Elementary Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v15i.562

Religious Education in the Family Environment According to Nurcholish Madjid


Pendidikan Agama di Lingkungan Keluarga Menurut Nurcholish Madjid

Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

Nurcholish Madjid Family Environment Religious Education

Abstract

Nurcholish Madjid is a Muslim scholar who has contributed thoughts about religious education in the family environment. This study aims to describe Nurcholish Madjid's thoughts about religious education in the family environment. This research uses library research method. The primary data sources in this study were books by Nurcholish Madjid, while the secondary data sources were taken from various books, journals, articles that still have relevance to the research topic. To describe Nurcholis Madjid's views on religious education in the family environment, this study uses an interpretation approach. In this study, Nurcholish Madjid's interpretation of religious education is found, which is defined as a series of educational processes to develop children into human beings who are close (taqarrub) to Allah Subhanahu Wa Ta'ala and have al-karimah morality. In its implementation, this achievement is carried out by exemplary methods from parents which are manifested through inculcating Islamic values ​​in all interactions with the child

Pendahuluan

Pendidikan sesungguhnya merupakan salah satu dari beberapa jenis kebutuhan manusia, bahkan bisa dikatakan memiliki urgensi yang cukup penting dalam menunjang kelangsungan hidup manusia. Dengan adanya proses pendidikan yang berkualitas, besar kemungkinan perjalanan kehidupan seseorang akan mengalami kecenderungan untuk dapat tertuju pada arah yang positif. Hal tersebut merupakan sesuatau yang sangat logis, mengingat peranan dari aktifitas pendidikan yang secara umum merupakan sarana untuk merubah seseorang dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa atau dari tidak terampil menjadi terampil. Ringkasnya, pendidikan sejatinya merupakan sarana yang dapat digunakan seseorang untuk move on (beralih) dari suatu keadaan kehidupan menuju keadaan kehidupan lain yang cenderung memiliki value lebih baik dari sebelumnya. Oleh karena itu, sangatlah beralasan jika keberadaan dari aktifitas mendidik merupakan sebuah perkara yang agaknya cukup mustahil untuk ditiadakan dalam kehidupan manusia, khususnya pendidikan yang ditujukan pada periode usia anak. [1]

Pendidikan dipahami oleh kebanyakan orang hanya terbatas pada proses pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan formal, misalnya sekolahan. Padahal fakta yang sesungguhnya tidaklah demikian, justru lebih dari itu, proses pendidikan sejatinya sudah terjadi sejak masa-masa awal dari kehidupan manusia. Inilah yang menjadi landasan dasar bagi para ahli pendidikan Islam dalam melahirkan rumusan tentang tiga jalur pendidikan, yakni pendidikan formal, informal dan non-formal. [2] Keberadaan sekolah jelas merupakan representasi dari jalur pendidikan formal, sedangkan pendidikan informal pada umumnya merupakan sarana pendidikan tambahan di luar sekolah, seperti misalnya berbagai tempat kursus/pelatihan, majelis taklim, seminar, dll. Adapun yang terakhir, yakni jalur pendidikan non-formal, sesungguhnya tidak lain merupakan segala proses pembelajaran yang diterima anak di lingkungan keluarganya. Sederhananya, lingkungan keluarga sesungguhnya merupakan bagian dari jalur pendidikan yang pasti akan dilalui oleh setiap manusia (anak).

Dari ketiga jalur pendidikan yang ada, lingkungan keluarga yang nota bene merupakan jalur pendidikan non-formal justru dipandang sebagai wadah pendidikan yang memiliki pengaruh signifikan dalam perkembangan setiap manusia. Bahkan dikalangan para intelektual, khususnya dalam lingkup dunia pendidikan Islam ada ungkapan yang cukup terkenal, yakni “al-Bait al-Madrasah al-Uu la” sebagai sebuah ungkapan simbolis yang dapat dijadikan sebagai visualisasi akan pentingnya posisi keluarga sebagai lembaga pendidikan yang pertama dan utama bagi setiap anak. [3] Hal tersebut sejalan dengan bagaimana cara pandang Islam terhadap pola interaksi dalam sebuah keluarga. Dalam tinjauan Islam, proses pendidikan yang dilakukan oleh para orang tua kepada anak-anaknya merupakan bagian dari salah satu dari sekian banyak perkara yang telah ditetapkan di dalam Isalam. Bahkan lebih dari itu, Islam menetapkan bahwasanya pemegang tanggung jawab terbesar atas pendidikan setiap anak adalah orang tua, khususnya dalam domain pendidikan Agama. [4]

