Elementary Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v12i.579

Participation Analysis of Class IV A Female Students in Learning at SD Kemala Bhayangkari 10 Porong


Analisis Partisipasi Siswa Perempuan Kelas IV A dalam Pembelajaran SD Kemala Bhayangkari 10 Porong

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Student Participation Woman Primary Education

Abstract

This study aims to describe the participation of female students at IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong. This research is a qualitative critical research. The subject of this study was fourth grade students of SD Kemala Bhayangkari 10 Porong. Data collection techniques using observation, interviews, and documentation. The data analysis in this study uses domain analysis, compound analysis, taxonomy analysis and theme analysis. Data validity techniques using technical triangulation. The results showed that the participation of female students in grade IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong was low. Internal factors that influence the low participation of female students in grade IV A are psycological factors, namely the interest of female students based on the attitude of subjects. External factors that influence the low participation of female students in grade IV A are school factors, namely the stereotype of male students towards female students’ intellectual and symbolic violence in the relationship between teacher and child.

Pendahuluan

Partisipasi diperlukan dalam proses pembelajaran, sebab pada prinsipnya belajar adalah berbuat untuk mengubah tingkah laku, jadi melakukan kegiatan maksudnya siswa harus aktif dalam mengikuti proses pembelajaran. Tidak ada belajar kalau tidak ada aktivitas. Itulah sebabnya aktivitas merupakan prinsip atau asas sangat penting dalam proses pembelajaran. Belajar adalah suatu proses yang aktif, bila siswa itu ialah adanya perhatian menginternalisasikan informasi aktif dalam memecahkan masalah[1]. Sejalan dengan yang dikemukan Jackson bahwa partisipasi tersebut menyediakan setting dimana siswa dapat membangun dan membentuk identitas sebagai anggota kelas[2]. Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa partisipasi dalam kegiatan kelas penting agar pembelajaran efektif dapat dilakukan[2]. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran, keterlibatan siswa sangatlah penting. Jika siswa turut berpartisipasi aktif dalam proses

pembelajaran, maka proses pembelajaran akan berjalan dengan baik dan tujuanpun akan tercapai dengan baik, tapi jika siswa tidak berpatisipasi dan berperan aktif, maka pembelajaranpun akan menjadi pasif dan tujuan tidak akan tercapai dengan baik. Menurut Moelyarto Tjokrowinoto dalam Suryabrata menyatakan bahwa partisipasi merupakan penyertaan mental dan emosi seseorang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk mengembangkan daya pikir dan perasaan mereka untuk terciptanya tujuan-tujuan bersama bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut[3]. Partisipasi siswa dalam pembelajaran dapat terlihat pada aktifitas siswa. Menurut Sardiman partisipasi dapat terlihat aktifitas fisiknya, yang dimaksud adalah peserta didik giat aktif dengan anggota badan, membuat sesuatu, bermain, ataupun bekerja, ia tidak hanya duduk dan mendengarkan, melihat atau pasif[4].

Sardiman membuat suatu daftar yang berisi macam-macam kegiatan siswa, antara lain:1) Visual activities, seperti membaca, memperlihatkan gambar, demonstrasi, percobaan, pekerjaanorang lain; 2) Oral activities, seperti menyatakaan, merumuskan, bertanya, mengeluarkan pendapat, diskusi; 3) Listening activities, seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, percakapan;4) Writing activities, seperti menulis, contoh soal, penyelesaian soal, rangkuman; 5) Drawing activities, seperti menggambar, membuat grafik, peta, diagram; 6) Motor activities, seperti melakukan percobaan, membuat model permainan; 7) Mental activities, seperti mengingat, memecahkan soal, menganalisis, melihat hubungan,mengambil keputusan; 8) Emotional activities, seperti menaruh minat, merasa bosan, gembira, bersemangat, berani,tegang, dan gugup[5].

