Abstract

Based on the recently released PISA (Program for International Student Assessment) report, Tuesday, December 3, 2019, Indonesia's reading score was ranked 72 out of 77 countries, mathematics scores were ranked 72 out of 78 countries, and science scores were ranked 70 out of 78 countries. . Data from international research institutions such as the Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), and Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMS) show similar findings. In connection with this condition, the author wants to discuss the causal factors and how to improve the literacy culture of students in elementary schools. The approach method in this paper uses literacy studies. From various literatures it is found that there are three factors that cause low interest in reading. First, the lack of reading habits that are instilled from an early age. Second, the lack of book production in Indonesia as a result of the undeveloped regional publishers. Third, the lack of main educational facilities for internet-based information systems, which during the Covid'19 pandemic became the only reliable access to obtain various information, while not everyone has the ability to access the internet. Therefore, efforts are needed to solve the problem of low literacy culture. Various literatures suggest several efforts to improve literacy culture among elementary school students, including: firstly implementing the School Literacy Movement program launched by the Government, secondly holding literacy competitions such as writing competitions, reading poetry, etc., as well as reading corners in each class. , and the third held a one day one page program through assignments to read 1 page every day and summarize the reading results. Through these programs, it is expected to be able to improve the literacy culture of elementary school students and can systemically improve the quality of the nation. 

Introduction

Islam adalah agama yang sangat peduli dengan literasi. Sejak wahyu pertama diturunkan telah mampu melahirkan satu paket sejarah peradaban yang sangat tinggi nilainya bagi ilmu pengetahuan. Sejarah peradaban Islam mencatat bahwa kejayaan Islam bermula dari kata iqra’ (bacalah) yang mampu menggerakkan kekuatan membangun kualitas sumber daya manusia sehingga melahirkan jenis manusia-manusia unggul yang menjadi pendukungnya, seperti para sahabat, tabi’in, ulama, dan para ilmuwan muslim. Keunggulan Islam sebagai sebuah peradaban sangat ditopang oleh pribadi-pribadi unggul itu [1]

Ilmuwan-ilmuwan muslim seperti Ibnu Sina, Al Haitam, dan Al Khawarizmi telah banyak menghasilkan karya diantaranya Al-Qanun fi al-Tibb, As Syifa’ (Ibnu Sina), Mizan Al Hikmah, dan ratusan buku yang belum ditemukan (Ibnu Haitam), Hisab Al Jabar wal Muqabalah, tabel perhitungan yang dapat mengukur kedalaman bumi, Suratul Ardhi (Al Khawarismi). Hal ini menunjukkan bahwa para ilmuwan tersebut telah mengembangkan budaya literasi yang efektif dan produktif. Sejarah mencatat mereka sebagai tokoh peradaban dengan bukti karya-karya tersebut. Mereka memiliki gairah untuk membaca, menulis dan menyampaikan ilmu pengetahuan kepada seluruh manusia. Sejarah juga mencatat fakta adanya lembaga-lembaga pendidikan seperti kuttab, madrasah nidzomiyah, perpustakaan, tradisi kepenulisan, gerakan penerjemahan karya-karya asing, sampai ke universitas-universitas ternama. Itu semua dibangun dan dilestarikan agar budaya literasi ini terus terjaga sampai kapanpun. [2]

Budaya literasi di suatu bangsa sangat mempengaruhi kecerdasan dan pengetahuan masyarakatnya. Seseorang mendapatkan pengetahuan dan kecerdasan dari seberapa banyak wawasan yang dia miliki. Banyaknya wawasan yang masuk ke dalam otaknya tergantung dari berapa banyak informasi yang dia peroleh, baik dari media lisan maupun buku yang dia baca. Kuncinya adalah budaya menuntut ilmu dari berbagai sumber terutama dengan membaca. Itulah yang disebut dengan budaya literasi.

Budaya literasi di Indonesai akan mempengaruhi tingkat kecerdasan, emosi, kebijaksanaan masyarakat di Indonesia. Namun sangat disayangkan di Indonesia budaya literasinya sangat rendah. Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen. Ini tahun 2012. Laporan PISA yang dirilis bulan Desember 2018 menunjukkan kondisi yang tidak jauh berbeda. skor membaca Indonesia ada di peringkat 72 dari 77 negara, lalu skor matematika ada di peringkat 72 dari 78 negara, dan skor sains ada di peringkat 70 dari 78 negara.