Pendidikan agama di lingkungan keluarga merupakan perkara yang sangat vital. Hal ini dikarenakan agama merupakan fodasi dalam menentukan arah pembentukan sang anak dalam periode perkembangan selanjutnya. Pendidikan agama bukan saja hanya sekedar formalitas belaka, namun justru sebaliknya, pendidikan agama harus diupayakan dengan sungguh-sungguh oleh setiap orang tua agar dapat diterima sang anak dengan optimal. Namun di sisi lain, masalah kontemporer seputar kualitas output dari pendidikan agama, dewasa ini justru marak menjadi bahan perbincangan hangat di berbagai media massa. Cukup seringnya dijumpai kasus remaja “nakal” yang justru berasal dari lingkungan keluarga “religius”, merupakan saah satu indikator yang dapat dijadikan parameter dalam mengukur kualitas dari output tersebut. Apa yang sesungguhnya menjadi “miss” dari proses pendidikan agama tersebut, bukankah para remaja “nakal” tersebut juga berasal dari keluarga “baik-baik”. [5] Untuk mengungkap fenomena itulah penelitian mengenai pendidikan agama di lingkungan keluarga sesungguhnya merupakan topik yang sangat menarik untuk dikaji secara mendalam.

Nurcholish Madjid merupakan salah satu tokoh cendikiawan muslim Indonesia yang diketahui turut andil dalam memberikan sumbangsih pemikiran tentang pendidikan agama di lingkungan keluarga. Melalui berbagai karyanya, Madjid mencoba memberikan warna pada corak pemikiran pendidikan agama “konvesional” yang menurutnya teramat penting untuk disempurnakan. Esensi dari pendidikan agama, apa saja nilai-nilai keagamaan yang seharusnya ditanamkan pada anak dan bagaimana implementasinya dalam lingkungan keluarga, keseluruhan hal tersebut merupakan ulasan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Guna mengungkap pemikiran Madjid tersebut, maka peneliti mengangkat sebuah tema penelitian yang berjudul “Pendidikan Agama Di Lingkungan Keluarga Menurut Nurcholish Madjid”.

Metode Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini yang berjudul “Pendidikan Agama Di Lingkungan Keluarga Menurut Nurcholish Madjid” adalah penelitian kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif deskriptif merupakan suatu penelitian yang memfokuskan upayanya pada analisis terhadap informasi yang dinilai valid mengenai fenomena maupun topik tertentu, pada waktu tertentu guna menghasilkan produk dari sebuah proses, yang mana kemudian dilakukan penafsiran secara obyektif berdasarkan data empiris mengenai fenomena tersebut. Yang sumber datanya berupa buku, jurnal, artikel serta beberapa referensi digital yang memungkinkan untuk diperoleh. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknis Analysis Historis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi kepustakaan (library research) yang menitik beratkan pada teknik dokumentasi. Teknik dokumentasi adalah proses pengumpulan data yang berbentuk dokumen, baik yang berbentuk dokumen cetak maupun dokumen digital. [6]

Hasil dan Pembahasan

A. Pendidikan Agama Menurut Nurcholish Madjid

Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam ternyata pada beberapa bagiannya juga turut berbicara mengenai pendidikan. Di dalam al-Qur’an kata pendidikan lebih sering dimunculkan dengan redaksi atau istilah tarbiyah. Secara umum kata tarbiyah dapat diartikan sebagai “peningkatan” atau “penumbuhan”. Namun ketika istilah tarbiyah ditarik pada ranah pertumbuhan anak, maka istilah tersebut harus diartikan sebagai proses penumbuhan atau peningkatan anak secara keseluruhan. Yang mana dalam implementasinya meliputi aktivitas penumbuhan anak secara fisik dan non fisik. [7]

Dalam proses penumbuhan fisik anak, peran serta orang tua agaknya terkesan terlihat minim. Namun pada proses penumbuhan yang kedua, yakni penumbuhan secara non fisik, fungsi dan keberadaan orang tua di sisi anak justru memiliki urgensi yang tinggi. Dalam proses inilah orang tua merupakan sosok pembimbing sekaligus pendidik bagi anak yang memiliki tanggung jawab paling besar dalam mengupayakan eksplorasi terhadap segala potensi positif yang terdapat dalam diri setiap anak melalui pendidikan.

