Elementary Education Method
DOI: 10.21070/ijemd.v5i1.41

The Importance of Cognitive Ability for Chair of Study Programs in Muhammadiyah University


Urgensi Kepemilikan Kemampuan Kognitif Keprodian Bagi Ketua Program Studi Di Perguruan Tinggi Muhammadiyah

Indonesia

(*) Corresponding Author

Accreditation The Head of Study Program, cognity ability

Abstract

This study aims to describe the cognitive ability of study program – the urgently of owned by the head of study program. Research method used is descriptive quantitative with population target/objective throughout the head of study program in the University of Muhammadiyah at Kopertis Region III (now LLDikti Region III, Jakarta-Indonesia). As for the population affordable/limited is the head of study program at Five University of Muhammadiyah on Undergraduate level. Data collection technique using the instrument in the form of tests. The research results showed that the head of study program of the cognitive ability of study program in the category of being. This means the cognitive ability of study program of the head of study program overall proves have the capability in terms of: think, plan, solve problems, understand complex ideas, learn quickly, and learn from experience, related to the duties of the study program. – The urgently of owned of the cognitive ability of study program of the head of study program related to the execution of the study program tasks in ensuring the quality of their courses, all that would be easily realized if the head of study program has positive conditioning Courses i.e. do the work with itqon (a clean, diligent and conscientious).

Dosen Tetap Persyarikatan Muhammadiyah , Universitas Muhammdiyah Prof. DR.HAMKA (UHAMKA)

Corresponding Email: onnyfitriana@uhamka.ac.id

Introduction

Dalam rangka pencapaian kecerdasan kehidupan manusia dan bangsa, maka diperlukan penerapan manajemen mutu dalam pendidikan, yang lebih populer dengan istilah Total Quality Educaton (TQE). Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa. Yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan pelanggan (customer).

Menurut Salis (2006:7), institusi pendidikan sebagal industri jasa, harus memenuhi standar mutu. Secara operasional, mutu ditentukan oleh dua faktor, yaitu terpenuhinya spesifikasi yang telah ditentukan sebelumnya dan terpenuhinya spesifikasi yang diharapkan menurut tuntutan dan kebutuhan pengguna jasa. Mutu yang pertama disebut quality in fact (mutu sesungguhnya) dan yang kedua disebut quality in perception (mutu persepsi). Dalam penyelenggaraannya, quality in fact merupakan profil lulusan institusi pendidikan yang sesuai dengan kualifikasi tujuan pendidikan, yang berbentuk standar kemampuan dasar berupa kualifikasi akademik minimal yang dikuasai oleh peserta didik. Sedangkan pada quality in perception pendidikan adalah kepuasan dan bertambahnya minat pelanggan eksternal terhadap lulusan institusi pendidikan.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam penerapan manajemen mutu pendidikan atau TQE, perlu diperhatikan beberapa hal: Pertama, perbaikan secara terus menerus (continuos improvement). Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai perbaikan, peningkatan dan pembaharuan semua komponen mutu. Kedua, menentukan standar mutu (quality assurance). Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses transformasi lulusan institusi pendidikan. Ketiga, perubahan kultur (change of culture). Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional. Keempat, perubahan organisasi (upside-down organization). Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja struktur organisasi dan kepengawasan dalam organisasi. Kelima, mempertahankan hubungan dengan pelanggan (keeping close to the customer). Karena organisasi pendidikan menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting.

Perguruan tinggi membangun struktur organisasinya mulai dari tingkat universitas sampai dengan fakultas. Penstrukturan tersebut, dimaksudkan untuk melaksanakan fungsi manajemen universitas. Di tingkat fakultas, ketua program studi sebagai ujung tombak mempunyai kedudukan strategis mengelola seluruh kegiatan program studi. Program studi, yang dipimpin oleh ketua program studi, selain melaksanakan caturdarma perguruan tinggi, pun memiliki tugas, pokok, dan tanggung jawab atas program studi secara efektif dan efisien. Menurut Tampubolon (2001: 196-197), tugas, pokok ketua program studi adalah memimpin pembinaan dan pengembangan program studi sehingga mampu menghasilkan jasa-jasa perguruan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan para pelanggannya, sedangkan ketua program studi bertanggung jawab atas semua tugas pengelolaan program studi kepada dekan, dan bila diminta juga kepada pimpinan perguruan tinggi, baik secara akademik dan hukum maupun moral.

