Science Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v20i.661

The Role of Special Assistant Teachers on Speech Delay Students' Social Interaction in Elementary Schools


Peran Guru Pendamping Khusus Terhadap Interaksi Sosial Siswa Speech Delay di Sekolah Dasar

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Special Assistant Teacher Role Social Interaction Speech Delay

Abstract

This research is motivated by the importance of social interaction that starts early. So that special assistant teachers play a role in improving the social interaction skills of speech delay students. The purpose of this study was to determine the application of the role of the special assistant teacher to the social interaction of speech delay students and the obstacles of the special assistant teacher (GPK) in implementing their duties on the social interaction of speech delay students. The researcher uses a case study qualitative research method. Data collection techniques used are non-participant observation, structured interviews, and documentation. The research subjects are special accompanying teachers and their accompanying speech delay students. The result of the research is that special assistant teachers play a role in social interaction by accompanying students, ensuring student activity and guiding students to be able to socialize by slowly eliminating their egocentric nature. The obstacle for GPK in implementing its duties is that when the ATF is critical, it is difficult to accept suggestions from others. So that it can be said that social interactions arise due to imitation factors and suggestions given by GPK.

Pendahuluan

Hak untuk memperoleh pendidikan merupakan hak semua warga negara, tak terkecuali anak berkebutuhan khusus. UUD No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat (pasal 5) berbunyi setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan [1]. [2] mengatakan bahwa pendidikan inklusif adalah suatu sistem pendidikan yang diciptakan untuk mewujudkan konsep pendidikan untuk semua dengan cara menggabungkan anak-anak berkebutuhan khusus dalam lingkungan belajar bersama anak-anak normal. Selanjutnya, menurut Sapon Shevin dalam [3] pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusiannya. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif yang mewajibkan pemerintah kabupaten/kota menyediakan paling sedikit satu Guru Pendamping Khusus atau GPK pada satuan pendidikan yang ditunjuk [4]. Didukung dengan penelitian [5] bahwa pada setiap kelas di sekolah tersebut memiliki paling tidak satu guru pendamping khusus yang menangani siswa special needs. Sehingga setiap siswa ABK membutuhkan guru pendamping khusus.

Guru pendamping khusus lebih mendalami tata laksana penerapan disiplin atau perlakuan yang harus dijalani [2]. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 bahwa guru pendamping khusus adalah guru yang bertugas mendampingi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan memiliki kompetensi dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus [6].

Lebih lanjut penelitian [7] mengatakan bahwa peran guru pendamping khusus dalam menangani siswa dengan gangguan autisme sangat memegang peranan yang optimal. Dukungan sosial guru dan metode pengajaran yang digunakan perlu dipertahankan dan terus dikembangkan untuk memfasilitasi perkembangan siswa penderita autisme secara lebih optimal. Hal ini sejalan dengan penelitian [8] bahwa perlu koordinasi dalam rencana perlakuan kepada anak berkebutuhan khusus agar kemampuan komunikasi dan bersosialisasi bisa dilakukan di dalam dan di luar kelas bersama teman sebaya lainnya. Peserta didik yang berkebutuhan khusus dapat berinteraksi di kelas bersama teman dan guru di kelas.

Penjelasan tersebut didukung dengan penelitian yang dilakukan [9] bahwa Manusia adalah makhluk sosial, maka manusia tidak akan pernah hidup di dunia ini tanpa melakukan interaksi dengan manusia yang lain, baik dalam bentuk kelompok maupun secara individu dalam bentuk Asosiatif maupun Disosiatif. Guru pendamping khusus pada anak speech delay juga harus mengembangkan interaksi sosial anak. Gangguan keterlambatan berbicara pada anak bagian dari aspek perkembangan bahasa.

Penelitian yang dilakukan [10] menyimpulkan bahwa guru pendamping khusus sudah cukup baik dalam menangani gangguan keterlambatan berbicara pada anak dan membawa perubahan yang lebih baik dengan memberikan alat bantu pendengaran, guru memberikan pelajaran privat khusus, serta melalui isyarat gerak tubuh, tangan dan bibir. Guru memberikan tambahan pembelajaran yang setara agar lebih banyak mengenal kata, menyusun kata serta berbicara dan berkomunikasi, serta secara perlahan dibantu dengan teman-teman sebayanya.