Menurut Madjid, setiap orang tua idealnya berusaha untuk selalu mengoptimalkan pendidikan bagi anak-anak mereka. Upaya tersebut bertujuan tidak lain untuk bisa mengembangkan potensi yang secara primordial sudah melekat dalam diri setiap anak sebagai fitrah yang secara nature memiliki konotasi positif (kebaikan). Akan tetapi terjadinya miss procedure dalam upaya tersebut, justru akan dapat menjadikan peranan orang tua menjadi rentan, artinya setiap orang tua memiliki potensi untuk menjadi penyebab penyimpangan atas fitrah positif tersebut. Dalam sebuah hadith yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda:

ما من مولود الا يولد على الفطرة فابواه يهودانه وينصرانه

Artinya: Setiap anak yang lahir, dilahirkan diatas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi atau Nasrani. [8]

Berdasarkan informasi dari hadith tersebut, maka dapat difahami bahwasanya baik atau buruknya kualitas pertumbuhan non fisik seorang anak sangat dipengaruhi oleh bagaimana arah dari pengaruh yang diberikan oleh kedua orang tua mereka. Ringkasnya, keberhasilan sekaligus kegagalan bagi setiap anak untuk bisa tumbuh menjadi sosok manusia yang berkualitas memiliki keterkaitan yang amat erat dengan pengarahan yang dilakukan oleh sang orang tua. Menurut Madjid, pendidikan merupakan parameter yang dapat dijadikan sebagai acuan penentu keberhasilan orang tua dalam merespon kehadiran sang anak ditengah – tengah mereka. Dengan pendidikan yang diupayakan secara maksimal namun tetap disesuaikan dengan pesan dan amanat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, maka setiap anak memungkinkan untuk bisa tumbuh dewasa sebagai pribadi yang memiliki kualitas tinggi.

Tidak sedikit atau bahkan relatif banyak dari masyarakat muslim yang mengartikan agama sebatas merupakan pengamalan dari berbagai aktifitas yang bersifat ritual semata. Mainstream semacam ini tentu sedikit banyak akan menimbulkan konsekuensi terhadap adanya penurunan segi kualitas dalam pendidikan agama. Salah satu dampak negatif dari keadaan yang demikian ialah adanya fokus yang berlebihan dari para orang tua dalam mengajarkan kaidah – kaidah ritual keagamaan. Namun di sisi lain, para orang tua justru lengah terhadap apa yang menjadi tujuan akhir dari pendidikan agama itu sendiri. Menurut Nurcholish Madjid, apa yang menjadi tujuan hakiki dari agama ialah ketika seseorang mampu memiliki rasa taqarrub (kedekatan) kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan lahir pula dalam kepribadian orang tersebut apa yang dinamakan sebagai akhlaq al-karimah sebagai bentuk kebaikan bagi sesama manusia. Dalam pandangan Cak Nur, berbagai ritual maupun formalitas keagamaan hanya akan menjadi penting tatkala mampu mengarahkan seseorang sukses mencapai apa yang menjadi tujuan hakiki dari agama itu sendiri. Ringkasnya, Pemaknaan pendidikan agama harusnya dimaknai sebagai sebuah kegiatan untuk mengupayakan tercapainya pertumbuhan total dari seorang anak didik.