Kondisi ini sungguh memprihatinkan. Jika kita saksikan realita masyarakat kita dalam menyikapi suatu perubahan, hampir selalu menyisakan konflik dan perdebatan antara yang pro dan kontra. Menurut Syarifudin Yunus pegiat literasi sekaligus Pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka, menegaskan ada 7 (tujuh) dampak signifikan dari rendahnya tingkat literasi masyarakat, yakni: (1) Kebodohan yang tidak berujung, sehingga sulit membangun masyarakat tertib dan beradab. (2) Produktivitas yang rendah, sehingga gagal mengoptimalkan potensi diri dan terlalu bergantung pada orang lain. (3) Pendidikan tidak berkualitas, sehingga gagal berkontribusi terhadap kemaslahatan umat. (4) Angka putus sekolah tinggi, sehingga kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) rendah dan menjadi basis meningkatnya pengangguran. (5) Kemiskinan yang meluas, sehingga menjadi beban ekonomi dan sulit membangun ekonomi kreatif. (6) Kriminalitas yang meninggi, sehingga hidup tidak aman dan tidak nyaman serta memperbesar rasa saling curiga. (7) Sikap bijak yang rendah, sehingga sulit menerima informasi dan perilaku komunikasi yang rentan konflik. [3]

Dampak di atas lebih terasa saat pandemi covid-19 mendera negeri ini. Krisis di semua aspek kehidupan mewarnai kondisi masyarakat kita. Menyikapi kondisi tersebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan surat edaran dengan Nomor :36962/MPK.A/HK/2020 tentang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ditujukan kepada semua lembaga pendidikan, baik SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi. PJJ ini bisa dilakukan baik secara daring (dalam jaringan/online), luring (luar jaringan/offline), dan paduan daring-luring (blended learning). Sistem pembelajaran tersebut diandalkan oleh pemerintah agar para peserta didik tetap mendapatkan layanan pendidikan. Surat edaran tersebut.[4]

Sejak pandemi tahun 2021, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), jumlah satuan pendidikan yang melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) mencapai 78% dari total 183.566. Itupun berdasarkan satuan pendidikan yang melapor. Sementara, 22% sekolah masih menerapkan pembelajaran tatap muka (PTM). [5]

PJJ yang diandalkan pemerintah ini, di lapangan tidak semudah yang dibayangkan. Pembelajaran daring yang dianggap sebagai solusi saat PJJ, realitanya justru menuai masalah-masalah baru seperti kuota internet yang lemot, minimnya kemampuan guru dan siswa dalam mengoperasikan media, keluhan peserta didik karena tugasnya menumpuk, yang kemarin belum tuntas sudah ada tugas yang baru, dan lain-lain yang mengakibatkan proses pembelajaran tidak efektif.

Berdasarkan pemaparan di atas, penulis akan merumuskan dua rumusan masalah yang menjadi fokus pembahasan di artikel ini. Dua rumusan masalah tersebut adalah apa penyebab rendahnya budaya literasi di Indonesia dan bagaimana cara menumbuhkan budaya literasi di Indonesia. Dari dua rumusan masalah ini, penulis akan fokus membahas tentang fakta-fakta di lapangan yang menjadi faktor penyebab rendahnya budaya literasi di Indonesia dan mengkaji pendapat para pakar yang berkompeten di bidangnya terkait cara untuk menumbuhkan budaya literasi bagi anak sedini mungkin.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan pada artikel ini adalah studi literature (literatue review). Literature review merupakan sebuah metode yang sistematis dan eksplisit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan sintesis terhadap hasil penelitian dan pemikiran yang dihasilkan oleh peneliti dan praktisi (Okoli & Schabram, n.d.). Literature review ini dapat berupa ringkasan sederhana dari sumber, namun memiliki pola dengan menggabungkan dan mensintesis ringkasan. Ringkasan ini merupakan kesimpulan dari informasi penting dari berbagai sumber. [6]

Hasil dan Pembahasan

Sebagai negara yang memiliki keanekaragaman budaya dan bahasa, Indonesia pasti mengalami berbagai persoalan yang kompleks. Sebuah kebijakan harus bisa diputuskan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan perspektif yang berbeda, sehingga dibutuhkan kualitas pemimpin yang memiliki daya literasi yang tinggi. Demikian pula rakyatnya harus memiliki daya literasi yang tinggi juga. Agar keputusan dari pemerintah dapat disikapi dengan daya pikir yang sehat dan cerdas.