Slameto menjelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dapat digolongkan menjadi dua golongan yaitu faktor intern dan faktor ekstern. Adapun faktor intern yang mempengaruhi belajar siswa yaitu pertama faktor jasmaniah yang terdiri dari faktor kesehatan dan faktor cacat tubuh. Kedua faktor psikologis yang terdiri dari intelegensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, dan kesiapan. Dan ketiga yaitu faktor kelelahan. Sementara itu faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar dapat dikelompokkan menjadi 3 faktor, yaitu pertama faktor keluarga yang terdiri dari cara orang tua mendidik, relasi antaranggota keluarga, dan suasana rumah. Kedua, faktor sekolah yang terdiri dari metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran diatas ukuran, keadaan gedung, dan tugas rumah. Dan ketiga yaitu faktor masyarakat yang terdiri dari kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul, dan bentuk kehidupan masyarakat[5].

Karakteristik siswa kelas IV Sekolah Dasar menurut Syamsu Yusuf diantaranya: 1) Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan-pekerjaan yang praktis; 2) Amat realistik, ingin mengetahui, ingin belajar; 3) Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli yang mengikuti teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor (bakat-bakat khusus); 4) Sampai kira-kira umur 11,0 tahun anak membutuhkan guru atau orangorang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya; 5) Pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekolah; 6) Anak-anak pada usia ini gemar membentuk kelompok sebaya biasanya untuk dapat bermain bersama-sama. Dalam permainan itu biasanya anak tidak lagi terikat kepada peraturan permainan yang tradisional (yang sudah ada), mereka membuat peraturan sendiri[8]. Permasalahan yang terjadi di SD Kemala Bhayangkari 10 Porong terutama bagi siswa

perempuan bahwa siswa perempuan kurang aktif dalam proses pembelajaran. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari aktif tidaknya siswa bertanya tentang materi pelajaran dan menjawab pertanyaan dari guru. Selama pengamatan, siswa perempuan kelas IV A di SD Kemala Bhayangkari 10 Porong tergolong memiliki tingkat bertanya dan menjawab pertanyaan yang rendah daripada siswa laki-laki dikelas tersebut. Jika guru memberikan kesempatan siswa untuk bertanya atau menjawab pertanya guru, hanya sedikit dan bahkan hampir tidak ada siswa perempuan yang mau bertanya. Hanya siswa laki-laki yang mau mengajukan diri untuk bertanya. Berdasarkan permasalahan tersebut penelitian ini bermaksud untuk menganalisis faktor rendahnya partisipasi siswa perempuan kelas IV A dalam pembelajaran di SD Kemala Bhayangkari 10 Porong

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan pada objek yang alami, berkembang secara alami, tanpa rekayasa dari peneliti dan peneliti sebagai instrumen kunci berdasarkan pada pandangan postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, dimana peneliti sebagai instrumen kunci [10]. Jika penelitian ini menggunakan metode kualitatif maka jenis penelitian ini menggunakan jenis penelitian kritis. Penelitian kritis berusaha menjelaskan pengamatan dan melakukan analisis atas paham dan kondisi sosial untuk memperkuat kedudukan kelompok-kelompok yang tertindas[8]. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis partisipasi siswa perempuan kelas IV A dalam pembelajaran. Penelitian ini disajikan dalam bentuk deskripsi.