Menjadi suatu hal yang memprihatinkan, tatkala sering dijumpai adanya keluarga yang secara lahiriyah dipandang sebagai keluarga yang religius namun ternyata secara faktual justru menghasilkan “output” yang kontraproduktif dengan kondisi keluarga itu sendiri. Sosok figur ulama, kiyai, ustadz / ustadzah yang sesungguhnya merupakan komponen penting di dalam keluarga, ternyata secara umum tidak bisa dijadikan jaminanakan adanya garansi kesuksesan dalam kaitannya dengan pendidikan keagamaan anak-anak mereka. Denga kata lain, banyak anak-anak yang merupakan output dari keluarga yang memiliki kualitas secara religius justru pada akhirnya tumbuh berkembang menjadi remaja yang nakal atau memiliki kualitas yang rendah. Menurut Cak Nur, berbagai fenomena janggal tersebut sering kali disebabkan oleh adanya miss interpretasi terhadap pemaknaan (penghayatan) mengenai hakikat dari kosep pendidikan agama dalam sebuah keluarga.

Menurut Cak Nur, pendidikan agama sangat tidak tepat jika hanya diartikan sebagai suatu proses pengajaran oleh orang tua kepada anak mengenai berbagai ritual maupun berbagai segi formalistik dalam agama. Namun perspektif tersebut bukan dimaksudkan untuk menafikan tentang pentingnya peranan pengajaran berbagai pengajaran ritual tersebut kepada sang anak. Justru sebaliknya, Cak Nur mencoba untuk memotivasi agar diupayakan adanya sebuah penyempurnaan terkait pemaknaan dari pendidikan agama itu sendiri. Karena menurut Madjid, agama pada hakikatnya bukanlah sekedar aktifitas ritual semata, justru lebih dari itu, agama harus diartikan sebagai keseluruhan upaya kebaikan yang dilakukan manusia yang dilandasi niat semata-mata hanya untuk meraih ridha dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Menurut Cak Nur, pengajaran berbagi ritus-ritus dan segi-segi formalistik dalam agama adalah merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dilakukan. Mengingat hal tersebut sesungguhnya merupakan bingkai dari agama itu sendiri. Namun yang menjadi titik tekan adalah bagaimana mengupayakan terwujudnya esensi dari berbagai ritual keagaman tersebut, yakni tercapainya apa yang menjadi tujuan hakiki dari agama. Pandangan Cak Nur mengenai tujuan hakiki dari agama pada dasarnya berangkat dari suatu argumentasi logis, yaitu mengenai sia – sianya amalan manusia jika tidak disertai dengan perwujudan dari tujuan hakiki tersebut. Adapun landasan yang digunakan adalah interpretasi dari al-Qur’an surat al-Ma’un, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣﴾فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ ﴿ ٤﴾الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿ ٥﴾الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿ ٦﴾وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿ ٧﴾

Artinya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang – orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang – orang yang salat, yaitu orang – orang yang lalai dari salatnya, orang – orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna. [9]

Cara pandang inilah yang setidaknya menjadi sisi koreksi terhadap kecenderungan masyarakat yang menurutnya kurang tepat dalam memberikan makna konvensional tentang pendidikan agama. Pengertian pendidikan agama dalam makna konvensional hanya terbatas pada upaya pengajaran segi ritus – ritus dan formalistik bukanlah sesuatu yang sepenuhnya salah, sehingga sudah selayaknya untuk tetap bisa dipertahankan. Namun sesungguhnya bukanlah menjadi sebuah penyimpangan, tatkala muncul sebuah pemikiran agar dilakukan penyempurnaan terhadap makna dari pendidikan agama dalam pengertiannya yang konvensional tersebut. Menurut Nurcholish Madjid, kondisi inilah yang menjadi jawaban praktis terkait berbagai gelaja abnormal berkenaan dengan masalah pendidikan agama, yaitu tentang fenomena lahirnya anak (remaja) nakal dari lingkungan keluarga “religius” yang secara umum dianggap memiliki value lebih secara kualitas.