Berdasarkan penelitian di atas, peran guru pendamping khusus sangat penting dalam mengembangkan interaksi sosial siswa. Salah satu wawancara yang peneliti lakukan dengan kepala guru pendamping khusus bahwa beberapa guru pendamping khusus berhasil mengajak siswa ABK untuk bersosialisasi pada saat pembelajaran berlangsung.

Indonesia saat ini sedang menghadapi permasalahan serius akibat wabah COVID-19 yang sudah menyebar ke berbagai wilayah. Tidak hanya Indonesia saja mengalami masalah ini. Namun perlahan-lahan wabah tersbut akan berkurang. Adanya kebiajakan PPKM, memberikan dampak terhadap pendidikan, salah satunya di SD Muhammadiyah 2 Taman. Pembelajaran di sekolah dilakukan 2 kali tatap muka dengan pergantian masuk sesuai dengan absen besar dan absen kecil. Absen kecil masuk pada hari Selasa dan absen besar di hari Kamis. Sedangkan pembelajaran daring dilaksanakan pada hari Senin, Rabu, dan Jumat. Namun, pada siswa berkebutuhan khusus melakukan pembelajaran dengan home visit pada hari Senin dan Selasa, untuk hari Rabu dan Kamis dilakukan terapi di sekolah dan hari Juamtnya pembelajaran berbasis daring.

Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti ingin mengetahui peran guru pendamping khusus terhadap interaksi sosial siswa melalui penelitian yang berjudul “Peran Guru Pendamping Khusus Terhadap Interaksi Sosial Siswa Speech Delay di SD Muhammadiyah 2 Taman (Studi Kasus)”.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif studi kasus. Subjek dalam penelitian ini adalah satu guru pendamping khusus beserta siswa yang didampinginya yang dikategorikan dalam siswa speech delay pada kelas II. Setting penelitian ini adalah di SD Muhammadiyah 2 Taman. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk mengamati peran GPK terhadap interaksi sosial siswa speech delay selama pembelajaran berlangsung. Sedangkan teknik wawancara mengenai peran guru pendamping khusus siswa speech delay. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data menurut Milles & Hubberman. Terdapat empat tahapan yakni pengumpulan data, kondensasi data, penyajian data, menggambar dan memverivikasi kesimpulan.

Hasil dan Pembahasan

A. Penerapan peran guru pendamping khusus terhadap interaksi sosial siswa speech delay di SD Muhammadiyah 2 Taman

Dalam peran guru pendamping khusus (GPK) terdapat indikator agar dapat diketahui secara jelas peran GPK yang dilakukan ketika proses pembelajaran berlangsung dan ketika mendampingi saat pembelajaran selesai. Menurut [11] terdapat enam indikator peran guru pendamping khusus, yakni mendampingi siswa, menerjemahkan interaksi guru kepada siswa pada saat pembelajaran, memastikan keaktifan siswa di kelas, membimbing siswa agar bisa bersosialisasi, membuat laporan tertulis, memberikan saran bagi orang tua dan sekolah. Ke enam indikator itulah yang peneliti gunakan sebagai pedoman dalam melakukan observasi dan wawancara. Berikut hasil observasi dan wawancara tersebut:

a. Mendampingi Siswa

Sesuai dengan [6] bahwa GPK adalah guru yang bertugas mendampingi di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan memiliki kompetensi dalam menangani peserta didik berkebutuhan khusus. GPK mendampingi ATF dimanaupun ia berada, bermain dengan teman bahkan ketika di rumahnya. Siswa ATF sangat aktif sehingga harus didampingi selalu di sisinya. Hal ini didukung dengan pendapat GPK dalam wawancara, bahwa:

“iya, sampai selesai proses pembelajaran, kalau di luar itu biasanya seperti bermain sama temannya, biasanya kalau dirumah saya juga mendampingi” (Senin, 26 Agustus 2021).