Jenis data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut (1) Sumber data primer, yaitu sumber data yang didapatkan oleh peneliti secara langsung dari hasil lapangan[11]. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber data dari siswa kelas IV A dan wali kelas IV A. (2) Sumber data sekunder, yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung memberikan data kepada peneliti[9]. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan sumber dari bahan-bahan studi kepustakaan dan atau informasi yang diperoleh dari pihak lain seperti buku, jurnal, artikel, peraturan-peraturan, dokumen-dokumen, dan undang-undang yang berkaitan dengan partisipasi dalam pembelajaran.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini dengan observasi, wawancara, dan kajian dokumentasi, yaitu (1) Observasi, pengamatan yang dilakukan peneliti dimana peneliti selain melakukan pengamatan juga melakukan apa yang dikerjakan sumber data sehingga dapat turut merasakan apa yang diarasakan sumber data tersebut [9]. Dalam melakukan observasi peneliti menggunakan lembar observasi yang akan ditujukan pada siswa dan wali kelas IV A. (2) Wawancara, yaitu percakapan yang dilakukan oleh dua pihak antara pewawancara dengan terwawancara dengan maksud bertukar informasi tertentu[12]. Dalam penelitian ini peneliti melakukan wawancara yang akan ditujukan pada siswa dan wali/guru kelas. (3) Dokumentasi, yaitu pengumpulan catatan peristiwa yang sudah berlalu bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang[9]. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan dokumentasi berupa rekaman wali kelas IV A, rekaman siswa kelas IV A, arsip kelas tentang catataan pelanggaran siswa, foto kegiatan siswa serta dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis model Spardley. Model analisis data model ini memanfaatkan adanyanya hubungan semantik, dimana hubungan semantik ini dikaitkan dengan masalah penelitian. Terdapat empat tahapan dalam model ini diantaranya yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema. (1) Analisis domain, yaitu yang dilakukan untuk memperoleh gambaran yang umum dan menyeluruh dari objek/penelitian atau situasi sosial.[9] Terdapat enam langkah yang dilakukan dalam analisis domain diantaranya: Memilih salah satu hubungan semantik untuk memulai (hubungan jenis, ruang, sebab akibat, rasional, lokasi untuk melakukan sesuatu, fungsi, cara mencapai tujuan, tahapan, dan atribut atau karakteristik[12]. (2) Analisis Taksonomi, yaitu dilakukan setelah ditemukannya domain atau kategori yang dipilih oleh peneliti dari situasi sosial tertentu yang selanjutnya akan ditetapkan sebagai fokus penelitian. Dalam analisis taksonomi dilakukan pengamatan terfokus. Terdapat tujuh langkah dalam analisis taksonomi diantaranya: memilih satu domain untuk dianalisis, mencari kesamaan atas dasar hubungan semantik yang sama digunakan untuk domain itu, mencari tambahan istilah bagian, mencari domain yang lebih besar dan lebih inklusif yang dapat dimasukkan sebagai sub bagian dari domain yang sedang dianalisis, membentuk taksonomi sementara, mengadakan wawancara terfokus untuk mencek analisis yang telah dilakukan, dan membangun taksonomi secara lengkap[12]. (3) Analisis komponensial, yaitu yang dilakukan untuk mencari ciri spesifik pada setiap struktur internal dengan cara memperlihatkan perbedaan antar bagian[9]. Dalam analisis komponensial ini dilakukan melalui pengamatan, wawancara terseleksi dengan sejumlah pertanyaan kontras dan dokumentasi terseleksi. Terdapat delapan langkah dalam analisis komponensial diantaranya: memilih domain yang dianalisis, mengidentifikasi seluruh kontras yang ditemukan, menyiapkan lembar kerangka berpikir, mengidentifikasikan dimensi kontras yang berkaitan erat menjadi satu, menyiapkan pertanyaan kontras untuk ciri yang tidak ada, mengadakan pengamatan terpilih untuk melengkapi data, dan menyiapkan kerangka berpikir lengkap[12]. (4) Analisis tema, yaitu digunakan untuk menemukan tema-tema yang muncul selama proses penelitian berlangsung, baik tema-tema yang dinyatakan dnegan jelas maupun tema yang tidak dinyatakan dengan jelas atau tersirat[11]. Terdapat tujuh cara untuk menemukan tema diantaranya: melebur diri, melakukan analisis komponen terhadap istilah acuan, sudut pandang yang lebih luas melalui pencarian domain dalam pandangan budaya, menguji dimensi kontras seluruh domain yang dianalisis, mengidentifikasi domain terorganisir, membuat gambar untuk memvisualisasikan hubungan antar domain, mencari tema yang umum, dipilih satu dari enam topik (konflik sosial, kontradiksi budaya, teknik kontrol sosial, hubungan sosial pribadi, memperoleh dan menjaga status dan memecahkan masalah[12].