Namun berdasarkan data-data yang dihimpun dari berbagai sumber, tingkat budaya literasi masyarakat di Indonesia sangat rendah sebagaimana yang sudah dipaparkan di Pendahuluan di atas. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia untuk menemukan solusi praktis meningkatkan budaya literasinya. Pertanyaan yang muncul adalah apa faktor-faktor penyebab rendahnya budaya literasi di Indonesia? Ada banyak faktor yang menyebabkannya diantaranya:

Pertama, tidak ada kebiasaan membaca yang ditanamkan sejak dini. Di dalam buku Atomic Habits (2019), James Clear penulis buku ini menyampaikan bahwa jika Anda bisa menjadi 1% lebih baik setiap hari dalam setahun, akhirnya Anda akan 37 kali lebih baik pada penghujung tahun. Jika kita tarik dalam konteks membaca, maka jika Anda menjadi 1% lebih cerdas dengan membaca buku 30 menit setiap hari selama satu tahun, akhirnya Anda akan 37 kali lebih cerdas pada penghujung tahun.[7] Jika itu benar-benar diupayakan secara masif di kalangan pelajar tahun ini, maka di penghujung tahun hasil PISA akan bergerak naik ke level yang tinggi. Namun realita yang terjadi di Indonesia tidak ada upaya serius dari orang tua untuk membiasakan anak-anaknya membaca di rumah. Yang dilakukan orang tua adalah lumrah dan masuk akal, karena saat mereka kecil juga tidak dibiasakan membaca oleh orang tuanya. Inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya budaya literasi anak-anak kita saat ini. [8]

Kedua, keterbatasan sarana membaca. Keterbatasan sarana ternyata juga jadi penyebab kebiasaan membaca ini tidak dilakukan. Sarana tersebut misalnya perpustakaan. Berapa banyak perpustakaan di daerah anda? Pasti masih bisa terhitung dalam jangkauan kecamatan. Sedangkan jumlah warnet, sukar terhitung bahkan dalam lingkup kecamatan. Selain itu, koleksi buku di dalam perpustakaan juga berpengaruh. Percuma juga apabila banyak perpustakan namun isinya buku-buku yang sama dengan sekolah. Maka, anak tidak minat untuk berkunjung ke sana. [8]

Ketiga, kurang motivasi. Motivasi sangat penting bagi pengembangan diri setiap orang, terutama anak. Bagi orangtua dan guru mestinya mampu memotivasi anak-anaknya agar mendapat semangat untuk membaca. Terkadang, anak tidak tahu banyaknya manfaat ketika ia membaca buku. Akibatnya, anak menjadi malas untuk membaca.

Keempat, tidak tahu manfaat membaca. Sebenarnya banyak sekali manfaat membaca buku, tergantung pula apa yang dibaca. Seperti misalnya mengetahui sejarah, dan mengasah pikiran logikanya. Sejak kecil, anak perlu diberi tahu manfaat buku dan diberikan media membaca. Selain itu, dengan membaca anak bisa mendapat wawasan yang luas, mengasah imajinasi dan kemampuan untuk berkarya. Maka dari itu, berilah motivasi yang baik agar anak menjadi semangat dalam membaca buku. [8]

Kelima, game online dan sosial media. Inti dari teknologi sebenarnya adalah ini, game online dan social media. Kedua hal itulah berperan akif menggugurkan minat baca pada anak. Kita bisa lihat game online, kini setiap anak yang mempunyai gadget, pasti ada game online di dalamnya. Mereka akan lebih senang menggunakan uangnya untuk membeli paket internet ketimbang sebuah buku. Social media. Keberadaan sosial media cukup membagi sedikit literasi. Tetapi kebanyakan yang muncul dari sana biasanya tulisan-tulisan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena tidak memiliki sumber yang otentik. Selain itu, di sosial media anak hanya dapat membaca postingan orang lain yang tidak berguna. Hal tersebut tentu menjauhkan anak dari budaya literasi. [8]

Mencermati faktor-faktor penyebab rendahnya budaya literasi di atas, maka perlu segera adanya upaya-upaya untuk dapat meningkatkan budaya literasi bagi anak. Dari beberapa literatur dpaparkan solusi dari permasalahan di atas yaitu

Dalam buku panduan Gerakan Literasi Sekolah yang diterbitkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan disebutkan ada beberapa kegiatan yang bisa diprogramkan di kelas diantaranya adalah pojok baca, 15 menit membaca lantang setiap hari sebelum jam pertama, dan lain-lain. [9]