Peran GPK tidak lepas dari tugasnya dalam mendampingi siswa ABK. Semua GPK pasti seperti itu. Namun guru pendamping khusus ini dalam mendampingi ATF, beliau harus mendampingi dimana pun ATF berada diakrenakan ATF anaknya sangat aktif, jika tidak diikuti dia bisa kemana-mana.

b. Menerjemahkan interaksi guru kepada siswa

Proses kegiatan belajar mengajar yang menuntut ATF untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran terlibat dengan GPK. Ketika pembelajaran, GPK selalu menjelaskan ulang materi agar siswa ATF lebih memahami yang dibicarakan guru kelasnya. Penjelasan tersebut didukung dengan pendapat GPK dalam wawancara, bahwa:

“Jadi pemberian pelajarannya itu kalau setiap mata pelajaran, setelah guru kelas menjelaskan. Saya biasanya mengulanginya itu lebih sederhana. Kalau misalnya hitungannya sudah saya ulang. Saya mengulangnnya tidak sampai 25-30. Masih angkah sebelasan dan lebih disederhanakan. Cuma penjelasan penjumlahan dan pengurangan itu bisa sampai ke anaknya gitu” (Senin, 26 Agustus 2021).

Sehingga modifikasi dalam pembuatan soal juga dilakukan oleh GPK agar ATF bisa memahami pembelajaran yang sedang berlangsung. Soal yang diberikan juga dikaitkan dengan gambar-gambar konkrit.

c. Memastikan keaktifan siswa di kelas

Keaktifan siswa dilihat dalam proses kegiatan belajar siswa, seperti bertanya dengan orang lain, menyapa orang lain, berbicara dengan lantang kepada orang lain. Namun berbeda dengan ATF. Ia akan sering berbicara dengan orang yang dekat dengannya, seperti guru pendamping khususnya. Ketika bertemu dengan orang baru, ATF akan terlihat diam dan mengabaikan pembicaraan orang lain. Hal ini didukung dengan pendapat GPK, bahwa:

“Kalau percaya diri, anaknya sudah percaya diri. Cuma kalau bersama orang baru masih agak malu. Saya biasanya menjelaskan ke anaknya, seperti “ya ndakpapa itu juga gurunya ATF” jadikan setiap hari ketemu. Seperti maju di depan kelas itu bersama saya dan saya tinggal sebentar, agar dia bisa berani” (Senin, 26 Agustus 2021).

Rasa percayadiri yang dialami ATF sudah mulai berkembang meskipun harus didampingi GPK. Ketika masuk kelas pun ATF sudah terbiasa mengucap salam lebih dahulu. Tingkat perkembangan bicara berada di bawah tingkat kualitas perkembangan bicara anak yang secara umurnya sama yang dapat diketahui dari ketentuan penggunaan kata [12].

d. Membimbing siswa agar bisa bersosialisasi

Keaktifan dan percaya diri siswa mempengaruhi cara siswa bersosialisasi di lingkungan sekitarnya. Anak yang mempunyai keterlambatan berbicara atau speech delay sulit dalam bersosialisas dikarenakan keterbatasannya dalam berbicara. Hal ini didukung dengan pendapat GPK, bahwa:

“Anaknya itu kan ceria dan aktif jadi kalau misalya berteman dia itu justru leboh senang kalau ada temannya ikut bermain. Jadi dia bisa sendiri tanpa saya. Kadang dia berani mengajak temannya. Cuma kalau mengajak temannya itu hanya mencolek dan berkata “hei ayok” nah itu masih jelas. Dia tidak jelas berbicaranya kalau ngomong panjang” (Senin, 26 Agustus 2021).