Teknik keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan uji kredibilitas menggunakan triangulasi jenis triangulasi teknik. riangulasi teknik. Triangulasi teknik merupakan pengecekan derajat kepercayaan data dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda[9]. Sumber yang peneliti gunakan dalam penelitian ini yaitu siswa dengan menggunakan teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi. Begitupula pada sumber wali/guru kelas peneliti menggunakan teknik pengamatan, wawancara, dan dokumentasi.

Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan data hasil penelitian yang telah disajikan pada sub bab sebelumnya maka untuk mendeskripsikan apa saja indikator-indikator yang mendukung tentang analisis partisipasi siswa perempuan kelas IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan berikut ini:

Faktor Psikologis

Faktor Internal Yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Siswa Perempuan Kelas IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong Dalam Pembelajaran

1) Minat Belajar Siswa Berdasarkan Sikap Mata Pelajaran

Minat memiliki pengaruh besar terhadap belajar siswa, bila suatu bahan pelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minatnya, maka tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak memperoleh daya tarik baginya. Tanpa adanya minat maka ia akan segan untuk belajar, tidak memperoleh kepuasan dan akan mengalami kesulitan dalam mengingat atau menyimpan suatu pelajaran tersebut[5].

Hal ini terbukti dari hasil pengamatan yang peneliti dapatkan bahwa, pada salah satu kegiatan belajar mata pelajaran TIK didapatkan 3 (tiga) siswa yang berada dikanan meja guru terlihat sedang berbincang-bincang dengan temannya. 2 (dua) siswa yang berada di tengah juga demikian berbincang-bincang dengan teman sebangkunya. Salah satu siswa bermain sendiri dengan benda-benda yang dimilikinya seperti mengoyang-goyangkan tempat minum, pensil atau alat-alat tulis yang ada didepannya. Dan 2 (dua) diantaranya tetap memperhatikan. Hal serupa juga terlihat pada saat pelajaran Bahasa Indonesia. Sebaliknya saat pelajaran Matematika, sebagian besar siswa yang biasanya berbincang-bincang terlihat memperhatikan, begitu juga pada siswa yang biasanya sibuk bermain dengan alat-alat tulisnya. Siswa terlihat tertarik mengikuti pelajaran.

Berdasarkan hasil pengamatan yang peneliti lakukan pada jenis mata pelajaran yang berbeda yaitu pelajaran Matematika, IPS, Bahasa Indonesia, dan TIK menunjukkan adanya reaksi atau sikap yang berbeda yang ditunjukkan siswa dalam kegiatan belajar, sikap itu ditunjukkan berbeda dari masing-masing jenis mata pelajaran yang saat itu dipelajari.

Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa perempuan didapatkan bahwa beberapa siswa menyukai pelajaran Matematika, IPA dan IPS sehingga siswa memperhatikannya, dan hal ini dibenarkan oleh siswa perempuan lain. Beberapa siswa merasa segan mempelajari mata pelajaran tertentu ketika siswa tidak menyukainya contohnya Bahasa Jawa, Bahasa Indonesia dan TIK, hal ini juga dibenarkan siswa perempuan yang lain dan salah satu siswa tidak sependapat. Disamping itu siswa merasa kesulitan memahami penjelasan guru, atau bahkan kurang menyukai gurunya sehingga terkadang merasa segan untuk memperhatikannya. Dan terdapat pula salah satu siswa yang mengatakan bahwa siswa bosan jika selalu disuruh untuk menulis saat pelajaran terutama saat pelajaran TIK.