Ketua program studi sebagai ujung tombak kegiatan akademik, diwajibkan melayani pelanggan pendidikan tinggi, baik pelanggan internal maupun pelanggan eksternal. Pelanggan internal yang dimaksud adalah para dosen, unsur pimpinan, pegawai administrasi, dan pegawai teknis. Sedangkan pelanggan eksternal yang dimaksud adalah pelanggan primer yaitu mahasiswa; pelanggan sekunder yaitu masyarakat, pemerintah, orangtua mahasiswa, dan; pelanggan tersier yaitu pihak lain yang memanfaatkan hasil pendidikan tinggi, termasuk juga menjanin mutu program studinya, melalui sistem penjaminan mutu internal yang dilakukan dengan oleh secara internal, sedangkan sistem penjaminan mutu eksternal dilakukan dengan akreditiasi oleh BAN-PT.

Akreditasi merupakan proses evaluasi dan penilaian secara komprehensif terhadap mutu dan kapasitas penyelenggaraan program tridarma perguruan tinggi. Pada saat ini,

secara legal Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) adalah satusatunya lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan akreditasi pada jenjang pendidikan tingg di Indonesia. Akreditasi memberikan informasi kepada masyarakat tentang mutu perguruan tinggi atau program studi dan merupakan pertanggungjawaban perguruan tinggi kepada publik. Peran BANPT dalam peningkatan budaya mutu dengan melakukan pengembangan instrumentasi akreditasi institusi dan program studi, untuk itu BAN-PT menjalin kerjasama dengan sejumlah institusi/asosiasi, dan secara bilateral dengan berbagai lembaga akreditasi di beberapa negara.

Akreditasi menjadi momok bagi para ketua program studi apabila tidak disiapkan sedini mungkin mulai dari merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi, sampai dengan mendokumentasikan per tahun akademik, dibutuhkan ketekunan, kerapihan, dan ketelitian untuk mewujudkan kerja nyata seorang ketua program studi baik dilakukan secara parsial maupun dengan memberdayakan tim, sebagaimana Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah SWT mencintai salah seorang di antara kamu yang melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapih, dan teliti).” (HR. Al-Baihaqi). Berikut gambaran Status Akreditasi Program Studi Perguruan Tinggi Muhammadiyah di Kopertis Wilayah Ill, berdasarkan Direktori 2012.

Adalah ketua program studi yang bertanggungjawab atas pencapaian hasil status akreditasi program studinya. Di mana dengan tingkat pencapaian tersebut diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pelanggan internal dan eksternal perguruan tinggi dalam bingkai standar penjaminan mutu pendidikan, yang pada gilirannya akan menghasilkan mutu lulusan yang signifikan dan kepuasan dari para pengguna jasa lulusan. Untuk itu diharapkan banyak variabel yang harus dimiliki oleh para ketua program studi, adapun variabel yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif.

Kemampuan kognitif sangat relevan dengan pekerjaan dan menyangkut pekerjaan yang melibatkan penggunaan informasi untuk membuat keputusan dan pemecahan masalah.Adalah McShane and Glinow (2010:363) yang menyatakan pentingnya kepemilikan kemampuan kognitif di atas ratarata bagi seorang pemimpin untuk memproses sejumlah besar informasi. Karena pada dasarnya, kemampuan menunjukkan pada what people can do,apa yang dapat dilakukan orang, berbeda dengan kepribadian, yang menunjukkan what people are like, seperti apa orang itu. Menuut Fletcher and Hattie (2011: 8), terdapat tujuh tipe kemampuan kognitif antara lain: (1) mampu berpikir; (2) mampu merencanakan; (3) mampu memecahkan masalah; (4) mampu berpikir abstrak; (5) mampu memahami ide-ide yang kompleks; (6) mampu belajar dengan cepat, dan; (7) mampu belajar dari pengalaman.

Methods

Dengan demikian peneliti membingkai masalah tersebut, dengan judul: “Urgensi Kepemilikan Kemampuan Kognitif Keprodian bagi Ketua Program Studi di Lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Kopertis Wilayah III (sekarang LLDikti Wilayah III Jakarta-Indonesia).