ATF sangat senang bermain dengan teman yang lain. Bahkan ATF lebih ceria ketika bertemu dengan temannya. Dengan begitu, ATF perlahan lahan akan bisa menghilangkan sifat egosentrisnya.

e. Membuat laporan tertulis

Tugas guru pendamping khusus tidak hanya mendampingi siswa berkebutuhan khusus, namun juga membuat laporan tertulis sebagai rapor siswa. GPK membuat laporan secara akademik maupun non-akademik. Seperti yang dijelaskan oleh GPK, bahwa:

“Iya, disini kan ada buku laporan perkembangan itu hari ini ngapain saja, saya ajari apa saja nanti biasanya ditanda tangani oleh wali murid, koor, sama wali kelas juga. Non-akademik itu lebih keterapinya ya. Nah kalau terapinya iya, kekurangan dia kan di akademik. Jadi terapinya memang lebih ke akademik. Soalnya perilakunya juga sudah terkontrol. Seperti pemahaman huruf dan angka dia memang belum paham, biasanya saya mengajarkan ke dia pelan-pelan” (Senin, 26 Agustus 2021).

Laporan tertulis harian berisikan tentang kegiatan setiap hari yang akan diajarkan kepada ATF, sedangkan laporan bulanan secara general dari segi kognitif, sosial, dan akademik.

f. Memberikan saran bagi orangtua dan sekolah

Komunikasi antara guru dengan orangtua dan sekolah sangat penting dalam mengetahui perkembangan siswa. Sehingga GPK selalu melaporkan kegiatan setiap hari dan memberikan saran yang baik bagi siswanya. Penjelasan tersebut didukung dengan pendapat GPK, bahwa:

“Setalah pembelajaran selalu melaporan kegiatan pembelajaran secara lisan. Biasanya terkain ananda di sekolah, misalnya ananda rewel atau apa kan kita sampaikan apakah ada masalah atau kesulitan dalam belajarnya. Jadi biasanya setelah pulang sekolah memberitahukan ke orang tua seperti hari ini ananda sudah bagus belajarnya. Jadi itu dilakukan setiap pembelajaran selesai dan setiap hari”

Komunikasi tersebut akan mengetahui perkembangan sosial siswa di kelas agar GPK dan orang tua bisa menilai perkembangan sikap dan pengetahuan ATF untuk menjadi lebih baik.

B. Hambatan guru pendamping khusus dalam menerapkan tugasnya terhadap interaksi sosial siswa speech delay di SD Muhammadiyah 2 Taman

Berbicara tentang peran guru pendamping khusus, tidak terlepas dari peran guru dalam membimbing siswa agar bisa berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Siswa ATF yang diteliti ini mempunyai gangguan keterlambatan berbicara (speech delay) sejak dini, sehingga peran guru dalam mengembangkan interaksi sosial siswa ATF sangat diperlukan. Dalam hal ini peneliti melakukan observasi dengan melihat nampak atau tidaknya interaksi sosial yang seharusnya dilakukan. Sehingga peneliti melakukan penelitian langsung kepada peran guru terahap siswa ATF. Berikut hasil observasi peneliti berdasarkan peneltian lagnsung yang dilakukan peneliti:

a. Interaksi Fisik

Interaksi fisik ini berhubungan dengan bertemu dengan orang lain dan hubungan fisikal ketika bertemu dengan orang lain. Guru pendamping khusus membimbing ATF agar tersenyum kepada semua orang ketika bertemu atau ketika sedang menyapa. ATF anaknya pemalu jika bertemu dengan orang baru. Tetapi dia sedikit terlihat kepercayaan dirinya jika diminta guru kelas untuk menirukan gerakan yang diminta guru kelas. ATF bisa merasakan kebahagiaan atau kesedihan orang lain, seperti ketika Ketika ATF merasa sedih karena ada siswa lain yang marah pada saat bermain, ATF hanya diam saja dan diam. ATF ketakutan dengan yang dilakukan siswa lainnya. Pada saat masuk dan pulang ruang sumber ATF selalu berjabat tangan dengan guru pendamping lainnya, namun dengan bujukan guru pendampingnya. Selama proses pembelajaran, guru pendamping khusus akan menempatkan ATF di dekat guru untuk memudahkan pemantauan. Guru pendamping memberikan perhatian khusus pada apa yang dibutuhkan ATF selama proses pembelajaran berlangsung. Guru pendamping khusus meminta ATF untuk membawa barang-barang yang dibutuhkan untuk kelas, seperti mengambil buku, kotak pensil, atau bahkan membongkar sendiri, sehingga ATF dapat secara mandiri menyiapkan materinya. buku yang akan digunakan. Faktor sugesti yang diberikan guru pendamping khusus pada ATF selalu diterima tanpa pikir panjang. Sugesti yang dimaksud adalah pengaruh psikis yang datang dari orang lain sehingga diterima tanpa adanya daya kritik dalam menanggapi suatu hal [13].