Faktor Sekolah

Faktor Eksternal Yang Mempengaruhi Rendahnya Partisipasi Siswa Perempuan Kelas IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong Dalam Pembelajaran

1) Kekerasan Simbolik Dalam Relasi Guru dan Peserta Di dik

Dalam memerankan fungsi seorang guru selaku pendidik seharusnya mengayomi, melindungi, memberikan rasa aman terhadap peserta didiknya, tidak seharusnya ada sikap kasar, hardikan, ancaman, paksaan, intimidasi, atau hanya sekedar membungkam atau membatasi mereka untuk tidak berpendapat. Tetapi pada kenyataan ditemukan bahwa guru yang menjalankan profesinya sebagai pendidik dalam proses pembelajaran di sekolah sering sekali dirinya sebagai yang kuasa atas segala sesuatu dan terkadang menunjukan superior di hadapan peserta didiknya[15].

Guru yang menjalankan profesinya sebagai pendidik dalam proses pembelajaran di sekolah sering sekali dirinya sebagai yang kuasa atas segala sesuatu dan terkadang menunjukan superior di hadapan peserta didiknya Keadaan superior tersebut memosisikan diri seorang guru sebagai pihak yang paling dominan dan menempatkan diri sebagai penentu kebenaran atas sikap dan perilaku peserta didiknya. Sehingga kekerasan dalam hubungan guru dan peserta didik terbuka lebar[15]. Keadaan seperti inilah memosisikan dirinya sebagai pihak yang paling dominan dan menempatkan diri sebagai penentu kebenaran atas sikap dan perilaku peserta didiknya. Di sinilah menjadi terbuka lebar terjadinya kekerasan dalam hubungan guru dan peserta didik.

Menurut Pierre Boerdue kekerasan simbolik beroperasi di bawah ketidaksadaran pelaku maupun korbannya sehingga bersifat nirsadar dan laten[15]. Kekerasan simbolik merupakan praktek dominasi (praktek menguasai pihak lain) melalui komunikasi (terutama komunikasi bahasa). Kekerasan simbolik dilakukan dalam bentuk mendominankan makna, logika dan nilai yang semula dianggap lemah, tidak penting, tidak baik, dan tidak bisa dipercaya (wacana yang didominasi) kemudian dipandang sebagai makna, logika, dan nilai yang baik, benar, kuat dan bisa dipercaya[15].

Kekerasan simbolik merupakan sebuah model dominasi kultural dan sosial yang berlangsung secara tidak sadar dalam kehidupan masyarakat yang meliputi tindakan diskriminasi terhadap kelompok/ras/gender tertentu[14]. Sehingga dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kekerasan simbolik merupakan suatu bentuk kekerasan yang tidak tampak dan bekerja secara halus, berlangsung secara tidak sadar sehingga baik pelaku maupun korban kekerasan tersebut cenderung membenarkan, menerima sebagai suatu hal yang wajar.

Bentuk kekerasan simbolik menurut Bourdieu berupa eufemisasi dan sensorisasi[14]. Bentuk eufemisasi yang ditemukan Ulfa dalam penelitiannya terdiri atas 15 bentuk yaitu perintah, keharusan, efisiensi, pemberian bonus, kepercayaan, pencitraan, harapan, belas kasihan, kegunaan, sopan santun, perjanjian, keselarasan, kemurahatian/kebaik-an, penegasan, dan larangan. Sedangkan bentuk sensorisasi yang ditemukan terdiri atas 4 bentuk yaitu pemarjinalan, ancaman, paksaan, dan kekecewaan[14]. Bentuk kekerasan simbolik yang terjadi dalam interaksi dan relasi guru dan peserta didik seperti ketika guru menegur peserta didik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan kata-kata seperti nakal, bodoh, susah diatur dan lain sebagainya[15].

Sejalan dengan diatas hasil penelitian menemukan dikelas IV A terdapat salah satu guru yang melakukan praktek kekerasan simbolik pada siswa terutama pada siswa yang memiliki tingkat prestasi yang rendah, yaitu lebih banyak didominasi siswa perempuan. berdasarkan hasil pengamatan peneliti menemukan adanya kecenderungan guru memanggil siswa laki-laki daripada siswa perempuan contohnya dalam hal membacakan suatu teks didepan kelas, guru berkata “Yang suaranya keras saja yang membacakanDalam kegiatan pemberian tugas menyelesaikan soaldipapan tulis guru berkata “Ayo yang sudah selesai dulu maju kedepan dibacakan hasilnya,“Nah.. yang juara satu RAP maju kedepan untuk menjawab,“Ayo kamu (SQT) maju, kamu tidak pernah maju begitu,“Kamu (AK) itu yang jelas kalau bertanya,“Nah iya kamu (HAP) saja, apa pertanyaanmu.