Kognitif merupakan kata serapan dari kata bahasa inggris cognitive yang bermakna teori.Kata cognitive seakar dengan kata “cognition” dan “cognizant.”Cognition berarti kesadaran atau pengertian, sedangkan cognizant bermakna sadar atau mengetahui. Dengan demikian, kognitif dapat diartikan sebagai kesadaran terhadap teori, konsep, ilmu, ide, yang besemayam dalam akal. Salah satu contoh aktivitas kognitif adalah logika bahwa jika Anda rajin berusaha, maka kesuksesan akan Anda raih.

Studi psikologi kognitif memfokuskan pada bagaimana pikiran manusia memproses informasi sehingga menjadi pengetahuan yang disimpan di dalam ingatan, kemudian menggunakan pengetahuan itu di dalam melakukan tugas-tugas atau aktivitasaktivitasnya. Kawasan studi psikologi kognitif meliputi: persepsi, pencatatan sensori, penenalan pola, dan perhatian, dan intelegensi manusia dan intelegensi buatan. Intelegensi merupakan salah satu kemampuan mental pikiran atau intelektual manusia.Intelegensi merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada urusan yang lebih tinggi.

Menurut Luthans (2006: 303), intelligence as cognitive ability.Intelegensi sebagai kemampuan kognitif. Kemampuan kognitif yang diakui untuk banyak pekerjaan. Sebagian besar pekerjaan di tempat kerja saat ini lebih banyak bersangkutan dengan kemampuan kognitif. Sementara menurut Greenberg and Baron (2003-100) menyebutnya dengan cognitive intelligence this refers to the ability to understand complex ideas, to adapt effectively to the environment, to learn from experience, to engage in various forms of reasoning, and to overcome obstaclesby careful thought. Kecerdasan kognitif merujuk pada kemampuan untuk memahami ide-ide yang kompleks, untuk beradaptasi secara efektif dengan lingkungan, untuk belajar dari pengalaman, untuk terlibat dalam berbagai bentuk penalaran, dan untuk mengatasi hambatan dengan pemikiran yang cermat.

Pentingnya kemampuan kognitif, dinyatakan oleh Bijwaard Kippersluis (2015: 29-43), and Veenmandengan “cognitive ability explain around half of the raw differences in mortality across educational group.” Bahwa kemampuan kognitif menjelaskan sekitar setengah dari perbedaan baku dalam angka kematian di seluruh kelompok pendidikan. Sementara itu, Green and Macqueen (2008) dalam investigasinya saat seleksi manajemen di Australia, menyatakan “found that nearly one quarter of Australian organizations used cognitive test either “always” or “more than half” of the time.” Menemukan bahwa hampir seperempat organisasi-organisasi Australia menggunakan tes kognitif “selalu” atau “lebih dari separuh” waktu itu.Mereka menjalani serangkaian tes kognitif yang mendukung pekerjaannya.Selanjutnya, untuk lebih terarah, berikut dikutipkan deskripsi konseptual kemampuan kognitif dari para pakar. Menurut Carrol (1993:10), Kemampuan kognitif adalah suatu kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas atau pekerjaan yang bersifat kognitif. Sementara Reeve (2007: 42) menyatakan, cognitive abilitiy generally refers to the capacity to mentally process, comprehend, and manipulate information- in short, the ability to learn. Kemampuan kognitif pada umumnya mengacu pada kemampuan untuk mental proses, memahami, dan memanipulasi informasi, singkatnya kemampuan untuk belajar.

Lain dari itu, menurut Gibby (2007: 65), a common definition of cognitive ability describes it as a general mental capability the involves among other things, the ability to reason, plan, solve problems, thing abstractly, comprehend complex ideas, learn quickly, and learn form experience. Definisi umum dari kemampuan kognitif menjelaskan sebagai kemampuan mental secara umum yang melibatkan antara lain kemampuan untuk berpikir, merencanakan, memecahkan masalah, berpikir abstrak, memahami ide-ide yang kompleks, belajar dengan cepat, dan belajar dari pengalaman. Pengembangan kemampuan kognitif keprodian bertujuan untuk mampu mengolah perolehan, menemukan bermacam alternative pemecahan masalah, mengembangkan logika matematika, mengetahui ruang dan waktu, memilah dan mengelompokkan, dan mempersiapkan pengembangan berpikir teliti.Sejalan dengan itu, Coulqitt, LePine, and Weeson (2009: 339) mengatakan cognitive ability are capabilities related to the acquisition and application of knowledge in problem solving. Kemampuan kognitif adalah serangkaian kemampuan yang berhubungan dengan transfer dan aplikasi pengetahuan dalam memecahkan masalah.