B. Nilai-nilai Yang Ditanamkan Dalam Pendidikan Agama Dalam Keluarga

Menurut Nurcholish Madjid, pendidikan agama di lingkungan keluarga secara urgensi memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari hanya sekedar kegiatan pengajaran agama bagi anak. Pendidikan agama di lingkungan keluarga akan megalami gradasi dari sisi kualitas, jika kegiatan tersebut sampai kehilangan ruh dalam proses pelaksanaannya. Penekanan pendidikan agama dalam keluarga sesungguhnya lebih mengarah pada aspek afektif sebagai ruh dalam keseluruhan prosesnya. Dengan demikian peranan orang tua dalam pendidikan agama di lingkungan keluaraga memiliki sesungguhnya cukup besar. Dalam konteksi ini, peranan orang tua selayaknya tidak hanya terbatas pada pengajaran segi – segi kognitif agama, akan tetapi orang tua harus benar – benar bisa menjadi pendidik agama bagi sang anak. Aktualisasi dari peranan orang tua sebagai pendidik agama bagi sang anak dapat diupayakan melalui tingkah laku mereka sehari – hari, sikap tulada (keteladanan) serta keseluruhan interkasi lainnya dengan sang anak yang selalu dijiwai oleh berbagai nilai keagamaan.

Pendidikan agama di lingkungan keluarga harus lebih mengarah pada tataran praktis, yaitu diarahkan pada sisi aplikatif dalam bentuk contoh – contoh perbuatan yang bersifat lahiriyah. Dalam pandangan Madjid model pendidikan seperti ini dirasa cukup memiliki efektifitas yang tebih tinggi dari pada pendidikan dengan bahasa ucapan. Bahkan praktek pendidikan semacam ini merupakan salah satu wujud nyata sebuah jargon Arab yakni: “lisan-u ‘l-hal-i afshah-u min lisan-i ‘l-maqal” (bahasa perbuatan adalah lebih fasih daripada bahasa ucapan). Maka dari itu model pendidikan yang semacam ini harus bisa dikondisikan agar bisa diberikan intensitas yang lebih dominan dari sekedar pemberian materi - meteri yang bersifat teoritis.

Menurut Nurcholish Madjid, adanya penghayatan kehidupan keagamaan di dalam lingkungan keluarga adalah lebih penting jika dibandingkan dengan hanya sekedar pengajaran agama itu sendiri. Desain bangunan keluarga agar terkondisikan dalam nuansa yang lebih religius merupakan modal penting dalam mengupayakan lahirnya milieu pendidikan agama di lingkungan keluarga. Salah satu effort untuk mewujudkan “pengkondisian” tersebut antara lain dapat dilakukan dengan pendirian mushalla di lingkungan keluarga. Hal tersebut cukup logis, mengungat secara fisik kehadiran mushalla di lingkungan keluarga dapat memberikan penegasan akan hadirnya nuansa religius, sehingga pengkondisian semacam ini merupakan embrio yang baik guna menumbuhkan suasana keagamaan di suatu lingkungan keluarga.

Menurut Cak Nur, adanya mushalla di lingkungan keluarga merupakan prasarana pendukung dalam kaitannya dengan pendidikan di lingkungan keluarga. Bahkan keberadaannya dinilai kurang memiliki arti, jika seandainya tidak dibarengi dengan penumbuhan aktivitas keagamaan di dalamnya (mushalla). Salah satu aktifitas nyata yang dapat dilakukan untuk “menghidupkan” mushalla keluarga ialah melalui pelaksanaan shalat berjamaah di dalamnya oleh seluruh anggota keluarga. Persepsi tersebut dimunculkan Madjid bardasarkan sebuah spirit ungkapan Inggris yang menyatakan “A family prays together will never full apart” (sebuah keluarga yang selalu berdoa tidak akan berantakan). Dalam pandangan Madjid, shalat merupakan segi ritual dan formal keagamaan. Sebagai bingkai atau kerangka dari agama, maka shalat harus diupayakan agar berfungsi sebagai perantara yang dapat mengahantarkan pelakunya kepada apa yang menjadi tujuan hakiki dari agama itu sendiri. Ada dua unsur penting yang perlu untuk direnungi berkaitan dengan arti dan makna dari serangkaian pelaksanaan shalat tersebut. Pertama, makna dari takbirat-u ‘l-ihram, yang mana merupakan penguatan ketakwaan manusia kepada Allah ﷻ guna memperkokoh dimensi vertikal hidup manusia. Kedua, anjuran agar menengok ke kanan dan ke kiri dengan disertai ucapan al-salam-u ‘alaikum wa rahmatu-u ‘l-Lah-i wa barakatuh (sebagai penutup dari sebuah shalat) yang mana merupakan simbol dari adanya penguatan dimensi horizontal dalam kehidupan manusia, yakni ikatan hubungan antar sesama manusia.