Dari hasil pengamatan tersebut mengindikasikan guru melakukan kekerasan simbolik dalam bentuk verbal. Kekerasan verbal merupakan perlakuan yang salah secara emosi yaitu ketika anak secara tertaur diancam, diteriaki, dipermalukan, diabaikan, disalahkan, atau salah penanganan secara emosional lainnya seperti: membuat anak menjadi lucu, memanggil namanya dan selalu dicari-cari kesalahannya, atau terjadi bila orang dewasa mengacuhkan, meneror, menyalahkan, mengecilkan dan sebagainya yang membuat anak merasa inkonsisten dan tidak berharga[16].

Dari hasil pengamatan peneliti melakukan wawancara dengan siswa perempuan dan didapatkan bahwa, siswa merasa tidak ada keharusan untuk menjawab, bertanya, berpendapat, maju kedepan kelas ataupun melakukan aktivitas lain jika siswa tidak ditunjuk, dipanggil atau disuruh. Sedangkan yang terjadi dalam pembelajaran saat itu guru lebih sering menunjuk siswa laki-laki untuk melakukan sesuatu sehingga siswa perempuan memilih diam.

Stereotipe Siswa Laki-Laki Terhadap Kecerdasan Intelektual Siswa Perempuan.

Stereotipe merupakan hasil dari proses adanya prasangka. Hal ini sesuai dengan pendapat Ktaz dan Barly yang menyatakan bahwa prasangka (prejudice) dan pelabelan (stereotype) tidak dapat dipisahkan keterkaitannya[34]. David menyatakan bahwa prasangka merupakan persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain. Prasangka (prejudice) merupakan persepsi (dalam tataran kognitif), sedang stereotip lebih kepada arti pelabelan kepada seseorang atau kelompok lain tersebut, termasuk sikap dan perilakunya terhadap mereka (sudah dalam tataran afektif, dan psikomotorik)[16]

Ashmore dan Del Boca menyatakan stereotipe dapat diartikan sebuah rangkaian kepercayaan yang terstruktur mengenai berbagai macam ciri atau sifat-sifat personal dari sekelompok orang[16]. Dari penjelasan para ahli diatas disimpulkan bahwa stereotipe merupakan pelabelan yang diawali dengan adanya proses persepsi terhadap suatu objek mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat personal yang melekat dan seakan permanen pada sekelompok orang. Dari penjelasan para ahli diatas disimpulkan bahwa stereotipe merupakan pelabelan yang diawali dengan adanya proses persepsi terhadap suatu objek mengenai berbagai macam ciri dan sifat-sifat personal yang melekat dan seakan permanen pada sekelompok orang.

Dalam hal ini yang menjadi pembahasan adalah prasangka dari siswa laki-laki terhadap siswa perempuan yang mengawali adanya stereotipe terhadap mereka (siswa perempuan). Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa laki-laki kelas IV A, didapatkan semua siswa laki-laki mengatakan bahwa siswa perempuan dikelasnya kurang pintar sebab itulah siswa perempuan selalu diam saat pembelajaran, salah satu. siswa membenarkan bahwa siswa perempuan dikelas IV A kurang pintar daripada siswa laki-laki dilihat dari peringkat kelas yang didapatkan siswa laki-laki yang selalu berada diurutan sepuluh besar sedang siswa perempuan diurutan setelah mereka, pendapat ini kemudian dibenarkan oleh siswa laki-laki yang lain. Disamping itu beberapa siswa laki-laki berpendapat bahwa siswa perempuan banyak bicara ketika dikelas, dan selalu ragu-ragu ketika menjawab atau melakukan sesuatu.