Demikian pula dikatakan oleh Griffin and Moorhead (2014: 224), cognitive abilities are an individual’s power to think intelligently and to analyze situation and data effectively. Kemampuan kognitif merupakan kekuatan individu untuk berpikir cerdas and menganalisis situasi dan data secara efektif.Sementara menurut George and Jones (2012: 53), cognitive ability that reflect competece in different areas of mental functioning. Kemampuan kognitif mencerminkan kompetensi dalam berbagai bidang fungsi mental. Lebih lanjut dikatakannya bahwa cognitive ability predicts performance on the job, as long as the ability in question is relied on in performing the job. Kemampuan kognitif memprediksi kinerja pada pekerjaan selama kemampuan yang bersangkutan diandalkan dalam melakukan pekejaan. Kemampuan kognitif pada dasarnya merupakan kemampuan yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi tiap-tiap orang. Orang yang menguasai ilmu pengetahuan sebagaimana firman Allah SWT: “... Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Mujadalah Ayat 11).

Kemampuan kognitif dalam hal ini berkaitan dengan Akreditasi. Akreditasi dipahami sebagai penentuan standar mutu serta penilaian terhadap suatu lembaga pendidikan tinggi oleh pihak di luar lembaga pendidikan itu sendiri.Ada dua model akreditasi yang dikembangkan oleh BAN-PT yaitu Akreditasi Program Studi dan Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi.Dalam penelitian ini memfokuskan pada Akreditasi Program Studi sebagai bagian dari Tugas, Pokok, dan Fungsi Ketua Program Studi. Adapun model Akreditasi Program Studi melakukan penilaian berdasarkan tujuh standar, terdiri dari: (1) visi, misi, tujuan, dan sasaran, serta strategi pencapaian; (2) tata pamong, kepemimpinan, system pengelolaan, dan penjaminan mutu; (3) mahasiswa dan lulusan; (4) sumber daya manusia; (5) kurikulum, pembelajaran, dan suasana akademik; (6) pembiayaan, sarana, dan prasarana, serta sistem informasi; (7) penelitian dan pelayanan/pengabdian kepada masyarakat, dan kerjasama.

Berdasarkan deskripsi konseptual kemampuan kognitif dari para pakar di atas, maka dapat disintesiskan bahwa kemampuan kognitif adalah kepiawaian seseorang dalam mengelola organisasi sesuai dengan penerapan standar mutu organisasi, dengan indikator: (1) kemampuan untuk berpikir; (2) merencanakan; (3) memecahkan masalah; (4) berpikir abstrak; (5) memahami ide-ide yang kompleks; (6) belajar dengan cepat; (7) belajar dari pengalaman.

Penelitian ini menggunakan Pendekatan Kuantitatif Deskriptif dengan variabel tunggal yakni kemampuan kognitif keprodian bagi Ketua Program Studi di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Kopertis Wilayah III (sekarang LLDikti Wilayah III Jakarta, Indonesia). Dengan demikian, populasi target/sasaran dalam peneltian ini adalah seluruh Ketua Program Studi tersebut, adapun populasi terjangkau/terbatas adalah Ketua Program Studi di Lima Perguruan Tinggi Muhammadiyah Wilayah Provinsi DKI Jakarta, jenjang S1. Berdasarkan Buku Direktori 2012 Perguruan Tinggi Swasta Kopertis Wilayah III Jakarta, jumlah program studi seluruhnya 80 program studi yang terdiri dari: (1) 2 program studi jenjang profesi; (2) 5 program studi jenjang D3; (3) 61 program studi jenjang S1, dan; (4) 13 program studi jenjang S2. Populasi terjangkau adalah seluruh ketua program studi jenjang S1.Dengan demikian, kerangka sampling (sampling frame) sejumlah 61 ketua program studi. Selanjutnya untuk kepentingan penelitian ini ditetapkan jumlah sampel berdasarkan rumus slovin, dari 61 ketua program studi, diambil sampel penelitian 53 ketua program studi.