Menurut Cak Nur, dimensi kehidupan ketuhanan dan dimensi kehidupan kemanusian merupakan dua hal yang memiliki keterkaitan. Pelaksanaan berbagai ritual dalam agama (sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah ﷻ) idealnya harus juga disertai dengan adanya penghayatan yang mendalam tentang hakikat dari segala aktivitas peribadatan tersebut. Hal ini dikarenakan adanya sisi edukatif di dalam berbagai ritual tersebut yang berfungsi sebagai suatu nilai keagamaan yang harusnya bisa fahami dengan baik oleh pelakunya. Bahkan lebih dari itu, upaya penghayatan nilai–nilai tersebut juga harus dibarengi dengan usaha maksimal untuk merealisasikannya dalam kehidupan nyata, sehingga mampu mengarahkan pelakunya melahirkan apa yang dikenal dengan al-akhlaq al-karimah.

Dimensi hidup ketuhanan oleh al-Qur’an dibahasakan dengan jiwa rabbaniyah atau ribbiyah, sebagaimana yang termaktub pada surat Ali-Imran ayat 79 dan ayat 146. Atas dasar inilah, maka nilai–nilai dimensi hidup ketuhanan harus diupayakan untuk bisa ditanamkan pada setiap anak sebagai inti dari pendidikan agama di lingkungan keluarga. Sebenarnya sangat banyak sekali nilai–nilai dimensi hidup ketuhanan yang harus ditanamkan berkaitan dengan upaya tersebut, namun ada beberapa nilai keagamaan yang dalam kacamata Madjid memiliki urgensi untuk bisa diberikan prioritas lebih tinggi, antara lain yaitu: takwa, iman, Islam, ikhlas, tawakal, syukur dan sabar. Sebagai wujud dari adanya penguatan dimensi horizontal dalam kehidupan manusia, maka pendidikan agama di lingkungan keluarga idealnya juga harus disertai dengan upaya nilai–nilai agama yang berhubungan dengan dimensi hidup kemanusiaan. Bahkan lebih dari itu, menurut Cak Nur, parameter yang dapat digunakan untuk mengukur keberhasilan dari pendidikan agama ialah perwujudan nyata dari nilai-nilai keagamaan tersebut dalam kehidupan nyata yang berupa sikap prilaku sehari-hari yang dikenal sebagai al-akhlaq al-karimah.

Mengingat urgensi yang begitu tinggi mengenai penanaman akhlak bagi anak, maka para ulama pernah mengingatkan bahwasanya kejayaan sebuah bangsa akan sangat dipengaruhi oleh keteguhan akhlak, budi pekerti dan moral dari bangsa itu sendiri. Dalam merefleksikan hal tersebut, Cak Nur mengutip sebuah terjemahan dari syair Arab: “Sesungguhnya bangsa-bangsa itu akan tegak selama akhlaknya tegak, dan jika akhlaknya runtuh, maka runtuh pulalah bangsa-bangsa itu”. Keberadaan anak sejatinya merupakan generasi penerus bangsa, maka dari itu setiap orang tua hedaknya agar sedini mungkin untuk mengupayakan proses penanaman akhlak bagi anak-anak mereka. Dalam pandangan Madjid, nilai-nilai akhlak dapat diidentifikasi secara rasional (common sense) berdasarkan hati nurani setiap manusia. Artinya, dengan sering bertanya pada hati nurani akan menjadikan seseorang dapat mengetahui adanya atau tidaknya akhlak dari suatu perbuatan. Madjid mengemukakan setidaknya ada beberapa nilai kegamaan yang berkaiatan dengan dimensi hidup kemanusiaan guna mengupayakan terwujudnya al-akhlaq al-karimah, antaralain yaitu: silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan dermawan. [10]