Hasil wawancara dengan siswa laki-laki tersebut membuktikan adanya prasangka pada siswa perempuan. Prasangka tersebut berupa siswa perempuan dikelasnya selalu diam, kurang bertanya, tidak mengajukan pendapat, tidak bisa atau ragu-ragu ketika menjawab pertanyaan saat guru bertanya, suka mencotek saat mengerjakan tes, maupun siswa perempuan tidak mendapat peringkat kelas dengan kata lain nilai raport siswa laki-laki yang selalu menggungguli siswa perempuan. Dari beberapa kejadian tersebut akhirnya siswa laki-laki memberikan kesimpulan berupa pelabelan kepada siswa perempuan bahwa siswa perempuan dikelasnya kurang pintar daripada mereka (siswa laki).

Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukan Syamsu Yusuf, tentang sifat khas siswa kelas tinggi sekolah dasar bahwa pada masa ini, anak memandang nilai (angka rapor) sebagai ukuran yang tepat (sebaik-baiknya) mengenai prestasi sekola[17]. Dan memang benar bahwa siswa laki-laki dikelas IV-A memandang bahwa nilai raport sebagai ukuran pembanding prestasi yang dimiliki siswa laki-laki dan perempuan yang memperkuat pandangan mereka tentang kecerdasan siswa perempuan.

Dari hasil wawancara dengan siswa laki-laki peneliti melakukan wawancara terbuka dengan siswa perempuan mengenai tanggapan mereka tentang siswa laki-laki, dan didapatkan hasil bahwa siswa perempuan merasa terganggu atau tidak suka dengan sikap siswa laki-laki yang sering mengatakan bahwa siswa perempuan tidak pintar dan pendapat ini disepakati oleh semua siswa perempuan. Dari hasil wawancara siswa perempuan membuktikan siswa perempuan dikelas IV A menjadi korban dari pelabelan siswa laki-laki terhadap tingkat intelektual mereka (siswa perempuan). Dimana hasil dari pelabelan dari siswa laki-laki kepada siswa perempuan diwujudkan dengan adanya perlakuan kurang menyenangkan dari kelompok siswa laki-laki kepada siswa perempuan dengan sikap menghina bahwa siswa perempuan kurang pintar atau cerdas.

Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Esti Zaduqisti dalam penelitiannya bahwa diawali dengan stereotipe (pelabelan) negatif dari kelompok yang mayoritas terhadap kelompok yang minoritas, selanjutnya berpengaruh pada sikap mereka, dan akhirnya diimplementasikan secara nyata dalam perilaku agresif, dan menyerang terhadap kelompok lawannya tersebut[16]. Hal ini membuktikan bahwa hasil wawancara dengan siswa laki-laki yang mendapatkan kesimpulan bahwa siswa laki-laki melabeli siswa perempuan dengan sebutan tidak pintar ditunjukkanya dengan perilaku menghina atau mengejek siswa perempuan.

Dari pandangan siswa laki-laki terhadap siswa perempuan tentang kecerdasannya mengakibatkan siswa perempuan mendapatkan tekanan dan timbul rasa minder, rendah diri maupun kurangnya kepercayaan diri untuk bertindak atau bersaing dengan siswa laki-laki ketika belajar dikelas karena anggapan bahwa mereka pasti akan kalah dari siswa laki-laki. Dan dari sikap rendah diri dan kurangnya kepercayaan diri perempuan hasil pelabelan siswa laki-laki kepadanya, akibatnya siswa perempuan terganggu belajarnya dan akan berpengaruh pada partisipasi secara aktif dalam belajar. Hal ini sesuai dengan yang dikemukan Dimyati bahwa jika seorang siswa terterima, maka dengan mudah menyesuaikan diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika tertolak, maka ia akan merasa tertekan dan dapat berpengaruh pada semangat belajar dikelas[17]. Sejalan dengan Dimyati, Slameto mengemukakan bahwa siswa yang mendapat sifat-sifat atau tingkah laku yang kurang menyenangkan dari teman lain akan mempunyai rasa rendah diri atau mengalami tekanan-tekanan batin, akan diasingkan dari kelompok. Akibanya yang makin parah masalahnya dan akan mengganggu belajarnya[5].

