuan. Melalui pendidikan Ahmad Dahlan bercita-cita untuk membentuk generasi muslim yang berkepribadian utuh. Dimana meraka dapat menjadi manusia yang memiliki kualifikasi religiusitas, intelektualitas dan bertangung jawab akan sosial.

A. Upaya Kiyai Ahmad Dahlan dalam Mempertahankan Pendidikan Islam Egalitarian

Ahmad Dahlan telah berhasil mendirikan sekolah dengan dana pribadi miliknya yang diperuntukkan bagi anak-anak dari golongan status sosial bawah atau anak-anak rakyat jelata. Setelah tercapainya apa yang di inginkan maka hal yang hrus dilakukan oleh Ahmad Dahlan adaan berupaya sebaik mungkin untuk mengelola, mempertahankan, dan menjaga sekolah yang telah didirikannya agar terus eksis dan berjalan sebagaimana mestinya yang dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak menghilang begitu saja. Upaya yang dilakukan Ahmad Dahlan dalam mempertahankan sekolah atau lembaga pendidikan miliknya diwujudkan dengan memperbaiki fasilitas sekolah yang disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan disesuaikan dengan sistem kelembagaan modern. Ia membenahi infrastruktur yang ditata dan dibangunnya, meliputi bangunan fisik sekolah, dekorasi ruang kelas, fasilitas pembelajaran, dan berbagai hal yang terkait sarana fisik. Sedangkan, secara kelembagaan, K.H. Ahmad Dahlan menerapkan sistem administrasi dan organisasi seperti halnya lembaga-lembaga modern pemerintah kolonial Belanda. Manajemen amal usaha pendidikan ditata agar berada dibawah organisasi Muhammadiyah, bukan milik K.H. Ahmad Dahlan.

Pada mulanya pembiyaan pada sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan berasal dari uang pribadi Ahmad Dahlan. Namun, sekolah Muhammadiyah sekarang ini mendapat bantuan dan pembiayaan pendidikan dari LAZISMU. LAZISMU merupakan sebuah Lembaga Amil Zakat yang memiliki tugas sangat penting dalam memberikan penyulahan dan menghapuskan kemiskinan di masyrakat. Dana yang terkumpul oleh LAZISMU nantinya akan kepada masyarakat-masyarakat melalui program-program yang telah tersusun dengan baik oleh LAZISMU, program-program tersebut meliputi : 1) SocialServices, 2) EconomicEmpowerment, 3) EducationDevelopment, 4) AgriculturalEmpowerment. Program LAZISMU terkait masalah pendidikan maka penyaluran bantuan dana sarana prasarana pendidikan bagi sekolah-sekolah Muhammadiyah yang memerlukan bantuan pembiayaan terkait pemenuhan kebutuhan pendidikan. LAZISMU memberikan bantuan dana pendidikan terhadap siswa-siswa kurang mampu.[13]

Fasilitas adalah segala sesuatu yang dapat mempermudah dan melancarkan suatu usaha yang masuk dalam kategori sarana prasarana yang dibutuhkan dalam melakukan suatu kegiatan. Begitu pentingya pengaruh fasilitas yang digunakan dapat menjadi faktor pendukung dalm keefektifan keguatan belajar. Oleh karena itu, mengapa Ahmad Dahlan berusaha untuk memperbaiki fasilitas sekolah tanpa memikirkan ia tidak mendapatkan uang sekolah dari murid-muridnya untuk membantu memberikan dana dalam membaarui fasilitas sekolah yang didirikannya tersebut. Ahmad Dahlan bermaksud dari adalah membuat siswa senyaman mungkin dan dapat mendapatkan pelayanan sebaik mungkin sehingga siswa tersebut merasa nyaman untuk bersekolah, sehingga dengan ini dapat terwujudnya keefektifan belajar dan terwujudnya tujuan belajar yang telah ditentukan sebelumnya.

Setelah perkembangannya yang diketahui bahwa sekolah-sekolah Muhammadiyah meneruskan perjuangan Ahmad Dahlan dengan terus melakukan pembenahan pada fasilitas sekolah, terlihat dari pengamatan yang telah dilakukan dari beberapa sekolah Muhamamdiyah sangat jelas terlihat bahwa sekolah Muhammadiyah saat ini sangat mengedepankan dan memberikan fasilitas-fasilitas terbaik dan modern yang disesuaikan dengan perkembangan zaman serta guru yang mumpuni dibidangnya, fasilitas berupa ekstrakulikuler yang dengan itu siswa dapat menggali mengasah kemampuan dirinya selain, kemampuan dari sisi akademik.