Sebetulnya masih cukup banyak nilai–nilai keagamaan yang diajarkan dalam agama Islam, akan tetapi menurut Cak Nur, beberapa nilai keagamaan di atas bisa dikatakan cukup untuk merepresentasikan keseluruhan dari nilai-nilai kegamaan yang berkaitan dengan dimensi hidup ketuhanan dan dimensi hidup kemanusiaan. Nilai-nilai keagamaan tersebut harus bisa diupayakan secara maksimal tertanam pada diri anak sebagai bagian penting dari serangkaian proses pendidikan agama di lingkungan keluarga. Seiring berjalannya waktu dan ditunjang dengan berbagai pengalaman yang ada pada diri orang tua, maka sangat diharapkan dapat terjadi berbagai improvisasi positif untuk mengembangkan beberapa nilai keagamaan tersebut, namun tentunya tetap harus disesuaikan dengan kondisi maupun kesiapan dari sang anak dalam menerimanya.

Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan penjabaran diatas, yaitu tentang esensi dari pendidikan agama, apa saja nilai-nilai keagamaan yang seharusnya ditanamkan pada anak dan bagaimana implementasinya dalam lingkungan keluarga, maka dalam tulisan ini setidaknya terdapat dua poin penting yang dapat ditarik menjadi sebuah kesimpulan.

Pertama, tentang esensi pendidikan agama di lingkungan keluarga. Dalam kacamata Cak Nur, pendidikan agama dimaknai sebagai serangkaian proses yang diupayakan secara maksimal oleh orang tua dalam rangka menumbuhkan anak mereka menjadi sosok manusia yang berkualitas tinggi. Dalam prakteknya, para orang tua harus menupayakan anak-anak mereka agar menjadi manusia yang dekat (taqarrub) dengan Allah sekaligus ber-akhlaq karimah melalui penghayatan yang mendalam terhadap berbagai nilai keislaman, sebagai buah dari keimanan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Kedua, tentang nilai-nilai apa saja yang harus ditanamkan pada anak dan bagaimana implementasinya dalam lingkungan keluarga. Menurut Cak Nur, nilai-nilai penting yang perlu untuk ditanamkan pada setiap anak antara lain yaitu: takwa, iman, islam, ikhlas, tawakal, syukur, sabar, silaturahmi, persaudaraan, persamaan, adil, baik sangka, rendah hati, tepat janji, lapang dada, dapat dipercaya, perwira, hemat dan dermawan. Keseluruhan nilai-nilai tersebut dapat diupayakan agar tertanam dalam diri anak melalui peranan aktif dari para orang tua yang nota bene merupakan pendidik utama bagi setiap anak. Hal tersebut dapat diimplementasikan melalui sikap keteladanan (tulada) yang ditampilkan oleh para orang tua dalam keseluruhan interaksinya dengan sang anak, yang mana pola interaksi tersebut senantiasa harus selalu dijiwai oleh spirit keislaman.

References

  1. Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Islam,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
  2. Hadari Nawawi, Pendidikan dalam Islam, Al-Ikhlas: Surabaya, 1993.
  3. Nurhadi, “Konsep Kurikulum Pendidikan Dalam Surah Luqman”, Al-Ishlah, Vol 10, 1 (Juni, 2018), 7.
  4. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, ter. Jamaludin, Jakarta: Pustaka Amani, 1994.
  5. Nurcholish Madjid, “Masyarakat Religius ”, dalamKarya Lengkap Nurcholish Madjid, ed. Budi Munawar-Rahman (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019).
  6. Musfiqon, Panduan LengkapMetodologiPenelitian Pendidikan,Jakarta : prestasipustaka, 2012.
  7. Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Aditya Media: Yogyakarta, 1992.
  8. Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Riyadh: Bait Al-Afkar Ad-Dauliyah, 1419.
  9. Kementrian Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, edisi tajwid alian. Solo: Tiga serangkai Pustaka Mandiri, 2016.
  10. Nurcholish Madjid, “Pintu – pintu Menuju Tuhan” , dalamKarya Lengkap Nurcholish Madjid, ed. Budi Munawar-Rahman (Jakarta: Nurcholish Madjid Society, 2019).