Untuk mengukur variabel kemampuan kognitif keprodian menggunakan instrumen berbentuk tes pilihan ganda, yang menjawab benar diberi skor 1 dan menjawab salah diberi skor 0. Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data penelitian, terlebih dahulu diuji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas dilakukan untuk melihat sejauh mana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya, sedangkan uji reliabilitas untuk melihat sejauh mana alat ukur dapat memberikan hasil yang relative tidak berbeda bila dilakukan pengukuran kembali terhadap gejala yang sama pada saat yang berbeda. Oleh karena data yang diperoleh dari penyebaran tes dengan skor 1-0 adaIah data ordinal, maka uji validitas menggunakan rumus korelasi Poin Biserial, dan uji reliabilitas menggunakan formula KR 20/21.

Berdasarkan hasil perhitungan, validitas instrumen kemampuan kognitif keprodian dengan n = 20 diperoleh r hitung yang kemudian dibandingkan dengan r tabelpada taraf signifikansi 5% diperoleh r tabel = 0,444. Dari 50 butir pernyataan, terdapat 8 (delapan) butir pernyataan yang tidak valid (drop) yaitu butir pernyataan nomor 12, 15, 19, 31,36, 40, 41, dan 44. Dengan demikian jumlah butir pernyataan yang valid dan dapat digunakan sebagai alat pengambilan data penelitian sebanyak 42 butir pernyataan. Selanjutnya, berdasarkan hasil perhitungan reliabilitas instrumen kemampuan kognitif keprodian sebanyak 42 butir pernyataan dipeoleh r 11 = 0,878. Dengan demikian, instrumen kemampuan kognitif keprodian adalah reliabel.

RESULTS AND DISCUSSIONS

Dari instrumen kemampuan kognitif keprodian yang valid sebanyak 42 butir, diperoleh data dari 53 responden. Data kemampuan kognitif keprodian secara teoretik rentang skor minimum 0 sampai dengan skor maksimum 42, dan skor empirik rentang skor minimum 10 sampai dengan skor maksimum 30, dengan demikian rentang skor adalah 20. Dengan menggunakan aturan sturges, diperoleh jumlah kelas interval 6 dan panjang interval 3, sehingga dapat dibuat distribusi frekuensi skor kemampuan kognitif keprodian seperti pada tabel 2 di bawah ini:

Figure 1 Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Keprodian

Figure 1.Distribusi Frekuensi Kemampuan Kognitif Keprodian

Berdasarkan pada tabel 2 di atas, menunjukkan bahwa nilai skor kemampuan kognitif keprodian dengan frekuensi atau jumlah responden terbanyak adalah berkisar antara 22 sampai dengan 25, yaitu kelas interval ke empat, sebanyak 16 atau 30,19%. Data skor di atas diperoleh berdasarkan pemberian skor yang dilakukan dengan menggunakan model skala 5 untuk setiap butir pernyataan. Kecenderungan variabel ditetapkan dengan kategori penilaian yang dibagi dalam 5 interval dengan makna masingmasing interval adalah 1 (Sangat Rendah); 2 (Rendah); 3 (Sedang); 4 (Tinggi), dan; 5 (Sangat Tinggi).

Figure 2.Kriteria Penilaian Kemampuan Kognitif Keprodian

Figure 2 Kriteria Penilaian Kemampuan Kognitif Keprodian

Dari hasil perhitungan diperoleh mean sebesar 19,70; apabila dilihat dari tabel diatas, maka kemampuan kognitif keprodian Ketua Program Studi Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se Kopertis Wilayah Ill, berada pada kategori sedang. Selanjutnya diketahui bahwa median 20; modus 22; terlihat skor/nilainya berhimpit, artinya sebaran datanya berdistribusi normal. Standar deviasi atau simpangan baku skor kemampuan kognitif keprodian sebesar 5,41 dan variansi sebesar 29,21. Visual distribusi frekuensi skor kemampuan kognitif keprodian ditampilkan dalam bentuk histogram seperti pada gambar 1 di bawah ini: dengan cepat, dan belajar dari pengalaman, berkaitan dengan tugas-tugas keprodiannya.