Penyebaran dan pemerataan pendidikan melalui sekolah Muhammadiyah yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dapat kita lihat bahwa organisasi Muhammadiyah yang didalamnya terdapat murid maupun para kader penerus yang siap untuk mengemban tugas dalam menjaga dan meneruskan perjuangan Ahmad Dahlan sehingga tidak berhenti dan hilang begitu saja dimakan zaman dikarenakan pegagasnya telah tiada. Pendidikan adalah sebuah hak asasi sekaligus sebuah sarana untuk merealisasikan hak-hak manusia lainnya. Sebagai hak kemampuan, pendidikan merupakan saran utama yang dimana orang dewasa dan anak-anak terpinggirkan baik secara ekonomi maupun secara sosial yang berguna untuk mengangkat dari kemiskinan dan memperoleh usaha untuk terlibat dalam komunitas mereka. Pendidikan memerankan sebuah peranan penting untuk pemberdayaan perempuan, melindungi anak-anak, dari eksploitasi kerja yang membahayakan. Perlindungan anak disini mencakup pula segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi haknya agar dapat tumbuh, berkembang dan dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan dan juga mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Menurut A.A Tilaar yang dikutip oleh diperlukan perhatian khusus mengenai keterjangkauan pendidikan meskipun wajib belajar tanpa biaya maupun gratis, namun pada prakteknya banyak negara berkembang yang menghalangi masuknya anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan di sekolah.[14]

Berkaitan dengan persoalan perluasan dan pemerataan pendidikan, maka pelaksanaan perluasan dan pemerataan pendidikan merupakan suatu kebijakan publik yang dilaksanakan oleh pemerintahan pusat dan daerah secara komperhensif guna mewujudkan cita-cita UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Perluasan dan pemerataan pendidikan merupakan suatu persamaan kata yang memiliki makna hampir sama. Perluasan pendidikan menekankan bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengadakan sarana dan prasarana pendidikan harus mencapai pelosok dan daerah-daerah terpencil. Pemerataan pendidikan upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah agar seluruh warga masyarakat dapat memperoleh hak yang sama di dalam mengakses pendidikan. Menghapuskan pembedaan antara si kaya dan si miskin atau masyarakat desa dan masyarakat desa.[15]

Pembaharuan pendidikan oleh Muhammadiyah terus dinamis dengan mengikuti perkembangan zaman. Amal usaha Muhammadiyah dalam bidang pendidikan menurut data pendidikan pada tahun 2000 data dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2010) memiliki capaian yang luar biasa. Jumlah SD/MI 2890, Sekolah Menengah Pertama SMP/MTs 1.772, SEKOLAH Menangah Atas(SMA)/MA/SMK 929, Pondok Pesantren 55, Perguruan Tinggi Muhammadiyah 151. Data base Pimpinan Pusat Muhamamdiyah menunjukkan kenaikan pada tahun 2010 pada jenjang Sekolah Dasar (SD)/MI 2.604, Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs 1.772, Sekolah Menengah Atas (SMA)/MA/SMK 1.143, Pondok Pesantren 67, Perguruan Tinggi 172.[16] Dan menurut data Piminan Pusat Muhammadiyah pada konfrensi pers yang dilakukan oleh Dahlan Rais mengenai pendidikan sekolah taman kanak-kanak sampai sekolah dasar di Australia yakni bernama “MuhammadiyahAustralia College(MAC)” mendapat izin operasional dari Pemerintah Australia yang dikeluarkan oleh VictorianRegistrationandQualificationsAuthority(VRQA)DepartmentEducationVictoriapada 21 Desember 2021.[17]

Dari pemaparan ini dapat dilihat bahwa sepeninggalnya Ahmad Dahlan sekolah Muhammadiyah sangat maju dan terus berkembang serta tetap eksis sampai saat ini. Pembangunanya tidak hanya di Indonesia namun di luar negeri juga, yang tepatnya di Australia dikarenakan mewujudkan permintaan para WNI yang mengalami kesulitan dalam mencari pendidikan yang diharapkan dengan ini Muhamamdiyah hadir untuk menjawab dan mewujudkan sekolah yang dapat dimanfaatkan WNI di Australia yang terkhusus para anak- anak calon kader masa depan yang dapat menjadi sebagai penerus persyrikatan. Sekolah Muhamamdiyah cocok untuk para anak-anak muslim WNI dikarenakan pada sekolah Muahmamdiyah tidak hanya memerhatikan pengetahuan umum saja namun juga pemberian pendidikan agama sebagaimana yang telah di gagas diberikan contoh oleh Ahmad Dahlan sang pendiri Muhamamdiyah. Pemenuhan fasilitas serta pembaharuan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman masih tetap dilakukan oleh Muhamamdiyah. Pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke tetap tersentuh oleh pendidikan yang dijalankan dan dikelola oleh Lembaga Muhammadiyah. Pengelolaan pembiayaan lebih terlembaga dan lebih baik dari sebelumnya. Muhamamdiyah tetap tidak anti terhadap pembaharuan perkembangan zaman dan teknologi sehingga tetap mengikuti membersamai sebuah pembaharuan demi terciptanya perbaikan yang terbaik bagi kader-kader Muhamamdiyah.