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan wali kelas bahwa dikelas IV A siswa laki-laki cenderung aktif daripada siswa perempuan dengan dibuktikkannya bahwa siswa laki-laki sering bertanya, mengajukan pendapat, selalu menjawab pertanyaan guru, dan selalu mengajukan diri untuk maju kedepan menyelesaikan tes dipapan tulis atau membacakan sebuah teks dari bagian materi pelajaran. Sedang siswa peremuan cenderung ragu dan kurang percaya diri ketika belajar dikelas. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa laki-laki menstereotipkan siswa perempuan dikelas IV A sebagai siswa yang kurang cerdas, dengan kata lain siswa laki-laki merasa lebih unggul dari siswa perempuan dalam hal intelektual. Dengan adanya stereotip atau pelabelan kurang pintar dari siswa laki-laki dikelasnya membuat beberapa dari siswa perempuan menjadi rendah diri dan kurang percaya diri dengan kemampuannya yang berakibat terganggunya belajar siswa perempuan dikelas. Namun tidak semua siswa perempuan mengalami hal demikian, masih terdapat siswa perempuan yang tetap percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan selama penelitian dapat disimpulkan bahwa partisipasi siswa perempuan kelas IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong rendah. Faktor rendahnya partisipasi siswa perempuan kelas IV A SD Kemala Bhayangkari 10 Porong disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal siswa. Faktor internal yang mempengaruhi rendahnya partisipasi siswa perempuan kelas IV A adalah faktor psikologis yaitu minat siswa perempuan berdasarkan sikap mata pelajaran. Faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya partisipasi siswa perempuan kelas IV A adalah faktor sekolah yaitu stereotip siswa laki-laki terhadap intelektual siswa perempuan dan kekerasan simbolik dalam relasi guru dan peserta didik.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada sekolah dan wali kelas di SD Kemala Bhayangkari 10 Porong yang mengijinkan dan membantu dalam pelaksanaan penelitian yang penulis lakukan. Selain itu, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam kelancaran penelitian dan penulisan artikel ilmiah ini.

References

  1. Sudjana, Nana. CBSA Dalam Proses Pembelajaran. (Bandung: Sinar Baru. 1998).
  2. Amelia, Riski. Analisis Partisipasi Kelas Siswa Laki-Laki Dan Perempuan. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender. Vol. 16, No. 1, 2017.
  3. Amelia, Riski. Analisis Partisipasi Kelas Siswa Laki-Laki Dan Perempuan. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender. Vol. 16, No. 1, 2017.
  4. Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
  5. Sardiman, A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  6. Sardiman, A.M. 2007. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  7. Slameto. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
  8. Maradona. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keaktifan Belajar Siswa Kelas IV B SD Negeri Tegalpanggung Yogyakarta Tahun Ajaran 2015/2016”. (Skripsi S-1, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta, 2016).
  9. Suharsimi, Arikunto. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek: Edisi Revisi V. Jakarta: Rineka Cipta, 2013.
  10. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  11. Donald E. Comstock, A Method For Critical Research, ter. Ahmad Mahmudi.
  12. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  13. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  14. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  15. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
  16. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  17. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  18. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
  19. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
  20. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  21. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
  22. Suwandi, Basrowi. Memahami Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2008.
  23. Moleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 2007.
  24. Sugiyono. Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. 2017.
  25. Slameto. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. 2010.
  26. Putri, Rina Oktafia. “Praktek Kekerasan Simbolik (Relasi Guru dan Peserta didik dalam Pendidikan Islam)”. Millah. Vol. 17, no. 2, 2018.