Figure 3.Figure 3 Histogram Frekuensi Kemampuan Kognitif Keprodian

Figure 3 Histogram Frekuensi Kemampuan Kognitif Keprodian

CONCLUSION

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:

  1. Secara keseluruhan kemampuan kognitif keprodian ketua program studi di lingkungan Perguruan Tinggi Muhammadiyah se Kopertis wilayah III (sekarang LLDikti Wilayah III JakartaIndonesia), memiliki tingkat kemampuan kognitif keprodian pada kategori sedang. Artinya kemampuan kognitif keprodian ketua program studi secara keseluruhan membuktikan bahwa ketua program studi memiliki kemampuan dalam hal: berpikir, merencanakan, memecahkan masalah, memahami ide-ide yang kompleks, belajar.
  2. Ketua Program Studi baik sebagai leader mapun manager memegang kendali penting bagi program studinya. Urgensinya kepemilikan kemampuan kognitif keprodian berkaitan dengan pelaksanaan tugas-tugas keprodiannya dalam menjamin mutu program studinya, semua itu akan menjadi mudah diwujudkan apabila Ketua Program Studi memiliki pembiasaan positif yakni melakukan pekerjaan dengan itqon (tekun, rapih, dan teliti).

SUGGESTIONS

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dapat diajukan saran-saran sebagai berikut:

  1. Hendaknya pembinaan yang diberikan oleh Kopertis Wilayah III (sekarang LLDikti Wilayah III Jakarta-Indonesia) dalam hal ini kepada Sumber Daya Manusia Muhammadiyah dioptimalkan pada softskill seperti pelatihan meneladani kemampuan kognitif versi Khalifah Ali bin Abu Tholib.
  2. Hendaknya Majelis Pendidikan Tinggi, Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah dalam merumuskan Kriteria Calon Ketua Program Studi menambah klausul bahwa Ketua Program Studi wajib mengikuti tes kemampuan kognitif keprodian dan lulus dengan score minimal B.
  3. Hendaknya Pimpinan Universitas dalam hal ini Lembaga Penjaminan Mutu Universitas dapat mengembangkan instrument Kinerja Ketua Program Studi dengan menambah aspek kemampuan kognitif keprodian.
  4. Hendaknya Pimpinan Fakultas dalam menyusun kebijakan/program/kegiatan dan standar operasional prosedur mengarah pada peningkatan kemampuan kognitif keprodian Ketua Program Studi.
  5. Hendaknya ketua program studi terpilih mengupdate kemampuan kognitif keprodiannya melalui membaca bukubuku best practice para pemimpin sukses dalam mengelola organisasinya sehingga dapat berpikir, merencanakan, memecahkan masalah, memahami ide-ide kompleks, dan belajar dengan cepat dari pengalaman, untuk kemudian menjadi Role Model Ketua Program Studi berkemajuan.

References

  1. Charlie L. Reeve, “Cognitive Ability”, on Encyclopedia of Industrial and Organizational Psychology by Steven G. Rogelberg (SAGE Publications., Inc., 2007), h. 42.
  2. Daulat P. Tampubolon, Perguruan Tinggi Bermutu: Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hh. 196-197.
  3. Edward Sallis, Total Quality Management in Education terjemahan Ahmad Riyadi dan Fahrurozi (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), h. 7.
  4. Fred Luthans, Perilaku Organisasi terjemahan Vivan Andhika Yuwono, dkk (Yogyakarta: Andi, 2006), h. 249.
  5. Govert Bijwaard, Hans Van Kippesluis, dan Justus Veenman. “Education and Health: The Role of Cognitive Ability”, J Health Econ, 2015 July, 42: 29-43, doi:10.1016/j.jhealeco.2015.03.003.
  6. Jason A. Colquitt, Jeffrey A. Lepine, and Michael J. Wesson, Organizational Behavior: Improving Performance and Commitment in the Workplace (New York: McGraw-Hill, 2009), h. 7.
  7. Jerald Greenberg and Robert A. Baron, Behavior in Organization 8 th Edition (New Jersey: Prentice-Hall: 2003), h. 100.
  8. John B. Carrol, Human Cognitive Abilities: A Survey Factor of Analytic Studies (University of North Carolina: Cambridge University Press, 1993), h. 10. Richard B Fletcher and John Hattie, Intelligence and Intelligence Testing (New York: Routledge, 2011), h. 8.
  9. Robert Erwin Gibby, “Cognitive Ability Tes”, on Encyclopedia of Industrial and Organizational Psychology by Steven S. Rogelberg (SAGE Publications., Inc., 2007), h. 65.
  10. Steven L. McShane and Mary Ann Von Glinow, Organizational Behavior: Emerging Knowledge and Practice for The Real World 5th Edition (New York: McGraw Hill, 2010), h. 363.
  11. Tashaal Green dan Peter Macqueen. “Cognitive Ability: How Important?”, White Paper, July 2008, www.compassconsulting.com.