Kesimpulan

Pendidikan Islam Egalitarian Ahmad Dahlan diwujudkan untuk menolong wargapribumi yang tidak dapat merasakan pendidikan akibat kurang optimalnya pemerataan pada pendidikan Belanda hal ini diwujudkan dengan mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama Islam, memberikan sekolah gratis bagi siswa kurang mampu, serta mencetak out come mendobrak batasan-batas golongan sosial dan diharapkan dapat membantu untuk memperbaiki keadaan ekonomi menjadi lebih baik dengan memberikan ilmu pengetahuan umum sebagai kuncinya. Setelah terwujudnya konsep pendidikan yang digagas maka Ahmad Dahlan melakukan upaya untuk mempertahankan dengan pembenahan infrastruktur berupa fasilitas sekolah mengikuti perkembangan zaman serta mendirikan organisasi Muhammadiyah agar amal usaha yang telah dijalankan berkesinambungan dan terkrlola dengan baik.

References

  1. Prodi Pendidikan Agama dan FITK UIN Sunan Kalijaga, Globalisasi Pendidikan Agama Islam, 1 ed. Yogyakarta: Prosiding Webinas, 2021.
  2. A. Wali Kusno, K.H. Ahmad Dahlan Nasionalime dan Kepemimpinan Pembaharu Islam Tanah Air Yang Menginspirasi, 1 ed. Yogyakarta: C-Klik Media, 2020.
  3. S. Nasution, Sejarah Pendidikan Indonesia, 3 ed. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2008.
  4. A. Hamzah, Metode Penelitian Kepustakaan (Library Research). Malang: Literasi Nusantara Abadi, 2020.
  5. Mahmud, Metode Penelitian Pendidikan, 10 ed. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
  6. Sugiyono, Metode Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. Bandung: Alfabeta, 2013.
  7. D. Ahmad Adaby, Sejarah Kauman Menguak Identitas Kampung Kauman, 2 ed. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010.
  8. M. T. Arifin, Muhammadiyah Potret Yang Berubah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016.
  9. S. H.M, Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan: Catatan Haji Muhammad Sudja’, 1 ed. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018.
  10. F. S. Fujiawati, “Pemahaman Konsep Kurikulum Dan Pembelajaran Dengan Peta Konsep Bagi Mahasiswa Pendidikan Seni,” J. Pendidik. Dan Kaji. Seni, vol. 1, no. 1, hlm. 18–19, 2016.
  11. Suwarno, Pembaruan Pendidikan Islam Sayyid Ahmad Khan Dan KH Ahmad Dahlan, 1 ed. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2016.
  12. N. Notosusanto, Sudirman Panglima Yang Menepati Janjinya, 8 ed. Prisma, 1988.
  13. Syaputra, “Peranan LAZISMU Dalam Mengetaskan Kemiskinan Masyarakat D.I. Yogyakarta,” J. Islam. Econ. Lariba, hlm. 52, 2016, doi: 10.20885/jielariba.vol2.iss2.art4.
  14. H. A. R. Tilaar, Standartisasi Pendidikan Nasional Suatu Tujuan Kritis, 1 ed. Jakarta: Rhineka Cipta, 2006.
  15. L. Hakim, “Pemerataan Akses Pendidikan Bagi Rakyat Sesuai Dengan Amanat Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,” J. EduTech, vol. 2, no. 1, hlm. 61–62, 2016.
  16. Z. Nuryana, “Muhammadiyah Dan Pendidikan Di Indonesia,” 2019, doi: 10.31227/osf.io/y9gdf.
  17. Anardianto, “Berdirinya Muhammadiyah Australia College Internasional Persyarikatan,” Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2021. [Daring]. Tersedia pada: https://muhammadiyah.or.id/berdirinya-muhammadiyah-australia-college-bukti-nyata-internasionalisasi-persyarikatan/