b. Interaksi Verbal

Kemampuan imitasi atau biasa disebut kemampuan menirukan adalah kemampuan perilaku dasar seorang anak [14]. Kemampuan menirukan harus dimiliki oleh seorang anak, maka harus diajarkan sejak awal. Sehingga anak bisa meningkatkan rasa percaya dirinya. Gabriel Trade beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan faktor imitasi saja [13]. Hal tersebut misalnya pada anak yang sedang belajar bahasa, seakan-akan mereka mengimitasi dirinya sendiri, mengulang bunyi kata-kata, mengulang fungsi lidah, dan mulut untuk berbicara. Teori ini bertentangan dengan peneliti, dikarenakan pada saat penelitian faktor terjadinya interaksi sosial tidak hanya faktor imitasi saja, melainkan juga adanya faktor sugesti.

Peran guru pendamping khusus dalam interaksi verbal siswa ATF adalah untuk memastikan siswa aktif berkomunikasi dengan orang lain sehingga mereka dapat memiliki komunikasi dua arah atau saling menguntungkan. Meskipun ATF adalah anak yang pemalu. Guru pendamping khusus selalu memantau aktivitas siswa selama berkomunikasi. Ketika instruksi yang rumit diberikan, seringkali perlu disertai dengan pengulangan dan bimbingan dari guru. ATF seringkali terhambat dan tidak mampu melakukan komunikasi dua arah dan komunikasi timbal balik yang jelas. Motorik mulut berguna untuk membentuk kemampuan berbicara, di mana akhirnya bertujuan untuk memberikan kemampuan berbahasa yaitu bicara yang dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain. Goal terkhir yang ingin dicapai adalah kemampuan berkomunikasi dua arah [13]. Namun, ketika berkomunikasi dengan orang dekat seperti guru pendamping, siswa ATF secara bertahap memahami apa yang diinginkan oleh guru pendamping. Peran guru pendamping khusus harus dimainkan dengan peran pembantu dan motivasi terbaik, sehingga dapat meningkatkan kemampuan beradaptasi siswa ATF.

c. Interaksi Emosional

Peran guru pendamping khusus terhadap interaksi emosional ATF yaitu membimbing siswa agar bisa bersosialisasi untuk menghilangkan sifat egosentirsnya dengan cara perlahan-lahan menjelaskan perilaku atau perbuatan yang baik dan benar seperti berbagi permainan dengan teman sebayanya. Guru pendaimping membimbing siswa ketika bermain dengan teman lainnya ketika proses pembelajaran selesai. Jadi guru pendamping mengenalkan cara bermain, seperti bermain jenga. Sehingga siswa perlahan akan bisa menyusun jenga. ATF sangat senang bermain dengn siswa lainnya. ATF berteman dengan siapa saja yang ingin berteman dengan ATF. Dia tidak membeda-bedakan teman. Akan tetapi jika ada temannya yang sedang marah atau suasana hatinya sedang tidak baik, ATF akan ketakukan saat bermain dengan teman lainnya. Sehingga siswa akan bermain sendiri atau dengan guru pendampingnya saja.

Dalam penelitian yang dilakukan [15] siswa tergolong baik dalam hal interaksi fisik, sedangkan interaksi verbal dan emosionalnya masih termasuk dalam kategori cukup karena siswa yang diteliti bukanlah siswa berkebutuhan khusus. Dalam penelitian ini, interaksi fisik, verbal, dan emosional ATF tampaknya masih membutuhkan pendampingan guru pendamping khusus.