Menyelenggarakan lomba-lomba literasi seperti lomba membaca puisi, lomba menulis cerpen, lomba membaca cerita, dan lain-lain. [9]

Program one day one page. Sehari Bersama buku dengan aktifitas membaca buku satu halaman setiap hari. Program ini dapat menjadi kegiatan unggulan siswa di sekolah dasar yang dikawal oleh guru dan orang tua untuk dilaksanakan setiap hari baik di sekolah maupun di di rumah. Setiap hari Sabtu guru melakukan coaching kepada siswa terkait kendala-kendala yang dialami saat membaca selama satu pekan. Sekaligus memberikan reward bagi siswa yang bersedia berbagi cerita tentang isi buku yang ia baca selama satu pekan ini. [10]

Kesimpulan

Kondisi literasi di Indonesia sungguh memprihatinkan. Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Padahal budaya literasi di suatu bangsa sangat mempengaruhi kecerdasan dan pengetahuan masyarakatnya, apalagi bangsa ini memiliki keanekaragaman budaya dan bahasa, pasti mengalami berbagai persoalan yang kompleks. Untuk mengatasi hal itu baik pemimpin maupun rakyatnya harus memiliki ketrampilan literasi yang tinggi. Dengan demikian pemimpin negeri ini akan mampu memberikan kebijakan dengan mempertimbangkan berbagai aspek dan perspektif yang berbeda. Dan rakyatnya pun mampu menyikapi kebijakan pemimpinnya dengan daya pikir yang sehat dan cerdas.

Penyebab rendahnya tingkat literasi di Indonesia beragam, diantaranya tidak ada pembiasaan membaca sedari kecil sehingga minat baca menjadi rendah, kurangnya motivasi dan teladan dari orang tua untuk anak-anaknya, keterbatasan sarana untuk membaca, seperti jumlah variasi buku di perpustakaan sekolah, bahkan banyak sekolah yang ruang perpustakaannya kurang memadai, Minimnya pengetahuan tentang manfaat membaca buku, sehingga anak-anak lebih suka menonton televisi, bermain game, dan bersosial media.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah sekolah harus memiliki program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sudah digalakkan pemerintah sejak tahun 2015. Diantara program Gerakan Literasi Sekolah adalah one day one page. Program satu hari membaca satu halaman, dipantau oleh sekolah. Selain itu juga bisa dengan menyelenggarakan lomba-lomba literasi seperti membuat dan membaca puisi, lomba menulis cerpen, lomba membaca cerita, lomba orasi kebangsaan, sampai ke cerdas cermat literasi. Mengasah pengetahuan kebahasaan. Di sekolah juga bisa mengintegrasikan kegiatan literasi ini di setiap mata pelajaran. Seperti membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, membaca lantang, membaca dalam hati, unjuk cerita, dan menulis narasi.

References

  1. Anoname, Literasi Islam dalam <http://islamic-bookfair.com/post/detail/literasi-islam> 2018
  2. Abdillah F Hasan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, Surabaya, Penerbit Jawara, 2004
  3. Anoname, Ini 7 Dampak Dari Rendahnya Tingkat Literasi Masyarakat dalam < https://www.hariansuara.com/news/nasional/15843/ini-7-dampak-dari-rendahnya-tingkat-literasi-masyarakat > 2019
  4. Yazid Raffi Kusuma Wardana, Permasalahan yang Sering Dihadapi dalam Proses PJJ di Masa Pandemi Covid 19, dalam <https://www.kompasiana.com/yazid69427/610409df1525102fe5575632/permasalahan-yang-sering-dihadapi-dalam-proses-pembelajaran-jarak-jauh-pjj-di-masa-pandemi-covid-19> 2021
  5. Dwi Hadya Jayani, Sekolah di Indonesia Masih Belajar Jarak Jauh dalam <https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/04/01/78-sekolah-di-indonesia-masih-belajar-jarak-jauh> 2021
  6. Zulia Putri Perdani dan Tim, Panduan Literature Review, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Tanggerang, 2020
  7. James Clear, Atomic Habit, Jakarta, Gramedia, 2021
  8. Anoname, Literasi Indonesia Sangat Rendah dalam < https://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/15/ngm3g840-literasi-indonesia-sangat-rendah > 2014
  9. Dewi Utami Faizah dan Tim. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Dasar, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016.
  10. Tim Literasi SDIT Insan Kamil Sidoarjo, Panduan Literasi SDIT Insan Kamil Sidoarjo tahun 2020-2021