Pada penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan Syifa, Sofia, dan Nurmaya bahwa Syifa dan kawan-kawannya mencari peran guru pendamping khusus terhadap perilaku inatensi pada anak ADHD sehingga proses bahkan indikator yang dilakukan oleh peneliti jauh berbeda dan hasil dari penelitian pun perbeda. Sedangkan penelitian yang dilakukan Mursyidah juga berbeda dengan subjek yang diteliti. Sabjek yang diteliti Mursyidah yaitu interaksi sosial seluruh anak berkebutuhan khusus. Namun pada penelitian ini hanya menggunakan satu sabjuk saja yakni guru pendamping khsus siswa ATF yang mempunyai berkebutuhan khusus speech delay. Sehingga indikator yang digunkan oleh peneliti ini, menggunakan indikator dari tugas guru pendamping khusus [11] dan indikator interaksi sosial menurut [15] . Dari 6 indikator peran guru pendamping khsus, hanya ada empat indikator yang berhubungan dengan indikator interaksi sosial yakni indikator mendampingi siswa sesuai dengan interaksi fisik siswa ATF, indikator memastikan keaktifan siswa dan menerjemahkan interaksi guru sesuai dengan interaksi verbal siswa ATF, dan indikaotr membimbing siswa agar bisa bersosialisasi dengan interaksi emosional siswa ATF.

Penelitian ini menunjukkan bahwa peran guru pendamping khusus terhadap interaksi sosial ATF sudah menunjukkan perannya sebagai guru pendamping khusus siswa ATF dapat dilihat dari cara guru pendamping khusus mendampingi siswa ATF untuk bisa berinteraksi dengan orang disekitarnya walaupun masih dalam proses.

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan hasil analisis data yang telah diulas oleh peneliti. Maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada penelitian ini peneliti mengambil 6 indikator dari peran guru pendamping khusus dan 3 indikator interaksi sosial siswa speech delay yang sudah ditetapkan berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang telah dilakukan di SD Muahammadiyah 2 Taman berikut hasilnya:

  1. Mendampingi siswa dan membuat laporan secara tertulis sesuai dengan indikator interaksi fisik siswa speech delay yaitu guru mendampingi siswa pada saat pembelajaran dan nonpembelajaran. Sebelum pembelajaran siswa ATF memberi salam dan bersalam kepada guru pendamping khusus lainnya. Guru pendamping juga memberikan laporan tertulis harian maupun bulanan.
  2. Memastikan keaktifan siswa, menerjemahkan interaksi guru kelas kepada siswa pada saat pembelajaran, dan memberikan saran bagi orang tua dan sekolah sesuai dengan indikator interaksi verbal siswa speech delay yakni guru pemberikan motivasi seperti siswa diminta untuk percaya diri dalam bertanya kepada guru kelas sehingga interaksi verbal siswa perlahan lahan terlihat meskipun yang diucapkan nampak tidak jelas didengar. Siswa ATF pada saat daring tidak diam saja. Dia aktif mengikuti pembelajaran. Setelah pembelajaran, guru pendamping menjelaskan kembali materi yang diberikan guru kelas. Agar siswa lebih memahami materi yang dipelajari. Setiap hari guru melakukan komunikasi dengan orang tua melalui whatsapp dan bericara tatap muka.
  3. Membimbing siswa agar bersosialisasi sesuai dengan indikator interaksi emosional siswa speech delay yakni guru membimbing siswa untuk berinteraksi dengan guru kelas seperti bertanya dengan dampingan guru pendamping. Lalu ketika bermain, ATF sangat ceria meskipun jarang mengajak bicara teman bermainnya. ATF mengajak temannya dengan memanggil namanya saja dengan melambaikan tangan seakan-akan dia mengajak temannya untuk bermain bersama.

2. Hambatan guru pendamping khusus dalam menerapkan tugasnya terahdap interaksi sosial ATF yakni Hambatan yang sering terjadi dalam menerapkan tugas GPK yakni ketika ATF bersikap kritis sulit untuk menerima sugesti dari orang lain. Makin kurang daya kemampuannya memberikan kritik maka akan makin mudahlah ATF menerima sugesti dari orang lain. Dari kritik itu akan mengalami hambatan kalau ATF dalam keadaan lemah/lelah misalnya ketika ATF ketakutan ada temannya yang mengalami tantrum saat pembelajaran berlangsung. Sehingga perlu adanya respon langsung dari GPK.

Peran guru pendamping khusss terhadap siswa speech delay yang peneliti lihat mengindikasikan bahwa interaksi fisik siswa ATF sudah terlihat dikarenakan guru pendamping khusus selalu mencontohkan perilaku yang harus dilakukan ketika bersalam, meminta tolong, ataupun berterimakasih. Sehingga siswa belum menunjukkan kemandirian. Guru pendamping khusus memberikan imitasi maupun sugesti yang diberikan kepada ATF. Dikarenakan ATF masih malu-malu untuk bertemu dengan orang baru. Sehingga metode imitasi maupun sugesti yang diberikan guru pendamping khsus harus diberikan dan diajarkan secara bertahap dan teratur.

References

  1. Presiden Republik Indonesia, “Undang-Undang No . 4 Tahun 1997,” Undang. No . 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat, no. 1, 1997.
  2. E. Murniarti and N. Z. Anastasia, “Pendidikan inklusif di tingkat sekolah dasar: konsep, implementasi, dan strategi,” J. Din. Pendidik., vol. 9, no. 1, pp. 9–18, 2016.
  3. N. I. Herawati, “Pendidikan Inklusif,” EduHumaniora | J. Pendidik. Dasar Kampus Cibiru, 2016, doi: 10.17509/eh.v2i1.2755.
  4. Permendiknas, “Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentnag Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewah,” vol. 2, no. 5, p. 255, 2009, [Online]. Available: ???
  5. N. Lailiyah, “Peranan Guru Kelas dan Guru Pendamping Khusus dalam Memberikan Bimbingan Belajar pada Siswa Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif,” Angew. Chemie Int. Ed. 6(11), 951–952., no. 1, pp. 42–51, 2020.
  6. Pergub Jatim, “Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa Timur,” Dok. Inf. Huk. - JDIH Biro Huk. Setda Prov Jatim, pp. 1–8, 2011.
  7. S. Anak, A. Di, and S. D. N. Kunciran, “Peran Guru dalam Mengembangkan Interaksi Sosial Anak Autis di SDN Kunciran 07,” vol. 1, pp. 196–203, 2021.
  8. M. Chotimah, “Peran Guru Pendamping dalam Meningkat Kemampuan Bersosialisasi Peserta Didik Berkebutuhan Khusus di Madrasah Ibtidaiyah Terpadu Ar Roihan Lawang,” vol. Vol 3, No, no. 1, pp. 84–100, 2021.
  9. A. Muslim, “Interaksi Sosial dalam Masyarakat Multietnis,” J. Diskurs. Islam, vol. 1, no. 3, pp. 484–494, 2013, [Online]. Available: http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/diskursus_islam/article/view/6642/5402.
  10. Taseman, Safaruddin, N. F. Erfansyah, W. A. Purwani, and F. Femenia, “Strategi Penanganan Gangguan ( Speech Delay ) Terhadap Interaksi Sosial Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina Surabaya,” JECED J. Early Child. Educ. Dev., vol. 02, no. 01, pp. 13–26, 2020.
  11. Y. Setianingrum, Shadow Teacher, Cetak pert. Medan: Google Play Book, 2019.
  12. I. (Universitas N. S. Tsuraya, Kecemasan Pada Orang Tua Yang Memliki Anak Terlambat Bicara ( Speech Delay ). 2013.
  13. W. Miraningsi, “Hubungan Antara Interaksi Sosial Dan Konsep Diri Dengan Perilaku Reproduksi Sehat Pada Siswa Kekas XI Di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Purworejo,” Universitas Negeri Semarang, 2013.
  14. S. Sunanik, “Pelaksanaan Terapi Wicara dan Terapi Sensori Integrasi pada Anak Terlambat Bicara,” Nadwa J. Pendidik. Islam, vol. 7, no. 1, pp. 19–44, 2013, doi: 10.21580/nw.2013.7.1.542.
  15. M. M. A. A. Indri, “Korelasi Kecerdasan Emosional Dengan Interaksi Sosial Siswa Kelas VII MTs Negeri 2 Pontianak,” 2015.